Sikapi Penanganan Sejumlah Kasus Dugaan Korupsi yang Stagnan, Predikat WTP, Warisan Utang Hingga Kasus Dugaan Korupsi Dana BOS dan PIP di Sekolah
Oleh : Rahmat K Foxchy, Aktivis Pembela Arus Bawah/Pegiat Anti Korupsi
BERBAGAI isu kasus dugaan korupsi senantiasa mencuat menjadi wacana publik di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Namun selama kurun waktu periode tahun 2013 – 2023 rupanya masih sangat minim kasus korupsi yang berlanjut proses hukumnya sampai pelakunya divonis bersalah, berdasarkan putusan pengadilan yang bersifat ingkrah.
Akan tetapi justru menurut penilaian publik, bahwa proses penanganan hukumnya pun itu sangat diduga kuat menganut prinsip-prinsip pendekatan tebang pilih. Karena mereka yang telah divonis (sudah bebas) menjadi narapidana, diduga hanyalah korban dari praktik-praktik pengkapitalisasian APBD oleh sang oknum penguasa birokrasi di kota ini.
Apabila mencemati isu-isu sorotan dari kalangan pegiat civil society (masyarakat sipil), bahwa mestinya paling tidak sedikitnya enam perkara dugaan korupsi setiap tahun dapat ditangani pihak Apara Penegak Hukum (APH) di kota ini baik melalui pihak kepolisian maupun melalui pihak kejaksaan. Untuk itu sehingga diucapkan, apa kabar penanganan kasus-kasus korupsi di Kota Palopo?
Namun, penanganan kasus-kasus dugaan korupsi di bekas Ibukota Kesultanan Luwu ini, sepertinya sangat terkesan terindikasi untuk dijadikan sebagai alat transaksional pasar gelap keadilan yang disebut dengan istilah black market of justice.
Pasalnya, kalau menyimak sejumlah kasus dugaan korupsi lainnya yang lagi dalam proses penyelidikan pihak APH sebagaimana yang dipublikasikan melalui jaringan infomasi berita media. Nampaknya proses penanganan hukumnya seolah mengalami stagnasi atau jalan di tempat, bahkan terdapat diantaranya justru sudah tidak jelas lagi seperti apa progres penanganan hukumnya.
Hal itulah, sehingga melalui artikel ini penulis mencoba untuk menyikapi sejumlah dugaan kasus korupsi di Kota Palopo yang stagnan proses penanganan hukumnya. Termasuk predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan warisan utang yang sampai mencapai kurang lebih sebesar Rp 250 miliar, hingga penanganan kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di sekolah-sekolah.
Terlebih lagi sedang berkembang rumor, bahwa kasus dugaan korupsi dana BOS dan PIP tersebut ada indikasi akan dipolitisasi agar tidak berlanjut proses penanganan hukumnya di Polres Palopo, disinyalir semata untuk memenuhi kepentingan politik tertentu pada perhelatan Pilkada Serentak pada tahun 2014 ini.
Penangnan Korupsi Harus Anut Prinsip-Prinsip Transparansi Informasi Publik
BAHWA sistem penegakan supremasi hukum, termasuk penanganan kasus-kasus dugaan korupsi, sudah merupakan tuntutan paradigma untuk harus menganut prinsip-prinsip transaparansi informasi publik.
Hal tersebut, tak lain untuk memberikan ruang kepada publik agar berpartisipasi aktif, khususnya dari kalangan pegiat civil society untuk juga senantiasa mengawasi, mengontrol dan mengawal setiap penanganan proses hukum kasus dugaan korupsi, supaya selalu on the track pada jalur rule of law yang semestinya.
Bukan sama sekali bermaksud mengumbar pandangan bersifat negative thingking pada pihak APH, sebab bukan pula tidak mungkin terjadi potensi dugaan penyalahgunaan wewenang dalam setiap menangani proses hukum kasus dugaan korupsi.
Sebab penyalahgunaan wewenang kerap terjadi pada sistem penegakan hukum. Apalagi, terkait dengan penanganan kasus korupsi sangat terbuka lebar terjadi potensi praktik-praktik transaksional melalui jalur black market of justice. Akibatnya, kadang tidak menyentuh aktor intelektual yang sebenarnya.
Alih-alih untuk mengusut kasus dugaan korupsi, tapi justru yang terjadi adalah praktik-praktik tebang pilih dalam menegakkan hukum, lantaran tidak menyentuh aktor intelektualnya yang sebenarnya. Kan itu sudah namanya penegakan hukum yang sudah sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif. Pada gilirannya pula justru melemahkan agenda pemberantasan terhadap korupsi itu sendiri.
Sementara di lain pihak, tentunya pula tak lain untuk menghindari terjadinya dugaan potensi praktik-praktik pengkriminalisasian hukum. Sebab sistem penegakan supremasi hukum tidak hanya dituntut untuk senantiasa mengedepankan semangat independesi dengan kinerja yang bersifat profesionalisme dan berakuntabilitas publik. Namun yang paling esensial lagi di sini, harus senantiasa pula menjunjung tinggi rasa penghoratan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Olehnya itu, jika memang pada tahap penyelidikan tidak ditemukan unsur pidana korupsi, mestinya kan pihak APH segera menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SP2HP). Apabila juga tidak ditemukan bukti pidana yang cukup pada tahapan proses penanganan penyidikan, maka mestinya pula segera diterbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3).
Namun itupun, seharusnya diekspos untuk dipublikasikan melalui saluran informasi media massa yang tersedia. Hal ini, tak lain untuk mewujudkan prinsip-prinsip penegakan supremasi hukum yang sifatnya menganut semangat transparansi informasi publik.
Soalnya, kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, sehingga menjadi musuh bersama. Sebab sangat berpotensi untuk dapat menimbulkan dampak krusial terhadap rasa keadilan publik. Hal itulah, maka sangat tidak ada alasan bagi pihak APH untuk menutup-nutupi setiap penanganan kasus dugaan korupsi.
Dengan dipublikasikannya SP2HP atau SP3 setiap penanganan kasus dugaan korupsi yang dianggap tidak ada temuan unsur pidananya atau tidak cukup alat buktinya tersebut. Pada satu sisi, agar memberikan kesempatan kepada publik untuk menilai, apakah SP2HP atau SP3 yang diterbitkan itu telah berakuntabilitas publik atau tidak.
Sebab hukum juga sangat membuka ruang kepada publik untuk berpartisipasi aktif, demi mengotrol kinerja pihak APH. Jadi sangat perlunya segera diterbikan SP2HP atau SP3 setiap perkara dugaan korupsi yang tidak memenuhi unsur pidana, untuk juga dipublis secara transparan agar tidak timbulkan presepsi negatif dari ruang publik.
Jika publik menilai sangat kontroversial pemberhentian penyelidikan atau penyidikan perkara dugaan korupsi dimaksud. Kan kalangan pegiat civil society sangat bisa juga dapat mengambil langkah untuk memberikan bukti baru atau bukti tambahan, supaya perkara tersebut agar dibuka lagi proses penanganan hukumnya.
Bahkan kalangan pegiat civil society pun selaku perwakilan dari ruang publik dapat pula menggugat SP2HP atau SP3 perkara dugaan korupsi yang bersifat kontroversial itu, melalui jalur praperadilan. Hanya saja pemanfaatan tentang jalur gugatan praperadilan, belum sangat populer dalam mendorong secara radikal agenda-agenda pemeberantasan korupsi selama ini.
Namun pastinya, bahwa penerbitan SP2HP atau SP3 perkara dugaan korupsi adalah sama sekali tidak berada di dalam ruang vakum yang sangat sulit untuk dipecahkan permasalahannya. Persoalan paling mendasar di sini, mengenai ketersedian human ressources atau sumber daya manusia dan faktor pembiayaan yang sama sekali sangat tidak mendukung. Terlebih lagi korupsi sebagai musuh bersama masih pada tataran wacana publik.
Sedangkan di sisi lainnya, sehingga sangat perlunya segera diterbitan SP2HP atau SP3 setiap perkara dugaan korupsi, sampai harus pula dipublikasikan melalui saluran informasi media massa, agar pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini, tidak tersandera dengan subyektifitas opini publik. Sekaligus untuk menegakkan rasa kepastian hukum, demi memulihkan nama baik mereka sebagai bentuk wujud penghormatan terhadap perlindungan HAM.
Jadi dengan mengantung-gantung penerbitan SP2HP atau SP3 setiap perkara dugaan korupsi, maka sangat berpotensi pula untuk dijadikan sebagai bancakan pemerasan oleh-oknum APH yang sama sekali tidak bertangungjawab dalam melaksanakan Tupoksinya.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum atas berkembangnya rumor mengenai indikasi terjadinya dugaan praktik-praktik pemerasan oleh oknum-oknum APH dalam menangani perkara-perkara dugaan korupsi. Sebab praktik-praktik seperti ini, rupanya juga sering kali menjadi keluhan oleh pihak-pihak yang pernah tersangkut dengan perkara korupsi.
Jika setiap kasus dugaan korupsi sampai berlarut-larut atau tidak berkepastian proses penanganan hukumnya. Tentunya akan sangat berpotensi pula untuk menimbulkan persepsi liar dari ruang publik sebagaiman rumor yang berkembang tersebut, untuk justru dapat merusak citra pihak APH secara institusional.
Hal itulah, maka sangat perlunya segera dilakukan penerbitan SP2HP atau SP3 setiap perkara dugaan korupsi, untuk dipublikasikan melalui saluran informasi media massa yang tersedia. Selain, untuk memberikan kesempatan kepada publik untuk mengontrol dan menguji kinerja pihak APH yang menangani kasus dugaan korupsi tersebut.
Tentunya pula SP2HP atau SP3 ini adalah juga sebagai bentuk kepastian hukum untuk memulihkan nama baik mereka yang proses hukumnya tidak terbukti tindak pidana perkara korupsinya, demi menjunjung tinggi rasa penghormatan terhadap perlindungan HAM.
Usut Warisan Utang Rezim Pemkot Palopo Sebelumnya
BAHWA terdapat segelintir elit birokrat di Kota Palopo yang justru berpandangan paradoks, bahwa sangat sukar bagi pihak APH untuk dapat mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi di kota ini.
Alasannya, karena Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo, selama kurun waktu 10 tahun Laporan Pertanggungjawaban Keuangan (LPJ)-nya sering kali memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Sepertinya mereka seolah lupa dengan adanya beberapa kasus korupsi sebelumnya di kota ini berhasil diungkap oleh pihak APH selama dalam kurun waktu Pemkot Palopo memperoleh predikat WTP. Apakah memang sudah ada deal transaksional melalui jalur black market of justice terhadap sejumlah kasus dugaan korupsi yang masih sangat berlarut-larut atau tidak jelas proses penangaan hukumnya sampai saat ini, entalah!?
Bukankah sudah terdapat pula sejumlah instansi pemerintah daerah lainya yang LPJ-nya, termasuk instansi kementerian yang telah diganjar predikat WTP, tapi kasus dugaan korupsinya justu juga berhasil dibongkar oleh pihak APH. Contohnya antara lain, Pemerintah Kabupaten Bogor tahun anggaran 2021 lalu dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada era kepemimpinan Andi Mallarangan yang berpredikat WTP tapi justru berujung korupsi.
Hal tersebut menandakan, bahwa setiap predikat WTP-LPJ pada dasarnya sangatlah tidak menjamin telah clear and clean dari kasus-kasus korupsi. Apalagi juga sudah bebarapa kali oknum-oknum auditor BPK sampai dicokok pihak APH, terkait dengan kasus dugaan suap. Sekaligus menjadi suatu indikasi, bahwa sepertinya predikat WTP-LPJ pada setiap instansi pemerintah sangat berpotensi pula untuk dijadikan sebagai alat transaksional melalui jalur black market of justice.
Lalu timbul sebuah pertanyaan, bahwa bagaimana bisa rezim Pemkot Palopo periode 2017-2023 pada penghujung kekuasaannya justru mewariskan utang begitu banyak sampai kurang lebih sebesar Rp 250 miliar itu?
Hal tersebut, sehingga menandakan bahwa Pemkot Palopo dalam mengelola APBD sangat disinyalir kuat sama sekali tidak menganut prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang semestinya.
Bahwa pengelolaan keuangan negara, setidaknya menganut pada empat prinsip dasar yang harus dipenuhi yaitu, berakuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah, pemberdayaan manajer profesional, serta adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional dan mandiri.
Jika meminjam istilah hukum yang disebut “eksaminasi putusan hakim”. Kemudian diterapkan untuk mengeksaminasi setiap tahun anggaran Pemkot Palopo yang memperolehan predikat WTP, maka bukan pula tidak mungkin ditemukan potensi pelanggaran audit yang dilakukan oleh pihak auditor BPK tersebut.
Soalnya, sudah menjadi fakta hukum atas digelandangnya sejumlah oknum auditor BPK oleh pihak APH, terkait kasus suap saat melakukan pemeriksaan keuangan negara pada sejumlah instansi pemerintah. Hal ini, maka menjadi suatu bentuk sinyal, bahwa jangan-jangan pemberian setiap predikat WTP justru tak terlepas pula diwarinai dengan indikasi praktik-praktik manipulatif.
Hanya saja, bahwa sepertinya belum ada lembaga eksaminasi untuk dapat menguji secara independen terhadap hasil pemeriksaan BPK atas LPJ pemeritah yang sifatnya berpredikat WTP tersebut. Apakah sudah menganut prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang semestinya.
Hal tersebut, namun kecuali hanya dapat dieksaminasi melalui langkah penanganan pengusutan oleh pihak APH. Sebab tidak ada juga ketentuan perundang-undangan yang mengatur, bahwa setiap LPJ pengelolaan keuangan pemeritah yang telah berpredikat WTP, sudah tidak dibenarkan lagi untuk diproses dengan pendekatan penanganan tindak pidana pemberantasan korupsi.
Apalagi pihak auditor BPK dalam setiap melakukan kegiatan pemeriksaan keuangan pemeritah, sepertinya hanya menerapkan pola pemeriksaan dengan metode sampling (acak). Maksudnya, tidak semuanya juga program kegiatan alokasi anggaran dapat menjadi sasaran pemeriksaan tim auditor BPK.
Kembali menyoal mewarisan utang Pemkot Palopo yang sangat begitu besar sampai mencapai kurang lebih sejumlah Rp 250 miliar ini. Sehingga sangat wajar pula untuk mempertanyakan mengenai predikat WTP sebagaimana yang telah diperoleh selama 8 tahun berturut-turut tersebut.
Hal itulah, maka sangat perlunya mengusut warisan utang Pemkot Palopo sebesar Rp 250 miliar itu. Terlebih lagi sudah mendapat perhatian publik melalui berbagai sorotan pemberitaan media massa baik online maupun cetak, sehingga pihak APH sudah semestinya mengusut kasus warisan utang yang sangat besar ini dan tidak perlu harus menunggu laporan resmi dari masyarakat.
Menurut Hasil Penelusuran Pendekatan Sistem Kuesioner
SAYA selaku penulis artikel ini menurut kapasitas saya sebagai Aktivis Pembela Arus Bawah atau LSM pemerhati anti korupsi, pernah mencoba untuk melakukan penelusuran mengenai data dan informasi isu-isu dugaan korupsi di Kota Palopo dengan metode pendekataan sistem kuesioner.
Sejumlah SKPD yang menjadi sasaran target pengumpulan data dan informasi yang lagi mewacana isu-isu dugaan korupsinya tersebut. Bahwa pada suatu ketika, saya pernah beraudies dengan sejumlah Kepala SKPD, salah satunya Kepala Dinas PUPR Kota Palopo, sekarang sudah menjadi Kepala pada SKPD lainnya.
Saat dimintai klarifikasinya mengenai dugaan salah bestek (menyalahi spek) pada sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang ditanganinya selama dirinya menahkodai Dinas PUPR tersebut. Ketika itu, maka sangat nampak ketakutan pada diri pejabat eselon II yang satu ini.
Bahkan Beliau justru sangat-sangat bermohon agar proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang pernah ditanganinya itu, supaya tidak dilaporkan pada pihak APH. Selain itu, LSM kita pun juga mencium aroma kasus dugaan korupsi pada sejumlah SKPD lainnya di kota ini, antara lain pada Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan RSUD Sawerigading.
Adapun diantara beberapa kasus dugaan korupsi dimaksud, sepertinya sudah masuk dalam proses penanganan pihak APH baik yang ditangani oleh pihak kepolisian maupun pihak kejaksaan. Namun hingga saat ini belum juga jelas progres penanganan hukumnya.
Bukankah itu namanya sebuah ironi, jika pihak APH justu masih begitu miskin mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi di Kota Palopo tersebut. Padahal mereka (SKPD -red) hanya berhadapan dengan seorang aktivis LSM yang nota benenya sama sekali bukan siapa-siapa, tapi justru membuat rasa keder pihak SKPD apabila kasus-kasus dugaan korupsinya terancam dilaporkan untuk diproses secara hukum.
Bahwa jika menganalisa atas hasil penelusuran sistem kuesioner tersebut, sepertinya hampir pasti tidak ada kegiatan pengelolaan keuangan negara yang tidak bermasalah dengan kasus dugaan korupsi sekecil apapun alokasi anggarannya.
Kendati pada prinsipnya bahwa substansi daripada penanganan kasus korupsi, salah satunya adalah mencegah timbulnya kerugian negara. Hal itulah, sehingga kasus dugaan korupsi yang dianggap sangat tidak signifikan menimbulkan kerugian negara, tentunya tidak akan menjadi bagian dalam progres penanganan hukum. Sebab akan lebih besar pasak dari pada tiang.
Hanya tinggal komitmen yang kuat dari pihak APH untuk sangat diharapkan agar bisa mengungkap potensi kasus dugaan korupsi pada proyek-proyek yang anggarannya satu miliaran ke atas atau proyek-proyek yang sifatnya berskala jumbo. Namun masalahnya di sini, soal alokasi anggaran penanganan hukum dan dukungan human resources yang masih sangat terbatas, menjadi faktor terkendalanya pihak APH dalam mengusut kasus-kasus dugaan korupsi.
Timbul lagi pertanyaan, apakah kasus-kasus dugaan korupsi yang terkesan stagnan progres penyelidikan tersebut, justru tidak masuk angin atau dengan kata lain terindikasi untuk dijadikan sebagai alat tansaksional melalui jalur black market of justice?
Semoga saja tidak demikan halnya, sehingga tentunya merupakan suatu harapan pada pihak APH agar dapat memberikan atensi yang serius, untuk segera menuntaskan kasus-kasus dugaan korupsi di Kota Palopo, khususnya yang sudah masuk menjadi agenda penanganan hukum tersebut.
Bahwa tentunya pula merupakan suatu harapan agar berbagai isu kasus dugaan korupsi lainnya di Kota Palopo ini, sebagaimana yang telah perhatian publik akhir-akhir ini agar juga mulai menjadi progres pengusutan pihak APH. Terlebih lagi supaya tidak mempeti-eskan kasus-kasus dugaan korupsi yang sudah menjadi agenda progres penanganan hukumnya tersebut.
Menyoal Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Dana BOS dan PIP
BAHWA belakangan ini, sepertinya semakin santer saja sorotan publik terhadap kasus-kasus dugaan korupsi di Kota Palopo tersebut, baik yang terpantau melalui berbagai platfrom media sosial yang suarakan kalangan netizen maupun yang menjadi topik-topik pemberitaan medai massa (cetak dan online).
Salah satunya, seperti kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana Program Indonesia Pintar (PIP) pada sekolah-sekolah yang sudah masuk menjadi progres pengusutan pihak Penyidik Tipidkor Polres Palopo.
Tentunya kasus dugaan korupsi dana BOS dan PIP pada seluruh sekolah di Kota Palopo, sangat diharapkan supaya proses penanganan hukumnya tidak tersandera dengan praktik-praktik transaksional melalui jalur black market of justice, hanya untuk semata mengakomodir kepentingan politik tertentu pada perhelatan Pilkada Serentak pada 2024 ini di Kota Palopo tersebut.
Pasalnya, para kepala sekolah dan para guru sangat signifikan untuk dapat dipolitisasi demi kepentingan dukungan politik tertentu melalui perhelatan Pilkada serentak yang akan digelar pemungutan suaranya pada 27 November 2024 mendatang..
Sebab berkembang pula rumor, bahwa ada indikasi terdapat pihak tertentu yang akan bakal maju sebagai salah satu kandidat walikota, untuk tampil menjadi dewa penyelamat yang bersifat kontroversial, dengan berupaya melindungi para kepala sekolah terkait atas diusutnya kasus dugaan korupsi dana BOS dan PIP tersebut.
Andaikan memang benar rumor yang berkembang seperti ini, maka dapat saja pihak dimaksud, disebut sebagai bentuk indikasi untuk melakukan tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penanganan hukum. Sehingga pihak dimaksud sangat dapat pula dijerat dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 KUHP.
Semoga saja rumor yang berkembang seperti ini tidak benar adanya. Sehingga sangat diharapkan kepada pihak Penyidik Tipidkor Polres Palopo agar tetap on the tack pada jalur rule of law, untuk terus mengusut kasus-kasus dugaan korupsi dana BOS dan PIP tersebut, sebab telah menjadi perhatian publik.
Apalagi dana BOS dan PIP terdapat kecenderungan manjadi bancakan korupsi para kepala sekolah yang begitu empuk dengan berbagai modus operandi. Tentunya jika tidak masuk angin, pihak Penyidik Tipidkor Polres Palopo akan sangat mudah untuk bisa membongkar kasus dugaan penyalahgunaan keuangan negara yang dikelola pada sekolah-sekolah tersebut.
Intinya, bahwa mengingat korupsi sudah merupakan musuh bersama, sehingga tidak ada alasan bagi pihak APH untuk tidak mengusut kasus-kasus rasuah yang telah menjadi perhatian publik di Kota Palopo. Untuk itu, kasus-kasus korupsi yang sudah masuk dalam tahapan penyelidikan agar diakselerasi progres penanganan hukumnya, sembari menyasar kasus-kasus dugaan korupsi baru yang lagi menjadi diskursus publik itu.
Sebab korupsi sangat menghambat akselerasi kemajuan pembangunan, terlebih lagi begitu berpotensi untuk menciptakan kemiskinan yang tersuktur dan bersifat absolut dengan segala dampak ketidakadilan yang ditimbulkannya. Bahkan sangat bisa pula menjadi ancaman serius untuk menghancurkan kelangsungan peradaban.
Namun mengingat Kota Palopo juga ikut menghelat Pilkada Serentak pada tahun 2024 ini, maka sangat diharapkan agar masyarakat di kota ini untuk cerdas memilih pasangan calon walikotanya nanti, khususnya yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan isu-isu dugaan korupsi.
Ayo!!! Mari bersama-sama melawan calon pemimpin yang berpotensi terindikasi bermental korup. Hindari bakal calon kepala daerah yang akan berpotensi mempraktikkan manuver politik uang (money politic), jika tidak ingin dihegemoni oleh pemegang tampuk pengusa daerah yang sifatnya bermental korup pada periode 5 tahun ke depan.
Jadi sebaiknya dukung dan pilih bakal calon kepala daerah yang track record-nya serta clar and clean dari berbagai isu negatif selama ini. Sebab masa depan Kota Palopo untuk periode 5 tahun selanjutnya sangat ditentukan oleh pilihan suara warga kota ini sendiri pada 27 November 2024 nantinya. Jangan sampai salah pilih calon pemimpin, demi wujudkan Palopo sebagai kota bermartabat di masa depan.
Salam Anti Korupsi dari Jakarta!!!