Perlunya Memilih Paslon Kepala Daerah Bersifat Visioner Terhadap Kebijakan Pro Rakyat
Oleh : Rahmat K Foxchy, Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik
BAHWA melalui artikel ini, penulis selaku aktivis pemerhati kebijakan publik, mencoba untuk mengangkat potret satu dekade rezim penyelenggaraaan Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Luwu yang disebut sembilan kali berturut-turut memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun ternyata justru berada pada posisi lima besar daerah termiskin di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebagaimana yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 lalu.
Karena mengingat sedang berlangsung tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 ini. Hal itulah, maka penulis berupaya untuk menyajikan artikel ini dalam bentuk bahasa yang sangat sederhana mungkin, dengan harapan agar mudah dicernah oleh para pembaca pada kalangan komunitas arus bawah, khususnya di Luwu ini.
Tentunya hal tersebut, tak terlepas sebagai bentuk saling berbagi informasi, bahwa bagaimana seharusnya mempergunakan kecerdasan kedaulatan hak suara, supaya tidak salah memilih kepala daerah yang sifatnya bermental korup. Karena tujuan pesta demokrasi Pilkada, pada dasarnya untuk memilih leader (pemimpin) tampuk pemerintahan daerah yang bersifat visioner terhadap kebijakan pro rakyat.
Apakah kita sebagai rakyat Luwu sangat tidak merasa malu, jika daerah kita ini setiap tahun terus dirilis oleh pihak BPS untuk selalu dinobatkan sebagai lima besar daerah termiskin di Sulsel?
Kita pun sangat mengharapkan agar melalui Pilkada Serentak 2024 ini, sehingga dapat melahirkan leader tampuk pemerintahan daerah yang mumpuni mengangkat kesejahteraan hidup rakyat Luwu, supaya tidak lagi dipublikasikan menjadi topik-topik pemberitaan media yang sifatnya berkonotasi jelek sebagai salah satu daerah termiskin di Sulsel ini.
Lalu apa pengertian atas perlunya memilih Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah yang bersifat visioner terhadap kebijakan pro rakyat tersebut?
Ya, tentunya bagaimana menggunakan kecerdasan kedaulatan hak suara kita untuk memilih leader tampuk pemerintahan daerah yang beretikabilitas, berintelektualitas, berintegritas moral, berjiwa anti korupsi dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) dan senantiasa pula bersifat responsif terhadap tuntutan aspirasi masyarakat.
Jadi hanya dengan cara itulah, kemajuan daerah Luwu bisa lepas dari salah satu kategori daerah termiskin di Sulsel ini. Jika ingin daerah yang dijuluki Bumi Sawerigading ini tidak mengalami status quo kekuasaan, agar tidak terus menerus diolok-olok setiap tahun dengan satire yang sangat berkonotasi jelek seperti itu.
Potret Kemiskinan, Indikator “Praktik-praktek Korupsi” Masih Memfenomena?!
SUNGGUH sangat bersifat paradoks, jika daerah Luwu yang juga dijuluki sebagai “Wanua Mappatuo Na Ewai Alena” (Negeri Menghidupi Daerahnya Sendiri), tapi justru berbanding terbalik dengan fakta yang sebenarnya terjadi seperti sekarang ini.
Hal tersebut, terkait atas kembali mengemukanya data yang dipulikasikan oleh pihak BPS, bahwa ternyata Kabupaten Luwu masih saja terus menjadi lima besar daerah termiskin di Sulsel ini.
Padahal apabila ditinjau dari segi kesuburan tanahnya, tongkat yang ditancapkan sekalipun bisa tumbuh di daerah ini. Apalagi sudah terdapat beberapa perusahaan, bahkan sudah ada diantaranya yang sifatnya berskala korporasi sampai menanamkan investasi triliunan di daerah Bumi Saweringading ini.
Jadi dengan adanya perolehan predikat WTP sembilan kali secara berturut-turut itu, Kabupaten Luwu sudah semestinya keluar dari kategori daerah termiskin. Tapi faktanya, selama 10 tahun terakhir justru menduduki posisi urutan keempat sebagai daerah termiskin di Sulsel tersebut.
Hal ini menjadi suatu indikator, bahwa korupsi masih memfenomena selama satu dekade rezim peyelenggraan pemerintahan di Kabupaten Luwu tersebut. Jadi sangat ironis, karena dikatakan memperoleh peridikat WTP sembilan kali secara berturut-turut, akan tetapi potret kemiskinan masih saja menyandera masyarakat di daerah yang dikenal begitu subur tanah ini. Lalu untuk apa juga membanggakan sederet perdikat WTP seperti itu, jika tidak mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Jika APBD Luwu dirata-ratakan Rp 1,5 triliunan pertahun selama satu dekade terakhir ini, bisa dikatakan sangat tidak bersifat pro rakyat. Bahkan justru sangat terkesan tidak keberpihakan terhadap pengusaha lokal pelaku usaha jasa pihak ketiga (konrtaktor, konsultan dan lainnya) untuk dilibatkan berparisipasi dalam pelaksanaan alokasi anggaran kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Akibatnya ratusan miliar APBD pertahun pada sektor kegiatan pengadaan barang dan jasa, namun justru dinikmati sejumlah pengusaha pelaku usaha jasa pihak ketiga dari luar daerah. Lebih mirisnya lagi, paket-paket kegiatan yang anggarannya kecil-kecilpun masih juga ditangani para perusahaan pelaku usaha jasa pihak ketiga dari luar daerah.
Jadi sepertinya selama ini, bahwa ada indikasi terdapat pelaku kartel proyek paling berkuasa yang senantiasa mengangkangi alokasi anggaran kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah di daerah ini.
Andaikan lebih mengedepankan potensi pengusaha lokal pelaku usaha jasa pihak ketiga, untuk turut berparisipasi dalam mengelola kue APBD pada sektor kegiatan pengadaan barang dan jasa. Paling tidak akan dapat pula mengakselerasi stimulan pertumbuhan ekonomi lokal, untuk lebih mendorong percepatan terhadap peretasan kemiskinan masyarakat. Sebab alokasi anggaran pada sektor kegiatan pengadaan barang dan jasa sudah tidak harus mengalir keluar daerah.
Jadi akibat selama satu dasa warsa terakhir ini, tidak ada sama sekali kepedulian pembinaan dan pemberdayaan dari rezim Pemkab Luwu terhadap potensi pengusaha lokal pelaku usaha jasa ketiga tersebut. Menjadi salah satu faktor tidak adanya daya saing ekonomi di daerah ini, menyebabkan pertumbuhan ekonomi rakyat selalu saja mengalami stagnasi pada titik nadir.
Padahal dengan membina dan memberdayakan daya saing potensi pengusaha lokal pelaku usaha jasa pihak ketiga tersebut, maka juga merupakan salah satu resource atau sumber daya daerah yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi dalam turut mendorong terwujudnya kesejahteraan hidup masyarakat.
Sementara daerah lainnya yang jauh lebih tandus wilayahnya dan juga lebih sedikit APBD-nya, namun justru melampaui posisi daerah Luwu pada data peringkat daerah lebih sedikit masyarakat miskinnya. Karena pemerintah daerahnya mampu menumbuhkan daya saing pengusaha lokalnya sebagai sumber daya potensial dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakatnya.
Kita tidak perlu mencari kambing hitam apa penyebabnya sampai terjadi fenomena kemiskinan masyarakat yang sangat begitu memiriskan tersebut. Namun jelasnya, bahwa faktornya akibat masih memfenomenalnya praktik-praktik korupsi dalam sistem kebijakan politik anggaran sebuah pemerintahan. Karena korupsi merupakan sumber penyebab timbulnya fenomena kemiskinan, seperti yang terjadi selama satu dekade terahir dialami masyarakat Luwu tersebut.
Bahwa sudah menjadi sebuah dalil terhadap standar sistem kebijakan publik, jika timbulnya faktor kemiskinan masyarakat suatu negara/daerah pada level terendah, akibat sangat memfenomenalnya indikator praktik korupsi. Dengan kata lain belum terwujudnya prinsip-prinsip penyelenggaraan good and clean government.
Karena hanya dengan prinsip-prinsip penyelenggaan good and clean government pada tingkat korupsi yang masih bisa ditoleransi, untuk mampu melepaskan kehidupan masyarakat dari potret kemiskinan.
Jika dengan demikian halnya, berarti belum terselenggaranya prinsip-prinsip good and clean government di lingkup Pemkab Luwu selama ini. Sehingga menyebabkan kehidupan masyarakatnya, masih saja terus bertahan pada posisi lima besar termiskin di Sulsel tersebut.
Pertanyaannya, kenapa daerah Luwu dengan tanahnya yang begitu subur, tapi justru masih saja meyandang predikat potret kemiskinan yang sifatnya sangat berkonotasi jelek seperti itu. Lalu untuk apa diberikan predikat WTP sembilan kali berturut-turut selama ini. Apa ada yang salah dengan sistem kebijakan politik anggaran pada pemerintah di daerah tersebut selama satu dasa warsa ini?
Tentu kesalahannya sangat bersifat prinsipil, akibat faktor kebijakan politik anggaran yang sama sekali sangat tidak berkepihakan pro rakyat. Terlebih predikat WTP sangat dipandang sebagai dokumen sakti bukti pengelolaan keuangan daerah yang berakuntabilitas publik. Padahal status WTP sangat tidak sesakti seperti apa yang dibanykankan.
Karena status WTP bukanlah sebagai bentuk jaminan bagi setiap instansi pemerintah, bahwa harus pula dinyatakan bebas dari potensi korupsi. Sebab tidak sedikit pula instansi pemeritah, contohnya sejumlah pemerintah daerah yang telah menyandang predikat WTP, tapi tetap saja tidak terlepas dari penanganan tindak pidana korupsi.
Indikasi Praktik-Praktik Dugaan Korupsi Pemanfaatan Jabatan
PADA dasarnya, bahwa korupsi itu bukan hanya pada sebatas menyelewengkan keuangan negara. Tapi faktor memanfaatkan jabatan yang sifatnya menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain yang sangat signifikan merugikan masyarakat pada umumnya.
Apabila mencermati penyelenggraan rezim pemerintahan di Kabupaten Luwu selama kurun waktu selama satu dekade belakangan ini. Nampaknya tidak hanya timbulkan praktik-praktik korupsi terhadap penyelewengan keuangan negara, dengan ditandai atas adanya beberapa pihak yang telah terjerat kasus hukum. Hanya saja akibat lemahnya faktor penengakan supremasi hukum, menyebabkan kurang memberikan ekspektasi kuat untuk membongkar secara eksplosif potensi dugaan korupsi di daerah ini.
Belum lagi terhitung sederet potensi isu-isu dugaan korupsi lainnya selama ini telah menjadi perhatian publik. Seperti kasus dana hibah PT Masmindo Dwi Area sejumlah ± Rp 67 miliar, kasus utang sebesar ± Rp 43 miliar, isu-isu dugaan gratifikasi, isu-isu dugaan mark up anggaran, kasus dana desa dan penyalahgunaan anggaran sekolah. Terkini yang lagi menjadi sorotan publik adalah kasus refocusing APBD 2024 dan lain-lainnya.
Adapun dugaan korupsi dalam bentuk kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat, salah satu contohnya pembentukan Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu, terkait dengan penanganan kasus pembebasan lahan PT Masmindo Dwi Area. Sebab ada indikasi dibentuknya Satgas Percepatan Investasi ini, sebagai bentuk sinyalemen pemanfaatan jabatan hanya untuk melindungi kasus dugaan pratik-praktik mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan pada perusahaan tambang emas tersebut.
Akibatnya hak-hak agraris masyarakat adat menjadi tidak diakui, karena disinyalir terdapat sejumlah oknun pejabat di daerah ini yang ditengarai memperoleh gratifikasi dalam bentuk hadiah tanah. Untuk kemudian dikompensasi dalam bentuk pembayaran harga pembebasan lahan, dengan cara mempergunakan surat dokumen tanah yang dimanipulasi penerbitannya atau direkayasa data-data kepemilikannya. Sehingga menyebabkan masyarakat adat menjadi terampas warisan tanah ulayatnya secara terstruktur, sistimatis dan masif.
Seandainya kebijakan pembentukan Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu bersifat pro rakyat, maka akan turut mengangkat kesejahteraan hidup rakyat di daerah ini. Karena yang memperoleh harga pembayaran kompensasi lahan, bukan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dan notabenenya adalah warga miskin. Sehingga tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat.
Sedangkan dugaan korupsi dalam bentuk pemanfaatan jabatan dalam bentuk lainnya, khususnya terkait dengan kasus pengkavling-kavlingan kasawan hutan konservasi simoma. Termasuk penguasaan terhadap lahan pada sejumlah lokasi Program Hutan Rakyat. Terdapat indikasi sejumlah oknum pejabat daerah yang justru menguasai kawasan hutan konservasi simoma dan lahan pada sejumlah lokasi Program Hutan Rakyat tersebut.
Khusus untuk dugaan korupsi pada lahan Program Hutan Rakyat, contohnya yang berlokasi di Desa Mappetajang, Kecamatan Bastem dan Desa Bukit Harapan, Kecamatan Bua. Namun diduga kuat justru dikuasai oleh sejumlah oknum pejabat Pemkab Luwu sampai ada yang mencapai ratusan hektare.
Padahal Program Hutan Rakyat tersebut, merupakan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya diperuntukkan demi memberdayakan kehidupan ekonomi masyarakat lokal yang tidak memiliki lahan garapan, tanpa harus mengubah fungsi hutan pada lahan Program Hutan Rakyat dimaksud.
Adapun tindakan okum-oknum pejabat seperti ini, sangat jelas telah memanfaatkan jabatannya untuk mengusai lahan-lahan Program Hutan Rakyat yang semestinya merupakan hak garap masyarakat marginal, untuk diberdayakan kehidupan ekonominya. Akan tetapi justru mengakumulasi kekayaan para oknum pejabat daerah tertentu yang sifatnya sangat tidak bermoral tersebut.
Jadi indikasinya terdapat praktik-praktik dugaan korupsi pemanfaatan jabatan, terkait dengan pembentukan Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu dan penguasaan secara ilegal terhadap kawasan hutan konservasi simoma serta pengangkangan terhadap lahan-lahan Program Hutan Rakyat dimaksud.
Hal ini, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Luwu senantiasa mengalami stagnasi pada titik nadir. Pada gilirannya daerah ini selalu saja berputar-putar pada posisi lima besar termiskin di Sulsel selama ini.
Sudah Seharusnya Cerdas Memilih Tampuk Pemimpin Daerah
APABILA melihat potret kemiskinan masyarakat Luwu saat ini, sebagaimana yang telah dirilis pihak BPS tersebut. Maka menjadi suatu indikator diakibatkan oleh faktor kebijakan politik anggaran yang sangat cenderung tidak pro rakyat selama satu dekade belakangan ini. Hal tersebut, sehingga melalui penyelenggaraan Pilkada 2024 ini, maka sangat perlunya memilih Paslon Kepala Daerah yang bersifat visioner terhadap kebijakan pro rakyat
Karena merupakan sebuah ironi tanah yang begitu subur di Luwu ini, namun justru menciptakan fenomena kemiskinan masyarakat, dengan lebih mengakumulasi kekayaaan para oknum pejabat daerah tertentu. Hal itulah, sehingga masyarakat Luwu sudah harus lebih cerdas memilih leader tampuk pimpinan daerah untuk masa periode lima tahun ke depan.
Jadi dari tiga Paslon yang telah memperoleh tiket untuk maju berkontestasi pada Pilkada Serentak 2024 ini. Maka sangat perlu dilihat terlebih dahulu adalah latar belakang track record-nya, misalnya seperti apa tingkat etikabilitasnya.
Mengenai tingkat etikabiltas dimaksud ini, bukan diukur dari faktor mapato (ramah), bukan pula dilihat dari hubungan emosional atau kedekatan hubungan keluarga. Sebab yang akan kita dipilih tersebut adalah tampuk pemimpin publik di daerah, bukan memilih ketua kerukunan keluarga.
Akan tetapi yang kita akan pilih tersebut adalah tampuk pemimpin daerah, sehingga yang mesti dinilai adalah, apakah pasangan kandidat tersebut tidak pernah diterpah isu-isu korupsi atau praktik-praktik bisnis mafia kartel proyek.
Kemudian melihat bagaimana kemampuan intelektualitasnya. Karena kemampuan intelekutalitas sangat menentukan arah kebijkan publik yang sifatnya pro rakyat ke depan. Tentunya pula mesti berkepihakan kepada penguatan daya saing pengusaha lokal pelaku usaha jasa pihak ketiga, untuk berpartisipasi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Karena arah kebijakan seperti ini akan lebih mumpuni untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. Sebab dengan membina dan memberdayakan daya saing potensi pengusaha lokal pelaku usaha jasa pihak ketiga, sebagai salah satu sumber daya daerah, akan dapat pula memberikan nilai tambah ekonomi dalam turut mendorong terwujudnya kesejahteraan hidup masyarakat.
Apalagi kebijakan kepala daerah setingkat bupati, merupakan garda paling terdepan yang sifatnya bersentuhan langsung dengan kepentingan kemaslahatan hidup masyarakat. Bukan justru culas memanipulasi kebijakan untuk mengkapitalisasi anggaran demi kepentingan mengakumulasi kekayaan.
Namun yang paling harus wanti-wanti lagi di sini, bagaimana menghindari pilihan terhadap Paslon Bupati-Wakil Bupati yang cenderung bermental dealer. Dengan kata lain menjadi agen kekuatan ekonomi korporasi. Sebab Luwu ini cukup kaya dengan sumber daya alam (SDA)-nya yang sangat potensial untuk eksplotasi.
Timbulnya sengketa tanah, terkait dengan kasus pembebasan lahan PT Masmindo Dwi Area, merupakan contoh konkrit paling nyata sangat tidak berpihaknya kebijakan Pemkab Luwu kepada masyarakat. Terlebih lagi mencuat pula isu, bahwa terdapat salah satu Paslon disebut-sebut justru terindikasi pernah menjadi agen pembebasan lahan pada perusahaan tambang emas tersebut.
Jadi sebaiknya Paslon tersebut jangan sampai dijadikan sebagai pilihan hak suara. Jika nantinya sampai terpilih menjadi tampuk pemimpin daerah, akan sangat berpotensi menjadi preseden buruk, untuk menciptakan kebijakan yang sifatnya sangat dapat merampas hak-hak agraris masyarakat lainnya. Dengan alasan pembenaran untuk mendorong masuknya percepatan investasi.
Bahwa kasus pembebasan lahan PT Masmindo, sudah semestinya dijadikan sebagai pelajaran paling berhaga bagi masyarakat Luwu. Untuk benar-benar menolak Paslon Kepala Daerah yang terindikasi pernah diisukan menjadi agen investasi berskala korporasi tersebut. Kalau tidak ingin lahan agrarisnya akan juga menyusul terancam dirampas untuk kepentingan investor lainnya. Karena sepertinya masih ada sejumlah perusahaan lainnya yang akan juga menyusul menanamkan investasi di Luwu ini.
Bukan berarti kita harus menolak investasi, namun yang sangat diharapkan adalah investasi yang sifatnya menghargai hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dan masyarakat Luwu pada umumnya. Jadi ke depan, sehingga sudah harus diperlukan leader tampuk pemerintah daerah yang berintelektualitas dan mumpuni dalam memahami nilai-nilai kearifan lokal. Apalagi daerah ini, merupakan salah satu warisan peradaban kuno yang pernah memfenomenal mengangkat sejarah peradaban dunia yang disebut Epos La Galigo itu.
Kita tidak perlu juga terpenganguruh dengan tingginya hasil survei elektabitas dan gaya pencitraan setiap Paslon Kepala Daerah, karena hal itu sangat bisa direkayasa untuk mempengaruhi opini publik dalam menjatuhkan pilihan hak suara.
Soal praktik-praktik money politic (politik uang), tentunya itu merupakan racun yang paling berbahaya untuk menjadikan Pilkada ini sebagai pentas pesta demokrasi, hanya demi memenangkan Paslon yang sifatnya sangat berpotensi korup ke depan.
Olehnya itu, maka dari tiga Paslon Kepala Daerah yang telah dinyatakan maju berkontestasi pada Pilkada Luwu tersebut. Tentu terdapat salah satu diantaranya yang track record-nya masih bersih dari terpaan isu-isu korupsi dan isu-isu bentuk lainnya yang sifatnya sangat berkonotasi jelek.
Hal itulah, sehingga sangat perlunya memilih Paslon yang bersifat visioner terhadap kebijakan pro rakyat tersebut. Lalu siapakah gerangan itu?
Ya, jawabannya tentubagaimana kita harus mampu mempergunakan kecerdasan kedaulatan hak suara untuk memilih leader tampuk pemerintahan daerah yang beretikabilitas, berintelektualitas dan berintegritas moral. Tentunya berjiwa anti korupsi dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih dan senantiasa pula bersifat responsif terhadap tuntutan aspirasi masyarakat.
Ingat yah!!!, kita bukan memilih ketua kerukunan keluarga, tapi yang akan kita pilih adalah pemimpin tampuk pemerintahan daerah. Sehinggga sudah seharusnya cerdas memilih Paslon yang bersifat visionar dan pro rakyat untuk masa periode lima tahun ke depan.
Salam hangat demokrasi dari penulis!!!