Yanto Masekken : Hanya Keturunan “Kaunan” yang Berkompromi Pembongkaran Kuburan Leluhur dengan Pihak Perusahaan
Tabloid SAR – Aksi pemblokadean akses jalan ke perusahaan tambang emas PT Masmindo Dwi Area, sepertinya masih terus berlanjut pada beberapa titik aksi di Desa Ranteballa, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Aksi pemblokadean akses jalan tersebut digelar oleh sejumlah Rumpun keluarga Masyarakat Adat Ranteballa. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Forum Latimojong Menggugat (FLM), A Yosoa Pasande via handpone-nya pada hari ini, Sabtu (28/06-2025).
Salah satu tokoh adat Ranteballa yang lebih akrab disapa Arfan ini, mengaku jika dirinya baru saja dari Desa Ranteballa untuk memantau dan mensupport aksi pemblokadean akses jalan tambang tersebut.
Ia pun meminta segenap rumpun keluarga Masyarakat Adat Ranteballa agar bersatu, untuk menolak keras pembongkaran kuburan nenek moyang di Ranteballa. Karena kuburan kuno atau makam tua tersebut, menjadi bukti paling outentik bahwa lokasi tambang PT Masmindo itu, merupakan tanah adat kita secara turun-menurun.
Menurutnya, kalau kuburan itu sampai disetujui dibongkar hanya karena silau dengan uang kompensasi pembongkaran kuburan dari perusahaan. Maka itu sama saja menghilangkan lokasi tanah adat sendiri.
“Jadi tidak ada sama sekali artinya itu uang kompensasi pembongkaran setiap kuburan sebesar Rp 30 juta dari pihak perusahaan, ketimbang kita justru malah kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat bersejarah atas tanah adat warisan lelulur kita di Ranteballa itu,” kata Arfan.
Wakil Ketua Masyarakat Adat Ranteballa Bersatu inipun meminta agar segenap rumpun keluarga masyarakat adat Ranteballa harus memiliki rasa malu untuk mempertahankan harga diri, supaya bersama-sama menolak keras uang kompensasi pembongkaran kuburan dari perusahaan tersebut.
Kecam Adanya Indikasi “Mafia” Kuburan
Salah satu tokoh kunci kaparengngesan Lemo-Ranteballa yang lebih familiar disapa Arrang ini, tak lupa mengecam atas adanya kelompok tertentu yang terindikasi menjadi mafia kuburan, untuk berupaya menegiosasikan pembongkaran kuburan leluhur untuk kepentingan perusahaan tambang.
Apalagi, kata Arrang lebih lanjut, terdapat salah satu oknum Pemangku Adat/Parengnge yang disebut-sebut justru mempelopori pembongkaran kuburan leluhur tersebut. “Jadi oknum Parengge seperti ini, sudah seharusnya dikutuk tujuh turunan, sekaligus dikenakan sanksi hukum adat dengan pencopotan sebagai Parengnge,” tandasnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Yanto Masekken, salah satu tokoh Masyarakat Adat Kendeapi-Ranteballa. Kata dia, bahwa hanya keturunan “kaunan (budak –red)” yang setuju berkompromi terhadap pembongkaran kuburan leluhur dengan pihak perusahaan. “Apalagi itu namanya membongkar kuburan leluhur rumpun sendiri,” tukasnya.
Kata Yanto, itukan namanya sudah sangat ironis, jika sampai ada juga oknum Pemangku Adat/Parengge yang terindikasi untuk berkompromi dengan pihak perusahaan, hanya karena uang kompensasi sebesar Rp 30 juta untuk setiap pembokaran kuburan.
“Pemangku Adat itukan, mestinya berpihak untuk membela rasa keadilan masyarakat adatnya, demi mempertahankan kuburan leluhur dan tanah adat yang berlokasi di Ranteballa itu,” ucapnya.
Dia pun juga meminta, khususnya kepada segenap Rumpun Keluarga Masyarakat Adat Kandeapi-Ranteballa, agar tetap mempertahankan kuburan leluhur dari adanya indikasi sekelompok mafia kuburan, terkait dengan upaya mereka untuk berkompromi dengan pihak perusahaan terhadap pembongkaran kuburan leluhur, hanya karena faktor uang kompensasi yang sangat tidak seberapa itu.
“Ayo, mari kita berjuang bersama-sama untuk tetap mempertahankan kuburan leluhur dan tanah adat kita di Desa Ranteballa tersebut,” ajaknya.
Lanjut Yanto, sebab kalau kuburan leluhur tersebut sampai dibongkar, maka tanah adat kita di Ranteballa dengan sendirinya menjadi hilang. Akibat sudah tidak ada lagi kuburan leluhur untuk dijadikan sebagai alat bukti terhadap lokasi tanah adat kita di Ranteballa.
Apalagi, sambungnya, sudah ada juga statement Pak Jenderal Frederik Kalalembang, Anggota DPR-RI, telah menyampaikan akan membawa kasus sengkata tanah adat dengan pihak perusahaan, untuk disidangkan melalui RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) di DPR-RI, sabagaimana yang baru saja dirilis media online ini.
Sebaiknya juga baca link berita terkait di bawah ini :
Terlebih lagi, lanjut kata Yanto, pihak Pemkab Luwu melalui Komnas HAM, rupanya sudah pula mengakui keberadaan lokasi tanah Masyarakat Adat Kandeapi-Ranteballa, atas perjuangan Bang Foxchy (Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy) di Jakarta.
Ia lalu menambahkan, jadi kita percayakan saja sama Pak Jenderal Frederik Kalalembang bersama dengan Bang Foxchy di Jakarta, terkait dengan pengurusan tanah adat kita di Ranteballa itu.
“Kuncinya disini adalah semangat persatuan kita untuk terus melawan para mafia tanah dan mafia kuburan, demi bersama-sama mempertahankan tanah adat dan kuburan leluhur kita di Ranteballa tersebut,” pungkasnya. (*)