Harapan di Balik Seremonial Bawaslu RI di Kota Palopo

Syafruddin Jalal

Oleh: Syafruddin Jalal

Kehadiran Lolly Suhenty, Komisioner Bawaslu RI di Kota Palopo, seharusnya menjadi momentum penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggaraan Pilkada yang tengah tergerus. Namun sayangnya, harapan itu nyaris sirna oleh pendekatan seremonial yang ditampilkan.

Alih-alih menggali lebih dalam persoalan mendasar yang mencederai Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo, Lolly justru memilih jalur aman: memberikan pengarahan teknis kepada jajaran pengawas kecamatan—hal yang sepenuhnya menjadi domain Bawaslu Kota atau maksimal Bawaslu Provinsi. Sebuah pendekatan normatif di tengah gelombang kritik substantif.

Padahal, ironi dalam PSU Palopo begitu jelas. Kesalahan pada Pilwalkot 2024 justru diulang dalam PSU dengan pola yang sama, bahkan lebih terang-terangan.

Pencalonan yang Menabrak Putusan MK

Pasangan calon Naili – Ahmad kembali diakomodasi oleh KPU Sulsel, padahal syarat pencalonan keduanya bermasalah.

Ahmad, yang merupakan mantan terpidana, tidak pernah mengumumkan statusnya saat awal pendaftaran. Anehnya, ia malah diminta mengumumkan status itu saat PSU—sebuah bentuk “perbaikan administrasi” yang justru bertentangan dengan putusan MK Nomor 168/PHPU.WAKO-XIII/2025, yang secara tegas membatasi ruang verifikasi ulang hanya untuk pengganti Trisal Tahir. Maka, Ahmad sejatinya tidak memenuhi syarat sejak awal.

Sebagai perbandingan, lihatlah kasus Anggit Kurniawan Nasution di Pilkada Kabupaten Pasaman. Ia juga mantan terpidana, dan karena status itu tidak diumumkan saat awal pendaftaran, ia didiskualifikasi dan tidak diizinkan kembali mencalonkan diri dalam PSU.

Mengapa perlakuan berbeda bisa terjadi? Di mana asas kepastian hukum dan kesetaraan di muka hukum?

Dokumen Pajak yang Tidak Sah

Masalah serupa terjadi pada pencalonan Naili. Dokumen bebas tunggakan pajaknya tercatat diunggah ke SILON pada 23 Februari, namun pelunasan justru baru dilakukan pada 6 Maret. Artinya, dokumen tersebut tidak sah saat diserahkan. Fakta ini merupakan oleh hasil kajian Bawaslu, dan ironisnya baru dikoreksi setelah ditetapkan sebagai pelanggaran administratif.

KPU Sulsel berdalih bahwa kesalahan itu hanya “salah unggah”. Tapi pembelaan ini tak bisa diterima nalar. Naili—ataupun liaison officer-nya—pasti mengetahui ada tunggakan pajak yang belum dilunasi. Maka, penggunaan dokumen yang belum sah bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan berpotensi sebagai tindak pidana pemilihan.

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, pelanggaran semacam ini termasuk delik formil: cukup dengan terpenuhinya unsur perbuatan, maka sudah bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana. Terlebih, niat jahat (mens rea) sudah terbangun saat dokumen itu disengaja untuk memenuhi syarat pencalonan.

Tapi apa yang terjadi? Bawaslu Palopo tidak menggiring perkara ini ke Gakkumdu. Padahal, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja sendiri pernah menyebutkan persoalan pajak ini dalam rapat bersama Komisi II DPR RI. Bukti bahwa informasi ini sudah ada di radar nasional.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Lolly? Sebagai pimpinan Bawaslu RI, Lolly Suhenty semestinya tidak berhenti pada pengarahan teknis. Ia punya kewenangan dan tanggung jawab moral untuk:

1. Mengevaluasi proses penerbitan surat keterangan tidak pernah dipidana terhadap Ahmad, termasuk mengapa surat tersebut baru dibatalkan saat PSU.

2. Meminta data otentik dari Bawaslu Palopo, termasuk hasil rapat dengan Gakkumdu terkait kasus SPT Naili.

3. Mendengarkan suara dari luar struktur, termasuk tim pasangan calon, media, akademisi, dan masyarakat, guna memperoleh perspektif yang menyeluruh dan objektif.

4. Mengumpulkan seluruh pemberitaan tentang PSU Palopo, sebagai bahan refleksi nasional tentang kualitas pengawasan dan perlindungan hak pilih.

Jangan Lupakan Misi Sejati Bawaslu

Bawaslu bukan sekadar pengamat yang berdiri di pinggir lapangan, tetapi penjaga utama marwah demokrasi. Ketika integritas PSU dipertanyakan, ketika calon yang tidak memenuhi syarat dibiarkan melenggang, dan ketika dokumen yang cacat tidak ditindak tegas—maka Bawaslu mulai kehilangan jiwanya.

Lolly Suhenty harus hadir bukan untuk mengulang pidato teknis, tetapi untuk membongkar apa yang keliru dan meluruskan apa yang bengkok. Itulah makna sejati dari sebuah kunjungan: bukan sekadar hadir, tapi membawa perubaha

Salam

**) Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Demokrasi di Kota Palopo

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *