Surati Kajati Sulsel dan Kajari Luwu, Aktivis Pembela Arus Bawah : Kita Harapkan Pengusutan Kasus Dugaan Mafia Tanah Terkait Praktik-Praktik Jual Beli Lahan untuk Rencana Proyek PLTMH di Bastem

News563 views

Ada Sinyalemen Penyalahgunaan Wewenang, Terkait Penerbitan Perizinan PLTMH dari Pemkab Luwu

 

Tabloid SAR –Rencana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang berlokasi di Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), akhirnya diadukan pihak Aktivis Pembala Arus Bawah kepada pihak Aparat Penegak Hukum (APH) berwenang.

Terkait kasus dugaan mafia tanah dalam bentuk praktik-praktik jual beli lahan kawasan hutan produksi dan atau kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang akan dijadikan sebagai lokasi rencana proyek PLTMH milik PT Tiara Tirta Energi yang sangat disoal berbagai kalangan di Kabupaten Luwu, khususnya kalangan pegiat LSM dan aktivis mahasiswa.

Hal itulah, sehingga pihak Aktivis Pembela Arus Bawah menyurati Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Luwu, melalui surat Nomor  : 001-DE/ NGO-Arus Bawah/Berantas Mafia Tanah/Sulsel/2024 tanggal 14 Juni 2024, perihal pengaduan kasus dugaan jual beli lahan di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL di wilayah Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu.

Hal ini dibenarkan oleh Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy pada hari ini, Sabtu (15/06-2024). “Yah, kita sudah menyurati Kajati Sulsel dan Kajari Luwu agar mengusut kasus dugaan mafia tanah terkait praktik-praktik jual beli lahan kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL untuk rencana proyek PLTMH tersebut. Suratnya sudah kita kirim hari ini via kantor Pos,” tuturnya.

Surat Aktivis Pembela Arus Bawah yang ditujukan kepada Kajati Sulsel dan Kajari Luwu, terkait pengaduan kasus dugaan mafia tanah dengan modus operandi praktik-praktik jual beli lahan kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL yang berlokasi di Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu. Dan pengaduan adanya sinyalemen penyalahgunaan wewenang terhadap penerbitan perizinan PLTMH PT. Tiara Tirta Mandiri tersebut.

Pasalnya, menurut pihak instansi kehutanan, bahwa lokasi dimaksud merupakan kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL yang harus dilestarikan hutannya, sebagai fungsi hutan penyangga untuk mencegah terjadinya potensi longsor pada jajaran pegunungan di sepanjang aliran Sungai Noling, agar tidak berpotensi pula untuk menimbulkan bencana banjir bandang.

Bahkan pihak instasi kehutanan mengaku, sewaktu-waktu sangat siap apabila dibutuhkan pihak APH, untuk mengecek langsung titik koordinat lokasi dimaksud apakah masuk di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL. Karena namanya kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL, statusnya tanah negara bebas di bawah pengawasan instansi kehutanan.

“Hanya saja pihak instansi kehutanan ini, minta agar tidak disebut-sebut identitasnya,” ucap pegiat anti korupsi yang lebih akrab disapa Bang Foxchy tersebut.

Dia lanjut mengatakan, bahwa yang kita adukan dalam materi surat LSM kita itu tidak hanya kasus dugaan mafia tanah dalam bentuk praktik-praktik jual beli lahan di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL. Namun kita juga mengadukan adanya sinyalemen penyalahgunaan wewenang, terkait penerbitan perizinan PLTMH tersebut,” bebernya.

Menurutnya, pihak pejabat pemerintah seperti camat dan kepala desa yang menerbitkan alas hak semacam Surat Penyataan Penguasaan dan Riwayat Tanah (SPP-RT) pada kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL lalu diperjualbelikan, maka sudah merupakan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang. Pihak terkait, sehingga sangat dapat pula dijerat dengan kasus tindak pidana korupsi.

“Apalagi sudah tidak sedikit kasus dugaan mafia tanah dalam bentuk modus operandi praktik-praktik jual beli lahan dalam kawasan hutan produksi termasuk kawasan APL untuk kegiatan usaha korporasi, telah dijerat dengan kasus tindak pidana korupsi,”  ungkapnya.

Ia lalu mengemukakan, sebab ada ketentuan regulasi yang harus terlebih dilalui oleh camat dan kepala desa dalam menerbitkan alas hak semacam SPP-TR dalam kawasan hutan dan atau kawasan APL tersebut, walau lokasi itu juga diklaim pemangku adat sebagai wilayah adatnya.

Tutur Bang Foxchy lebih lanjut, bahwa tanah adat memang tetap diakui negara kendati berada dalam kawasan hutan dan atau kawasan APL. Namun bukan berarti sudah mutlak menjadi milik pribadi pemangku adat atau masyarakat adat. Akan tetapi ada mekanisme ketentuan regulasi yang mesti terlebih dahulu dilalui untuk melegalisasi status kepemilikan tanah adat di dalam kawasan hutan dan atau kawasan APL tersebut.

“Jadi mestinya kawasan hutan dan atau kawasan APL itu terlebih dahulu dikonversi menjadi kawasan hunian dan atau menjadi kawasan lahan pertanian masyarakat, menurut mekanisme ketentuan peraturan regulasi yang berlaku,” paparnya.

Legal standingnya kan harus jelas, kata Bang Foxchy lagi, seperti adanya kebijakan dari pejabat Pemerintah Pusat berwenang, dalam bentuk keputusan bahwa kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL tersebut telah dikonversi menjadi kawasan hunian atau menjadi kawasan lahan pertanian masyarakat.

Dijelaskannya, bahwa selama belum ada legal standing berupa peraturan dalam bentuk SK Pemerintah Pusat berwenang, terkait kebijakan konversi lahan ini menjadi kawasan hunian atau menjadi kawasan lahan pertanian masyarakat, maka lokasi tersebut tetap berstatus tanah negara bebas. “Jadi Pemerintah Pusat berwenang dimaksud, tentunya pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atau Kementerian KLH,” tukasnya.

Kita pikir pihak kejaksaan, tuturnya lagi, bahkan justru sangat lebih paham peraturan perundang-udangan dan regulasi mengenai ketentuan hukum, terkait dengan kasus jual beli lahan di dalam lokasi yang sifatnya masih berstatus kawasan hutan dan atau kawasan APL tersebut.

Lebih lanjut ia menuturkan, apalagi sudah sederet pula para pelaku mafia tanah yang telah memperjualbelikan lahan di dalam kawasan APL, sudah diseret oleh pihak kejaksaan ke meja hijau, sehingga divonis bersalah untuk dipenjarakan sesuai dengan putusan pengadilan bersifat ingkrah.

Aktivis LSM asal Tana Luwu yang satu inipun, menyampaikan akan terdapat sejumlah pihak sangat bisa terseret kasus hukum, terkait praktik-praktik mafia tanah berupa kasus jual beli lahan di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL ini.

Seperti salah satunya mantan Camat Bastem, Kepala Desa Bolu, Pemangku Adat/Parengnge Kira dan kawan-kawan. “Bahkan dapat pula menyeret pihak manajemen perusahaan PLTMH tersebut,” tandasnya.

Diduga Kuat Libatkan Perusahaan Berskala Korporasi

Sesuai penelusuran media ini, bahwa proyek PLTMH dimaksud, merupakan salah satu pengembangan kegiatan usaha sebuah perusahaan holding company bernama PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN). Berkantor di Kencana Tower 11th Floor, Business Park Kb. Jeruk, Jl. Meruya Ilir Raya No.88, Meruya Utara, Kec. Kembangan, Kota Jakarta Barat.

Menurut rencananya perusahaan tersebut akan menggelontorkan investasi sebesar Rp 1,2 triliun melalui anak perusahaannya yang disebut PT Tiara Tirta Energi, untuk membangun proyek PLTMH di Sungai Noling, Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu.

Adapun PT Tiara Tirta Energi ini juga berkantor di Kencana Tower 2th Floor Suite B, Business Park Kb. Jeruk, Jl. Meruya Ilir Raya No.88, Meruya Utara, Kec. Kembangan, Kota Jakarta Barat.

Ketika ditanyakan, apakah pihak Kejati Sulsel dan Kejari Luwu akan mampu mengusut kasus dugaan praktik-praktik mafia tanah dan indikasi penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan izin pihak Pemkab Luwu terhadap proyek PLTMH yang sifatnya berskala perusahaan korporasi seperti ini?

