Puang Danduru V Mengaku Siap Memediasi Penanganan Solusi Kasus Pembebasan Lahan PLTMH di Desa Bolu

News804 views

Agar Tidak Bermasalah dengan Kasus Hukum, Kita Selaku Kepala Desa dan Pemangku Adat Harus Bisa Mengetahui Status Lahan Menurut Perundang-undangan

 

Tabloid SAR – Pelaksanaan pembayaran kompensasi lahan yang dilakukan pihak PT Tiara Tirta Energi, untuk lokasi pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang berlokasi di Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Salatan. Nampaknya juga menjadi perhatian dari Pemangku Adat Puang Danduru V yang beralamat di Rantebua, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

Pemangku Adat Puang Danduru V, Puang Ismail Danduru kepada media ini, Sabtu (22/06-2024) saat dikonfirmasi melalui nomor whatsapp-nya, mengaku siap untuk memediasi secara kekeluargaan pihak-pihak bersengketa, terkait dengan pelaksanaan pembayaran kompensasi lahan untuk lokasi proyek pembangunan PLTMH tersebut.

Menurutnya bahwa bidang-bidang tanah yang sedang dipersengketakan tersebut, seharusnya didudukkan permasalahannya sesuai dengan akar ketentuan hukum adat itu sendiri. Seperti adanya bukti-bukti empiris peninggalan leluhur di lokasi, tentunya pula harus jelas kronologis latar belakang sejarahnya menurut susunan silsilah keturunannya.

Kata dia, karena dalam perspektif hukum adat Bastem, tanah adat atau hak-hak ulayat masyarakat hukum adat adalah berupa lahan persawahan atau bekas persawahan. Apabila itu dalam bentuk lahan perkebunan tapi harus pula didukung dengan bukti-bukti tananam tua (warisan leluhur). Termasuk adanya bukti-bukti bekas mata kali yang disebut dengan istilah pa’randukan pikali.

Lanjutnya, jadi hanya dua jenis tanah adat To Parengnge, yaitu lokasi batu ariri dan katongkoan. Selain itu, maka merupakan lahan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun ada juga namanya lahan perkebunan yang disebut dengan istilah palelean sarong, tapi itupun tidak menjadi milik warisan pribadi atau bisa juga dikatakan sebagai lahan bebas dikelola oleh siapapun secara musiman.

Perlu pula dipahami, kata Puang Danduru V, bahwa pemangku adat seperti To Parengnge tugasnya saat sekarang ini hanya melestarikan adat istiadat dan budaya kearifan lokal, berserta menjaga niliai-nilai spritual waliran leluhur yang disebut dengan istilah aluk pemali.

Ia lanjut menjelaskan, jadi To Parengnge itu hanya tinggal sebatas simbolis dalam menegakkan kedaulatan nilai-nilai kearifan rumpun masyarakat adatnya. Karena pemangku adat sama sekali tidak memiliki hak-hak kedaulatan wilayah. Sebab status tanah dalam wilayah setiap daerah sudah di bawah penguasaan negara menurut ketentuan perundang-undangan,” bebernya.

Kendati demikian, kata dia lagi, bahwa keberadaan tanah adat atau hak-hak ulayat masyarakat hukum adat tetap dihormati oleh negara. Akan tetapi harus pula didukung dengan bukti-bukti seperti yang telah saya jelaskan tadi.

Ismail juga mengemukakan, bahwa orang-orang zaman dahulu selalu menyebut setiap lokasi tanah adatnya berdasarkan asul-usul sejarah kepemilikannya. Seperti contohnya, kenapa lokasi tanah itu sampai disebut Bone Sura’, Pa’kamboan, Bone Lambe dan Bone Kapa’ serta lain-lainnya. “Hal itu, maka merupakan salah satu petunjuk bukti sejarah kearifan lokal, bahwa lokasi-lokasi ini merupakan warisan tanah adat,” tukasnya.

Tuturnya lebih lanjut, namun bagi pihak-pihak yang memang tidak mampu menjelaskan secara runut dan konret megenai kronologis latar belakang sejarah kepemilikan tanah tersebut beserta siapa nama leluhurnya yang pernah mengelola lahan dimaksud menurut silsilah keterunannya. Maka boleh jadi pihak-pihak yang mengklaim lahan tersebut hanyalah mengada-ada saja.

Puang Danduru V mengaku sangat siap untuk memediasi dan juga siap mempertanggungjawabkan mengenai harga kompensasi pembayaran lahan yang telah diterima oleh Nek Pamembonan dari pihak perusahaan PLTMH tersebut.

Mantan Kepala Desa Maindo inipun juga mengaku sangat menjamin soal harga tanah yang telah diterima Nek Paembonan itu masih ada dan utuh sampai sekarang. Hal itu juga dirinya sangat bersedia pula untuk memediasi penanganan solusinya dengan pihak ahli waris yang sebenarnya.

Namun permintaan saya, sambungnya, siapa dari pihak keluarga ahli waris yang dikuasakan untuk bersama-sama membicarakan langkah-langkah penanganan solusi terhadap dana pembayaran harga kompensasi lahan yang ada pada Nek Paembonan tersebut.

Akan tetapi Kepala Lembang Rantebua ini menyampaikan sangat tidak bisa menjamin dan mempertanggungjawabkan mengenai dana harga kompensasi pembayaran lahan yang telah diterima Pak Sanusi. “Dana pembayaran harga kompensasi lahan yang ada pada Pak Sanusi itu sangat tidak bisa saya pertanggung jawabkan tapi saya akan mencoba memediasinya,” ungkapnya.

Jadi mengenai kasus ini, saya juga sudah komunikasikan dengan Bang Foxchy (Aktivis Pembela Arus Bawah) di Jakarta melalui telepon. Namun rupanya pihak LSMnya sudah pula melaporkan kasus ini ke pihak kejaksaan.

Saya juga sudah kasih tahu itu kemanakan (Bang Foxchy –red) agar pengaduannya ke pihak APH  (Aparat Penegak Hukum) tersebut, supaya ditunda dulu proses penanganan hukumnya. “Kita selesaikan dululah melalui jalur musyawarah secara kekeluargaan kasus ini,” kata mantan anggota DPRD Luwu tersebut.

Soalnya, kata dia lagi, kalau kasus ini sudah masuk proses penanganan hukumnya, sudah tidak bisa lagi kita menempuh jalur musyawara secara kekeluargaan. Apabila bidang-bidang tanah yang dipermasalahkan itu, masuk di dalam kawasan hutan produksi dan atau kawasan APL (Areal Penggunaan Lain), maka itu sudah sifatnya perbuatan melawan hukum.

Lanjut ia mengemukakan, saya inikan kepala desa dan juga mantan anggota DPRD Luwu, paling tidak sedikit banyak juga tahu peraturan perundang-undangan, terkait dengan ketentuan hukum kasus jual beli lahan baik di dalam kawasan hutan maupun di dalam kawasan APL.

Apalagi sudah tidak sedikit pula kepala desa dan pihak-pihak lainnya yang terlibat kasus jual beli kawasan APL yang tersandung kasus hukum. “Karena walau bidang-bidang tanah adat itu terdapat di dalam kawasan APL tapi masih sifatnya berstatus tanah negara bebas, selama itu belum dikonversi menjadi kawasan hunian atau kawasan lahan pertanian masyarakat. Apalagi kalau lahan tersebut merupakan kawasan hutan,” paparnya.

Salah satu tokoh kunci masyarakat adat Bastem inipun mengingatkan, agar tidak bermasalah dengan kasus hukum, kita selaku kepala desa dan pemangku adat harus bisa mengetahui setiap status lahan pada wilayah masing-masing, menurut perundang-undangan dan regulasi. Sebab negara sudah memetakan setiap status lahan dalam suatu wilayah sesuai peruntukannya, menurut ketentuan perundang-undangan dan regulasi.

Lanjut ia mengingatkan, jangan karena kita sebagai kepala desa atau pemangku adat, lalu juga mentang-mentang menggunakan otoritas sebagai penguasa wilayah, kemudian seenaknya pemperjualbelikan lahan yang sama sekali tidak valid dasar hukumnya dan juga sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran asal-usul lahan tersebut di hadapan hukum.

Ia pun menambahkan, kalau nantinya kasus jual beli lahan ini sampai ditindaklanjuti proses penanganan hukumnya, sehingga lahan tersebut memang terbukti merupakan kawasan hutan produksi dan atau kasawan APL, maka bersiap-siap jugalah menghadapi proses hukum tersebut.

“Namun harapan saya selaku keluarga, agar kasus jual beli lahan ini dapat segera kita diselesaikan melalui jalur musyawarah secara kekeluargaan. Kita pun juga sangat berharap kepada pihak LSM yang mengadukan kasus ini dapat pula mencabut pengaduannya tersebut,” harap Puang Danduru V ini mengakhiri komentarnya. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *