Tabloid SAR – Penanganan pihak DPRD Luwu Timur (Lutim) terhadap kasus konflik teunurial di Blok Tanah Malia, dinilai sangat tidak pro rakyat kepada pihak masyarakat petani lada di Desa Loeha dan Desa Rante Angin, Kecamatan Towuti, Kabupaten Lutim, Sulawesi Selatan.
Pada awalnya pihak masyarakat petani lada dari kedua wilayah desa ini sangat berharap banyak agar tuntutan aspirasinya dapat diakomodir dengan baik oleh pihak DPRD Lutim. Akan memperoleh solusi yang berkepihakan, terkait penanganan atas terjadinya konflik teunurial atau konflik penguasaan dan pemilikan atas hutan dengan pihak perusahaan tambang nikel PT Vale Indonesia tersebut.
Akan tetapi rekomendasi hasil penyelesaian atas konflik lahan dimaksud, sebagaimana yang dikeluarkan pihak Komisi III DPRD Lutim pertanggal 17 Februari 2025 tersebut, namun justru sangat mengecewakan.
Karena sepertinya sangat tidak ada ruang kehidupan bagi rakyat di mata wakil rakyat di daerah ini, jika menangani konflik lahan yang berhubungan dengan kepentingan pihak korporasi.
Hal tersebut dikemukakan oleh Ali Kamri, selaku Ketua Asosiasi Petani Lada Loeha Raya melalui rilisnya yang diterima media ini pada Rabu (19/02-2025). Kata dia, bahwa banyak poin yang tertuang dalam rekomendasi Komisi III DPRD Lutim itu justru bersifat diskrimantif dan sangat meresahkan masyarakat.
“Kita menilai, jika rekomendasi DPRD Lutim , namun justru sangat terkesan menindas rakyat dalam hal ini masyarakat petani lada,” tuturnya.
Ia pun menekankan bahwa kami selaku Asosiasi Petani Lada Loeha Raya yang meliputi Desa Loeha dan Desa Rante Angin dengan tegas menolak segala bentuk kebijakan yang sifatnya tidak pro-rakyat dan berpotensi mengancam kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain, lanjutnya, jika rekomendasi Komisi III DPRD Lutim ini juga sedikitpun tidak mempertimbangkan kondisi sosial lainnya baik dari aspek ekologi maupun lingkungan.
Menurutnya, bahwa pihaknya akan mengagas aksi demonstrasi besar-besaran yang direncanakan akan berlangsung dalam waktu dekat, dijamin akan tertib namun tegas serta menuntut respon nyata dari pemerintah daerah dan pusat.
“Kita ingin pemerintah daerah dan pusat agar lebih berempati kepada ruang-ruang kehidupan masyarakat, terlebih kami ini selaku masyarakat petani lada yang juga telah berkontribusi banyak hal kepada negara,” harapnya.
Ali Kamri mengemukakan, kami selaku masyarakat petani lada tidak perlu lagi banyak dipusingkan oleh negara. Bahkan kami selama ini justru telah banyak juga berkontribusi kepada negara.
Seperti dalam hal kemandirian melalui kegiatan ekonomi usaha tani lada rakyat, sehingga juga bisa membuka lapangan kerja perkebunan lada. Selain turut aktif membayar pajak, sebab setiap Saprodi dan kebutuhan untuk peningkatan produksi pertanian lainnya yang kami beli telah pula dibebani pajak.
“Kami pun justru telah turut pula menjadi penyumbang devisa untuk negara, karena lada hasil pertanian kami merupakan salah satu komoditas ekspor,” bebernya.
Lalu kenapa pihak DPRD, lanjut ia mengatakan, seolah justru tidak pernah mau berpihak kepada kami, tapi lebih berpihak kepada korporasi perusahaan tambang nikel PT Vale itu. “Apa karena kami hanyalah bersatus sebagai rakyat jelata, sehingga tidak seterhormat dengan kemewahan menara gading perusahaan tambang nikel tersebut,” ucapnya dengan penuh tanya.
Ali Kamri mengakui, bahwa lokasi tanah di Blok Tanah Malia yang telah menjadi lahan perkebunan lada masyarakat, merupakan kawasan hutan dan juga menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) perusahaan tambang nikel PT Vale.
Tapikan DPRD Lutim, sambungnya, sebagai penyambung suara aspirasi rakyat pada pihak pemangku kebijakan, bisa saja mengusulkan lokasi dimaksud untuk dialih-fungsikan (dikonversi) menjadi APL (Areal Penggunaan Lain) untuk ditetapkan lebih lanjut menjadi lahan perkebunan lada masyarakat.
Tuturnya lagi, apalagi kebun lada masyarakat sudah produktif pada lokasi Blok Tanah Malia ini, dan juga sudah turut memberikan kontribusi untuk mengentaskan kemiskinan. “Pertanyaannya, bukankah anggota legislatif itu dipilih rakyat untuk membela kepentingan kehidupan masyarakat,” ujarnya dengan nada heran.
Jadi sepertinya DPRD Lutim ini, sebutnya, tak ubahnya perpanjangan lidah dari pihak korporasi. “Pihak korporasi justru dibela kepentingan WIUPK-nya, dengan justru membiarkan rakyat yang diwakilinya agar kehilangan sumber kehidupannya.
Hal itulah, tambahnya, maka pihaknya dalam waktu dekat ini akan mempersiapkan rencana aksi demonstaris besar-besaran, untuk menuntut rasa keadilan atas pengelolaan agraris yang sifatnya berkepihakan kepada rakyat.
“Kami dari Asosiasi Petani Lada Loeha Raya akan terus melawan praktek-praktek pengakomodasian aspirasi di DPRD bersifat diskriminatif, sampai tuntutan rasa keadilan terhadap pengelolaan hak-hak agraris sebagai warga negara dapat dipenuhi pihak pemangku kebijakan,’ kunci Ali Kamri. (*)