Jawab aktivis anti korupsi yang juga kerap disapa Bang Ories ini, bahwa pihak kejaksaan itukan sudah sangat teruji dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan sejumlah perusahaan yang sifatnya berskala korporasi selama ini.

“Jadi kita sangat tidak perlu lagi meragukan integritas pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus yang melibatkan perusahaan berskala korporasi. Sebab sudah terdapat sejumlah kasus perusahaan berskala korporasi yang sedang dan telah ditangani secara tuntas pihak kejaksaan,” tuturnya.

Apalagi Kajati Sulsel sekarang ini, kata Bang Ories, dikenal sangat berkomitmen kuat dalam membongkar kasus-kasus dugaan korupsi berskala jumbo. “Jadi kita tentunya sangat optimis akan dapat pula menuntaskan kasus dugaan mafia tanah, terkait jual beli lahan di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL tersebut. Sekaligus akan juga dapat mengungkap sinyalemen penyalahgunaan wewenang terhadap penerbitan izin PLTMH yang dikeluarkan pihak Pemkab Luwu tersebut,” harapnya.

Adapun sinyalemen penyalahgunaan wewenang dimaksud, bahwa mestinya Bupati Luwu (Basmin Mattayang –red) mengeluarkan izin lokasi terhadap proyek PLTMH ini, setelah pihak perusahaan tersebut terlebih dahulu mengantongi izin pinjam pakai lahan dari Kementerian KLH. Sebab lahan dimaksud adalah berstatus kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL di bawah domain kebijakan Kementerian KLH.

Kajian Analisa Dokumen AMDAL-nya Disinyalir Tidak Sesuai Prosedur

Namun yang palig urgent lagi disini, lanjut Bang Ories menuturkan, sebab diduga kuat PLTMH ini tidak memiliki dokumen kajian AMDAL dan disinyalir pula justru hanya menggunakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk UKL-UPL.

Semestinyakan penanaman investasi sampai sebesar Rp 1,2 triliun sudah diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dokumen kajian AMDAL, sebagai bentuk standar kententuan terhadap pengelolaan lingkungan menurut prinsip-prinsip enviromental ethics and enviromental justice.

Lanjut ia menyampaikan, apalagi namanya membendung sungai besar seperti Sungai Noling itu, untuk rencana pembangunan proyek PLTMH yang sifatnya beresiko tinggi. Jika hanya menggunakan dokumen UKL-UPL untuk memperoleh izin lingkungan dari pihak Pemkab Luwu, maka jelas itu juga merupakan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang. “Karena UKL-UPL hanya untuk digunakan pada kegiatan dengan dampak lingkungan yang lebih terbatas saja,” imbuhnya.

Kalaupun sudah ada dokumen kajian AMDAL-nya, lanjut putra kelahiran Bastem ini mempertanyakan, lalu kapan dilakukan kegiatan sosialisasinya dan di lingkungan masyarakat akan bakal terdampak yang mana dilakukan kegiatan sosialisasinya. Kapan pula dilakukan kegiatan ekspose uji kajian akademisnya dan di mana dilakukan serta siapa saja ahli berkompeten yang hadir sebagai narasumbernya.

Menurut Bang Ories, karena namanya dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk AMDAL, harus dikaji secara komprehensif oleh konsultan lingkungan yang ber-qualifide untuk disosialisaikan secara transparan. Kemudian dilakukan uji kajian secara akademis dengan melibatkan ahli-ahli disiplin ilmu lingkungan, LSM pemerhati lingkungan, stakeholder berkepentingan dan masyarakat yang akan bakal terdampak.

Untuk kemudian diverifikasi dan divalidasi melalui penilaian Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Komisi Penilai AMDAL. Karena Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas untuk menilai dokumen AMDAL yang terdiri dari Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

Dengan nada ragu, Bang Ories pun menyampaikan, sepertinya rencana dolumen pengelolaan lingkungan hidup PLTMH ini, tidak pernah disosialisikan di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang akan bakal terdampak pada tiga desa di Kecamatan Bastem tersebut, yakni Desa Bolu, Desa Kanna dan Desa Langi’.

“Saya kan putra dari situ, namun tidak pernah sama sekali ada kedengaran perusahaan PLTMH ini pernah melakukan sosialisasi terhadap rencana pengelolaan lingkungan hidup di tengah masyarakat akan bakal terdampak pada ketiga wilayah desa tersebut,” terangnya.

Lanjut ia menyampaikan, jika memang perusahaan PLTMH ini memiliki dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat konkret dan berakuntabel publik, kan tidak harus timbul permasalahan terhadap pelaksanaan pembebasan lahannya.

Dijelaskannya lebih lanjut, sebab bidang-bidang tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi rencana pembangunan proyek PLTMH ini, sudah seharusnya secara detail pula tercover semuanya dalam dokumen feasibility stady tentang rencana pengelolaan lingkungan hidupnya tersebut, apakah itu dalam bentuk dokumen UKL-UPL maupun dalam bentuk dokumen AMDAL.

“Tentunya pula dalam dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup itu, maka juga sudah seharusnya terdata secara konkret mengenai status kepemilikan lahannya dan siapa saja pemiliknya. Apakah sifat lahannya adalah bersatus kepemilikan masyarakat atau bersatus tanah negara bebas dalam bentuk kawasan hutan dan atau kawasan APL.”

Hal itulah, sehingga Aktivis Pembela Arus Bawah ini sangat mensinyalir dokumen UKL-UPL dan atau dokumen AMDAL rencana proyek PLTMH ini kajian analisanya tidak sesuai prosedur. Boleh jadi pula dimanipulasi data-datanya dan atau direkayasa kajian analisa rencana pengelolaan lingkungan hidupnya. “Jadi kita sangat mendunga kuat fiktif dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup proyek PLTMH tersebut,” tukasnya.

Alasan kita, bahwa terdapat indikasi perusahaan PLTMH ini dalam memperoleh izin lingkungan dan izin lokasi dari Pemkab Luwu, sangat disinyalir kuat tidak sesuai dengan prosedur yang sudah diatur menurut tahapan perolehan izin lingkungan atau izin AMDAL sebagaimana dimaksud dalam ketentuan regulasi yang berlaku.

Saya inikan, akunya, sudah pernah beberapa kali diundang menghadiri ekspose kajian AMDAL secara akademis. Karena mengingat lokasi rencana proyek PLTMH ini berada dalam kawasan hutan produksi atau atau kawasan APL. Jadi dokumen hasil kajian AMDAL-nya itu setelah mendapat rekomendasi penilaian dari Komisi Penilai AMDAL. Lalu diajukan kepada pihak Kementerian KLH, untuk memperolah izin pinjam pakai kawasan hutan dan atau kawasan APL. Hal tersebut, maka barulah diberikan izin lingkungan atau izin AMDAL dan izin lokasi serta perizinan dalam bentuk lainnya.

Lain halnya, sambungnya, jika lokasinya itu di luar kawasan hutan dan atau kawasan APL yang sudah dikonvesri menjadi kawasan hunian atau menjadi kawasan lahan pertanian masyarakat, sehingga tidak perlu memperoleh izin pinjam pakai dari pihak Kementerian KLH, jadi cukup memperoleh kesepakatan persetujuan dari masyarakat pemegang hak tanah di lokasi setempat.

Harapannya baik kepada Kajati Sulsel maupun Kajari Luwu agar kiranya dapat memberikan atensi melalui penanganan prioritas, terkait dengan pengusutan kasus dugaan mafia tanah mengenai praktik-praktik jual beli lahan kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL, untuk lokasi rencana proyek PLTMH di Bastem tersebut.

Lanjut ia mengharapkan, sekaligus mengusut tuntas dugaan perekayasaan dokumen AMDAL-nya dan indikasi penyalahgunaan wewenang, sehubungan atas terbitnnya perzinanan PLTMH ini sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh pihak Pemkab Luwu dan jenis-jenis peizinan lainnya tersebut.

Kita tentunya sangat optimis, tambahnya, kasus yang diduga kuat melibatkan perusahaan PLTMH yang sifatnya berskala korporasi ini, akan segara mendapat penanganan prioritas oleh pihak Kejati Sulsel atau Kejari Luwu.

“Soalnya pihak kejaksaan telah terbukti memberikan ekspektasi kuat dalam mengungkap kasus-kasus perusahaan yang sifatnya berskala korporasi selama ini,” pungkas Aktivis Pembela Arus Bawah ini. (Redaksi/Made)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *