Kepala UPT KPH Latimojong Diminta Tidak Tanggapi Surat Tomakaka Ulusalu
Tabloid SAR – Perusahaan pertambangan emas PT Masmindo Dwi Area (Masmindo) yang berlokasi di Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Sepertinya terus menuai berbagai tuntutan dan sorotan dari ruang publik, setelah perusahaan ini diakuisisi PT Indika Energy Tbk atau INDY GROUP pada September 2022 lalu.
Adapun berbagai sorotan dimaksud, mulai dari kasus pembebasan lahan yang sampai saat ini terus dipermasalahkan pihak masyarakat adat. Belum lagi tuntutan aksi unjuk rasa warga desa setempat, akibat merasa sangat didiskriminasi dalam rekrutmen ketenagakerjaan.
Namun menyusul pula peristiwa banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Kabupaten Luwu, bahkan justru tak terlepas dikait-kaitkan dengan perusahaan pertambangan emas terbesar di Sulawesi Selatan tersebut.
Seiring dengan hal tersebut, nampaknya terdapat sejumlah pihak lagi mengurus kasus dugaan mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo. Maka pihak-pihak dimaksud sangat ditengarai sebagai mafia tanah, tapi juga mengurus kasus dugaan mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo.
Ada yang diduga kuat menjadi makelar kasus atau markus mafia tanah di Jakarta, untuk mengurus kasus tanah seluas 331 hektare yang berlokasi di Ranteropi, Desa Boneposi. Ada juga Pemangku Adat Parengnge yang diduga kuat juga terlibat kasus mafia tanah tapi menunjuk seorang pengacara, untuk mengadvokasi permasalahn lahan masyarakat adat di Desa Ranteballa.
Bahkan ada pula yang mengaku sebagai Pemangku Adat Tomakaka Ulusalu, untuk juga mulai mengklaim lahan masyarakat adat di dalam wilayah kontrak karya PT Masmindo tersebut.
Terkait lokasi tanah seluas 331 hektar yang bermasalah pembebasannya di Ranteropi tersebut, sehingga mendapat sorotan tajam dari para tokoh masyarakat adat Ranteballa-Boneposi.
Pasalnya disinyalir kuat pelaku mafia tanah juga yang justru mengklaim sebagai pemilik pada lokasi tanah seluas 331 hektar itu. Kemudian diduga kuat pelaku mafia tanah pula yang bertindak sebagai markusnya untuk mengurus kasus ini di Jakarta.
Bahkan sejumlah tokoh masyarakat adat Boneposi pada tahun lalu, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2023 telah melayangkan surat keberatan kepada Direktur Utama PT Indika Energy dan Direktur Utama PT Masmindo Dwi Area, mengenai adanya klaim pihak tertentu yang sangat tidak berdasar kepemilikannya atas tanah seluas 331 hektare yang berlokasi di Ranteropi tersebut.
Menyikapi hal ini para tokoh masyarakat adat Ranteballa-Boneposi tersebut, meminta PT Masmindo agar jangan lagi tertipu dengan para mafia tanah yang lagi mengurus kasus pembebasan lahan yang bermasalah tersebut. Hal tersebut dikemukakan Robby Tanduk Lagi pada hari ini, Kamis (09/05-2024).
Salah satu Tokoh Masyarakat Adat Boneposi ini mengemukakan, bahwa hanya empat rumpun yang menjadi ahli waris pada lokasi tanah di Ranteropi tersebut, yakni rumpun kami dari warisan Puang Nek Tibarra, rumpun Pak Kasenda, rumpun Puang Nek Manggopang dan rumpun Puang Masekken.
Selain rumpun keluarga yang saya maksud itu, kata Robby, sehingga hanya mafia tanah yang mengklaim lahan sampai seluas 331 hektar di Ranteropi tersebut. “Jadi yang mengurus kasus dugaan mafia tanah, selain rumpun keluarga tersebut, maka itu juga bisa disebut makelar kasus (markus) mafia tanah juga,” terangnya.
Sementara sorotan atas adanya Pemangku Adat Parengnge yang telah menunjuk pengacara, untuk mengadvokasi permasalahan lahan masyarakat adat di Desa Ranteballa. Padahal Pemangku Adat Parengnge di Ranteballa tersebut diduga kuat juga terlibat sebagai salah satu pelaku mafia tanah, karena disinyalir menggunakan surat palsu kepemilikan tanah untuk menerima harga pembebasan lahan dari PT Masmindo.
Adapun pengacara yang telah ditunjuk tersebut, disebut-sebut mengaku kepada sejumlah warga masyarakat adat Ranteballa, bahwa telah berhasil menyelesaikan kasus sengketa tanah antara pihak masyarakat dengan pihak PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) di Desa Karang-Karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu.
Sesuai penelusuran awak media ini, bahwa rupanya pengacara yang ditunjuk oleh salah satu Pemangku Adat Parengnge di Ranteballa tersebut, tidak pernah berurusan dengan pihak PT BMS, terkait kasus sengketa lahan dengan masyarakat Desa Karang-Karangan tersebut.
“Tidak pernah ada pengacara yang berurusan dengan pihak kami di PT BMS terkait kasus sengketa lahan dengan masyarakat,” ucap Staf Legal Management salah satu anak perusahaan KALLA GROUP tersebut, minta agar tidak dimediakan identitasnya.
Halnya mengenai adanya sorotan kepada Pemangku Adat Tomakaka Ulusalu, lantaran juga mulai mengkalim lahan masyarakat adat di dalam wilayah kontrak karya PT Masmindo tersebut. Hal ini, sepertinya kembali meresahkan masyarakat adat Boneposi.
Soalnya, lahan yang juga akan diklaim Pemangku Adat Tomakaka Ulusalu disebut-sebut kurang lebih seluas 500 hektar dan masuk dalam wilayah kontrak karya PT Masmindo. Lahan seluas yang akan diklaim tersebut, meliputi sebagian wilayah Desa Boneposi, sebagian wilayah Desa Kadundung, sebagian wilayah Desa To’barru dan sebagian wilayah Kandeapi di Desa Ranteballa.
Hal tersbut dikemukakan oleh Samsu Ali, salah satu tokoh masyarakat Boneposi kepada awak media ini. “Lahan rumpun keluarga kami di Limbong, Dusun Bungadidi juga akan masuk dalam klaim Tomaka Ulusalu,” tuturnya.
Menurutnya, Tomakaka Ulusalu itu pernah datang membawa surat, tapi kepala desa tidak mau tandatangani, namun justru ditandatangani Pak Camat. “Jadi surat Tomakaka Ulusalu tersebut cacat administrasi sebab tidak ditandatangai kepala desa,” kata Samsu Ali.
Mengenai kasus baru ini, lanjut ia menyampaikan, kita juga sudah sampaikan ke LSM Pembela Arus Bawah supaya membantu, terkait dengan lokasi lahan mayarakat adat yang akan diklaim oleh Tomakaka Ulusalu tersebut.
Ia pun menambahkan, kalau Kepala UPT KPH Latimojong menanggapi surat Tomakaka Ulusalu itu, bisa-bisa menjadi pemicu komplik agraria pada sejumlah desa tersebut. “Jadi kita sangat berharap agar surat Tomakaka Ulusalu itu tidak ditanggapi Kepala UPT KPH Latimojong,” pintah Samsu Ali.
Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy lalu memberikan tanggapan mengenai dugaan para mafia tanah yang ingin mengklaim tanah masyarakat adat di dalam wilayah kontrak karya PT Masmindo tersebut.
Aktivis LSM yang juga kerap disapa Bang Foxchy ini menyampaikan, kalau ada surat pengaduan resmi dari masyarakat kepada LSM kita, maka tentu akan kita bantu masyarakat sebisa mungkin. “Jadi dasarnya surat resmi pengaduan masyarakatlah baru LSM kita bisa bantu sebisa mungkin,” tuturnya.
Lanjut ia menyampaikan, soal sengkata lahan antara masyarakat adat dengan pihak PT Masmindo dan pihak-pihak lainnya, maka itu LSM kita juga bisa bantu tangani apabila ada pengaduan dari masyarakat secara resmi. “Itupun doumen kepemilikan/penguasaan tanahnya harus pula bisa dipertanggugjawabkan keabsahannya,” ucapnya.
Pegiat masyarakat sipil (civil society) yang juga akrab disapa Bang Ories ini mengaku sama sekali tidak menangani kasus tanah seluas 331 hektare di Ranteropi tersebut. “Hal itu sangat di luar penanganan LSM kami di Jakarta. Jadi kita tidak mau komentari penanganan kasus tanah tersebut,” ungkapnya.
Bang Ories juga tidak ingin mengomentari lebih lanjut mengenai soal markus (makelar kasus) dugaan mafia tanah mengurus kasus dugaan madia tanah, terkait pelaksanaan pembebasan lahan yang dipermaslahakn masyarakat adat ini.
Namun jelasnya, lanjut ia mengemukakan kasus pembebasan lahan PT Masmido yang LSM kita tangani langsung, maka juga sedang dalam progres penanganan pada tingkat Pemerintah Pusat di Jakarta ini. “Alhadulillah, sudah menjadi progres penanganan pada tiga kementerian. Semoga saja segera ada solusinya,” tukasnya.
Hanya saja Bang Ories menolak mengungkap ketiga kementerian tersebut. Intinya, tambah dia, adanya surat dari Bareskrim Polri telah menjadi acuan penanganan ketiga kementerian tersebut. “Yah, kita tunggu sajalah perkembangan progres penanganannya lebih lanjut,” kunci Aktivis Pembela Arus Bawah teresebut. (Redaksi/Made)