Wija to Luwu Sikapi Berbagai Sorotan Sedang Menuai PT Masmindo, Membuat Dua Tokoh Tana Luwu Angkat Bicara

News791 views

Basri Annas :  Jadi sebaiknya PT Masmindo hentikan dulu kegiatannya, apabila tidak merespon tuntuan aspirasi masyarakat

 

Tabloid SAR – Akhir-akhir ini berbagai sorotan sedang menuai perusahaan tambang emas PT Masmindo Dwi Area atau Masmindo, sehingga disikapi oleh kalangan Wija to Luwu sampai membuat dua Tokoh Tana Luwu angkat bicara.

Adapun kedua Tokoh Tana Luwu yang angkat bicara tersebut, yakni Basri Anas dan Mardani Malita yang lebih akrab disapa Cakdang ini. Kedua Tokoh Tana Luwu ini, mengaku sangat mengapresiasi adanya gelombang aksi demonstrasi untuk menggugat perusahaan tambang emas yang berlokasi di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan tersebut.

Hal tersebut, mengemuka saat sejumlah Wija to Luwu pada Selasa malam (6/9/2022) kemarin dulu di Warkop Pojok Kota Palopo. Mereka tampak begitu serius membahas sejumlah materi tuntutan aksi demonstrasi yang akhir-akhir ini begitu tajam menyoroti perusahaan tambang emas terbesar di Sulawesi Selatan ini.

Kita selaku Wija to Luwu, tutur Basri Anas, tentunya sudah harus mendukung dan mengapresiasi terjadinya aksi gelombang demonstrasi akhir-akhir ini, untuk menuntut PT Masmindo tersebut.

“Jadi apa yang menjadi tuntutan aspirasi aksi demonstrasi baik yang digerakkan oleh mahasiswa, para aktivis LSM dan Masyarakat Adat Latimojong adalah sangat beralasan, sebab PT Masmindo diduga telah melanggar ketentuan kontrak karya atau perundang-undangan dan regulasi pemerintah lainnya yang terkait dengan ketentuan penanaman modal asing,” ujar salah satu Tokoh Tana Luwu asal Kamanre ini.

Hal yang paling disikapi di sini, lanjut ia mengatakan, mengenai tuntutan aksi demonstrasi terhadap pelaksaan pembebasan lahan pada perusahaan tambang tersebut. “Jika itu benar adalah sifatnya berbau mafia tanah, maka itu merupakan tindakan pelanggaran hukum yang harus diproses menurut ketentuan tindak pidana yang berlaku,” terangnya.

Saya telah mendengar, kata Basri Annas, jika LSM Pembela Arus Bawah sudah melaporkan kasus ini di Bareskrim Polri. “Jadi kita pun sangat beharap agar kasus ini mendapat penanganan secara tuntas oleh pihak Bareskrim Polri. Apalagi Presiden Jokowidodo sudah menginstruksikan perberantasan terhadap mafia tanah,” tukasnya.

Basri Annas pun lanjut menyikapi mengenai tuntutan aksi demonstrasi dana hibah pinjam pakai jalan daerah kurang lebih sebesar Rp 67 miliar dari PT Masmindo kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu.

Menurutnya, bahwa hal itu merupakan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pihak Pemkab Luwu. Sebab sangat tidak dibenarkan sebuah perusahaan tambang Minerba berskala korporasi apalagi yang sifatnya berstatus kontrak karya sampai harus menggunakan jalan daerah.

Apalagi saya juga dengar-dengar, kata dia lagi, bahwa dana hibah dari PT Masmindo tersebut tidak pernah dibahas di DPRD. Namun sesuai informasi, tapi justru dimasukkan ke dalam batang tubuh APBD Pokok TA 2022 ini.

“Jika benar infomasi seperti ini, maka hal itu patut dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang sangat riskan untuk diseret melalui kasus hukum tindak pidana korupsi,” ucapnya.

Apabila dana hibah tersebut, tuturnya, sebagai bentuk pinjam pakai jalan daerah untuk dijadikan sebagai akses jalur transportasi perusahaan tambang emas ini. “Itu sangat keliru, sebab namanya perusahaan tambang yang sifatnya berstatus kontrak karya, sangat tidak boleh menggunakan fasilitas jalan umum dan perusahaan tambang itu harus membangun sendiri jalan khusus dan juga bisa dilalui masyarakat umum,” bebernya.

Lalu Basri Anas mencontohkan, seperti PT Vale (dulunya PT Inco) yang berstatus kontrak karya, sehingga membangun sendiri jalan khusus, untuk menghubungkan antara lokasi pertambangannya di Sorowako dengan pelabuhan Jetty -nya di Balantang, tapi masyarakat dari mana-mana saja adalah juga boleh melalui jalan poros yang dulunya dibangun PT Inco tersebut.

Halnya PT Freeprot adalah perusahaan tambang kontrak karya pertama di Indonesia, namun juga membangun sendiri jalan khusus untuk jalur transportasi angkutan logistiknya hingga ke pelabuhan Jetty-nya tersebut.

Lanjut ia mengemukakan, contoh paling terdekat saja, yakni PT BMS di Karang-Karangan padahal tidak berstatus kontrak karya. Kenapa juga tidak menggunakan akses jalan umum yang sudah ada, tapi justru membangun sendiri jalan khusus yang nantinya akan menghungkan ke pelabuhan jetty-nya, sebab regulasi memang sudah mengatur begitu.

Menurut hemat saya, sambungnya, jadi adanya kebijakan Pemkab Luwu untuk menghibahkan aset jalannya kepada PT Masmindo, merupakan suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan. “Saya jadi sangat khawatir kebijakan seperti ini, nantinya bisa berkasus korupsi apabila ada pihak yang melaporkannya kepada aparat penegak hukum berwenang,” terang putra asal Kamanre tersebut.

Saya inikan mantan birokrat, kata Basri Anas lagi, maka sedikit banyak juga paham regulasi pemerintah tentang ketentuan peruntukan setiap status jalan. “Jadi mengenai dana hibah untuk pinjam pakai jalan aset daerah untuk dijadikan sebagai akses transportasi PT Masmindo. Hal itu, menurut pemahaman saya adalah sangat-sangat berisiko secara hukum,” tukasnya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk juga disikapi, kata dia lebih lanjut, mengenai Amdal. Tentunya hal ini sangat urgen untuk disikapi, sebab Amdal itu sangat bersifat krusial, maka kita juga harus menuntut agar PT Masmindo melakukan ekspose kajian dokumen Amdal-nya secara terbuka atau transparan.

Soalnya, tuturnya lagi,  sebab dampak krusial atas pengeksplotasian tambang emas adalah sangat berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, bahkan juga dapat menjadi ancaman serius untuk membawa dampak terhadap tragedi kemanusiaan.

Tentunya paling berdampak nantinya, tuturnya lebih lanjut, tidak hanya pada kawasan pemukiman di seputaran kontrak karya, tapi juga pada kawasan pemukiman di Kecamatan Bajo Barat, Bajo, Kamanre, Belopa Utara, Belopa dan Suli.

Dikemukakannya lebih lanjut,  karena begitu krusialnya dampak lingkungan yang ditimbukan atas kegiatan pengeksplotasian tambang emas, sehingga perlunya PT Masmindo untuk mengekspos kajian dokumen Amdal-nya secara terbuka. Sekaligus untuk mentrasparansikan dokumen RKAB-nya dan feasibility study-nya serta domen kelengkapan legalitas perizinannya. “Jadi tidak ada alasan PT Masmindo untuk tidak mengekspose dan mentransparansikan semua bentuk dokumen dimaksud, sebelum melakukan kegiatan konstruksi,” imbuhnya.

Hal lain yang menjadi perhatian kita selaku Wija to Luwu, bahwa seperti apa PT Masmindo dalam menyiapkan kuota tenaga kerja usia produktif masyarakat lokal. Bagaimana metode pengelolaan program CSR-nya dan seperti apa pula komitmennya terhadap pemberdayaan pengusaha lokal sebagai mitra usaha yang bersifat strategis.

Kita selaku Wija to Luwu, lanjut Basri Anas mengemukakan, sama sekali tidak menghalangi-halangi penamanan investasi, sebab masuknya investor besar di dareah kita ini tentunya sangat memberikan manfaat multiplier effect yang sangat besar dalam mengakselerasi pembangunan untuk mengangkat kesejahteraan hidup masyarakat.

Kita sangat dukung PT Masmindo, tambahnya, untuk berinvestasi pada tambang emas. Tapi janganlah tabrak rambu-rambu regulasi dan hargai pulalah hak-hak ulayat masyarakat adat dalam melakukan pembebasan lahan sebagai bagian penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal.

Jadi apa yang menjadi tuntutan aksi demonstrasi tersebut, harus bisa direspon untuk diakomodir oleh PT Masmindo. Jika tidak, maka kita dari kalangan Wija to Luwu akan menyusul pula menggalang kekuatan, untuk juga menggelar aksi demonstrasi besar-besaran.

Tentunya untuk memaksa perusahaan tambang emas ini untuk menghentikan segala  bentuk kegiatannya, sebelum memenuhi tuntutan aspirasi aksi demonstrasi tersebut. “Jadi sebaiknya PT Masmindo hentikan dulu kegiatannya, apabila tidak merespon tuntuan aspirasi masyarakat,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Mardani Malita yang lebih akrab disapa Cakdang tersebut. Bahkan Cakdang juga sangat mewanti-wanti, bahwa dana hibah dari PT Masmindo  kurang lebih sebesar Rp 67 milar itu, untuk pinjam pakai  jalan daerah pada Pemkab Luwu, merupakan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang yang sangat bisa diproses dengan delik tindak pidana korupsi.

Saya tidak menakut-nakuti, kata salah satu Tokoh Wija to Luwu yang selama ini dikenal sebagai sosok pemerhati kebijakan publik tersebut, bahwa dana hibah seperti ini sangat bisa diseret ke dalam ranah hukum untuk diproses menurut ketentuan tindak pidana korupsi.

Cakdang pun lalu menjelaskan mengenai motif penyalahgunaan kewenangan terkait dana hibah dimaksud. Karena perusahaan tambang emas PT Masmindo adalah sifatnya berstatus kontrak karya, berarti berlandaskan terhadap ketentuan Perundang-Undangan Penamanan Modal Asing.

Hal itulah, lanjut ia menyampaikan, sehingga PT Masmindo harus berkewajiban untuk membangun sendiri jalan khusus dan sama sekali tidak dibenarkan untuk menggunakan jalan pemerintah apapun bentuk alasannya. “Termasuk, harus pula membangun pelabuhan Jetty sendiri,” ungkapnya.

Tadi kan Pak Basri Anas sudah mencontohkan perusahaan tambang yang sifatnya berstatus kontrak karya, semuanya membangun sendiri jalan khusus untuk mendistibusikan kebutuhan logistiknya dari lokasi eksploitasinya ke pelabuhan jetty-nya, begitupun sebaliknya.

Lanjut Cakdang menjelaskan, sangat perlu dipahami bahwa armada kendaraan yang melewati jalan tersebut adalah berdaya angkut material berkapasitas tonase tinggi, paling tidak mobil pengangkut jenis sepuluh roda. Berarti status jalannya harus ditingkatkan dulu menjadi jalan provinsi.

“Apabila statusnya tidak ditingkatkan dulu menjadi jalan provinsi, maka itu juga sudah merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan yang telah dilakukan oleh Pemkab Luwu, untuk menghibahkan pinjam pakai jalan daerah kepada PT Masmindo,” ungkapnya.

Jika melihat ketentuan regulasi, lanjut ia menyampaikan, maka jalan itu paling tidak harus ditingkatkan dulu statusnya menjadi jalan provinsi, sebab akan dilalui olah kendaraan berkapasitas daya angkut material minimal sepuluh roda.

Tapi kan juga sangat mungkin dilewati oleh kendaraan berkapasitas daya  angkut material ratusan atau sampai bisa muat ribuan ton, sehingga status jalan negara pun tidak mampu memenuhi kapasitasnya. Hal itulah, maka perusahaan tambang baik sifatnya dalam bentuk kontrak karya maupun sifatnya dalam bentuk IUPK, sehingga diharuskan membangun sendiri jalan khusus yang menghubungkan hingga ke pelabuhan jetty-nya.

“Saya pikir sudah ada ketentuan dalam undang-undang perhubungan tentang setiap status jalan bahwa ada aturan regulasinya, terkait dengan ketentuan moda transportasi darat tersebut,” kata Cakdang.

Jadi sangat ada dasarnya, tuturnya lagi, apabila kalangan mahasiswa, aktivis LSM dan masyarakat adat di Luwu sampai menggelar aksi demonstrasi, untuk juga mempertanyakan dana hibah pinjam pakai jalan daerah kepada PT Masmindo. “Jadi mestinya pihak Pemkab Luwu justru harus berterima kasih kepada aksi demontrasi LSM tersebut, daripada hal ini nantinya sampai berkasus secara hukum,” pungkasnya. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *