Bang Foxchy : Praperadilan Tidak Miliki Kewenangan Batalkan Materi Pokok Perkara
Tabloid SAR – Pada akhirnya pihak Polres Luwu kembali membuka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang Kepala Desa (Kades) Ranteballa nonaktif, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Adapun perkara dimaksud, terkait dengan kasus dugaan Pungutan Liar (Pungli) Surat Penerbitan Obyek Pajak (SPOP) yang diterbitkan di dalam wilayah IUPK PT Masmindo Dwi Area, kurang lebih Rp 300 jutaan. .
Adanya langkah pihak Polres Luwu untuk kembali memeriksa sejumlah saksi, terkait dengan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang yang sempat dimenangkan Kades Ranteballa nonaktif melalui putusan praperadilan sebelumnya.
Namun pihak Polres Luwu, justru menuai kritikan tajam secara terbuka yang sifatnya sangat mendiskriditkan. Dengan tuduhan, bahwa pihak Polres Luwu sangat tidak menghargai putusan praperadilan dan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) yang telah dikeluarkan pihak Polda Sulawesi Selatan.
Sebagaimana dilansir dari salah satu media online yang merilis kritikan keras terhadap langkah pihak Polres Luwu, akibat kembali melakukan pemeriksaan terhadap saksi Yudher, Azis Sangga dan beberapa warga lainnya, pada Senin kemarin, 29 Juli 2024 tersebut. Hal ini, disebut sebagai bentuk penghinaan kepada putusan praperadilan Pengadilan Negeri Makassar.
Menyikapi hal tersebut, sehingga kelompok LSM yang menamakan diri sebagai Aktivis Pembela Arus Bawah tersebut, dengan tegas menyatakan sudah sangat tepat langkah pihak Polres Luwu, untuk kembali membuka kasus dugaan korupsi Kades Ranteballa nonaktif itu.
Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy pada hari ini, Selasa (30/07-2024) mengemukakan, kritikan seperti itukan sangat kebablasan namanya, karena menggiring opini yang sifatnya sangat menyesatkan.
Hal itu, sebutnya, maka sudah sangat bisa dikategorikan sebagai bentuk tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penanganan hukum secara verbal. “Tindakan seperti itu tentunya sangat dapat pula dipidana,” ucap aktivis LSM yang dikenal vokal yang satu ini.
Lanjutnya, apalagi kritikannya sangat vulgar dan menghakimi secara terang-terangan pada ruang publik dengan tanpa dasar. Hal ini, sudah merupakan suatu bentuk tindakan obstruction of justice secara verbal. Karena tindakan obstruction of justice tidak hanya pada sebatas menyembunyikan atau menyuruh lari terduga pelaku tindak pidana atau mempersulit suatu proses penanganan kasus hukum.
“Apalagi kritikannya sangat vulgar dan sifatnya sudah menghakimi secara terbuka seperti itu, sehingga juga dimuat dalam bentuk berita online, maka dapat pula dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU ITE. Bahkan juga sangat dapat dipidana dengan delik pencemaran nama baik,” tuturnya.
Kritikan itukan ada juga etikanya dan harus pula berdasar, kata pegiat LSM yang akrab disapa Bang Foxchy ini, tidak apa-apa melontarkan kritikan setajam apapun asalkan berdasar. Hal itu tetap dihormati sebagai hak asasi manusia dan juga sangat dilindungi konstitusi sebagai bentuk kebebasan mengeluarkan pendapat.
Setajam apapun setiap kritikan yang dilontarkan, tuturnya, bagaimana agar tetap bisa terhindar dari delik. “Tapikan kritikan yang dilontarkan narasumber dalam berita online dimaksud, sudah sangat jelas bersifat vulgar sekaligus telah menghakimi secara terbuka melalui pemberitaan media online,” tukasnya.
Bang Foxchy juga mengaku, jika dirinya bahkan sangat sering pula melontarkan kritikan terhadap setiap kinerja pihak APH (Aparat Penegak Hukum) dan pejabat pemerintah yang dinilai sangat bersifat kontroversial kebijakannya. Disebutkannya, namun dalam melontarkan setiap kritikan setajam apapun tapi selalu menggunakan diksi yang bisa buat terhindar dari delik.
Sangat perlu dipahami, lanjut Bang Foxchy, bahwa dalam konteks putusan praperadilan yang dimenangkan Kades Ranteballa nonaktif tersebut, sebab pihak Polres Luwu melakukan kesalahan prosedur dalam menetapkan tersangka terhadap bersangkutan. Karena praperadilan itukan, sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa apalagi membatalkan materi pokok perkara yang sebenarnya.
Ia pun lalu menjelaskan, bahwa tidak semua juga lulusan pendidikan hukum dan kalangan aktivis LSM paham mengenai ranah kewenangan praperadilan, apalagi namanya masyarakat awam, kecuali kalangan praktisi hukum dan para ahli hukum.
Menurutnya, janganlah lontarkan kritikan peratasnamakan aktivis, kalau sama sekali tidak paham aturan hukum. Sebab hal itu, sangat dapat mendegredasi eksistensi LSM sebagai lembaga aktivis penguatan kedaulatan civil society (masyarakat sipil) yang bersifat mandiri dan independen.
Lebih lanjut Bang Foxchy, apalagi yang melontarkan kritikan yang sifatnya sudah sangat menghakimi tersebut, mengaku sebagai seorang aktivis. Kan sudah namanya sangat paradoks, kalau seorang aktivis sampai tidak berpihak pada penegakan keadilan hukum yang bersifat substansial terhadap nilai-nilai keadilan masyarakat . “Jadi intinya, bahwa praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa apalagi membatalkan materi pokok perkara yang sebenarnya,” ucapnya.
Pegiat anti korupsi yang satu inipun mengatakan, jadi dengan dasar itulah pihak Polres Luwu kembali membuka kasus dugaan korupsi Kades Ranteballa nonaktif, sebab itu sudah menjadi dasar hukumnya.
“Jadi dengan diusutnya kembali perkara ini, maka pihak Polres Luwu sudah sangat on the track pada jalur rule of law yang semestinya,” terangnya.
Sudah barang tentu, kata Bang Foxchy lebih lanjut, atas dibukanya kembali penanganan proses hukum kasus dugaan Pungli SPOP ini, sangat dapat dipastikan juga atas petunjuk supervisi pihak Polda Sulawesi Selatan.
”Sebab sepengetahuan kita, kalau namanya gelar perkara penanganan kasus dugaan korupsi, itu dilakukan di Polda. Apalagi pihak kepolisian melalui Polres Luwu sebelumnya dikalahkan lewat praperadilan, terkait dengan kasus dugaan korupsi yang kembali dibuka proses hukumnya ini,” bebernya.
Untuk diketahui, lanjut Bang Foxchy menjelaskan, bahwa kemenangan Kades Ranteballa nonaktif melawan Polres Luwu melalui praperadilan, sangat berbeda substansi perkaranya dengan kemenangan praperadilan Pegy Setiawan saat melawan Polda Jabar.
Alasannya, sebab pembatalan tersangka Kades Ranteballa nonaktif hanya akibat faktor prosedur hukum formilnya saja yang menyimpang. Sedangkan penetapan tersangka Pegy setiawan, selain akibat prosedur hukum formilnya yang menyimpang, tapi juga disebabkan oleh faktor salah tangkap. “Hal itulah, sehingga kasus Pegy Setiawan sudah tidak dapat lagi kembali dibuka perkara hukumnya,” imbuhnya.
Aktivis LSM inipun sangat mengapresiasi pihak Polres Luwu, sebab sudah kembali mengusut kasus dugaan Pungli SPOP, terkait dengan pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo yang berlokasi di Desa Ranteballa nonaktif setahun yang lalu.
“Yah, kita sudah dapat konfirmasi bahwa sejumlah saksi telah mulai kembali diperiksa oleh Tim Penyidik Tipidkor Polres Luwu, hal itu sangat kita aprsiasi atas ditindaklanjutinya kembali proses hukum perkara ini,” ungkapnya.
Bang Foxchy pun tak lupa mengingatkan pihak Tim Penyidik Tipidkor Polres Luwu agar lebih cermat dan teliti dalam mengusut kembali kasus dugaan korupsi Kades Ranteballa nonaktif tersebut, supaya tidak kembali lagi digugat melalui praperadilan seperti pada kasus sebelumnya.
Perlunya Dilakukan Pengembangan dan Pendalaman Penyidikan Lebih Lanjut
Kelompok Aktivis Pembela Arus Bawah ini, lebih lanjut meminta kepada pihak Polres Luwu agar tidak terpaku hanya pada sebatas penanganan kasus dugaan penyalahguaan wewenang Kades Ranteballa nonaktif pada perkara Pungli SPOP-nya saja. Alasannya, sebab perkara ini juga sangat berpotensi untuk mengakumulasi sejumlah kasus dugaan tindak pidana lainnya.
Adapun sejumlah kasus dugaan tidak pidana lainnya itu, selain kasus dugaan penyalahgunaan wewenang Pungli SPOP dimaksud. Maka dapat pula mengakumulasi kasus dugaan tindak pidana lain, seperti kasus penyalahgunaan wewenang pemalsuan surat, kasus gratifikasi berupa indikasi penerimaan hadiah yang disamarkan dalam bentuk harga pembayaran tanah.
Termasuk kasus tindak pidana money laundry sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan dapat pula mengakumulasi terjadinya potensi kasus dugaan tindak pidana pertambangan, karena mentrasaksikan lahan secara ilegal di dalam wilayah IUP terlepas dari pembayaran pihak PT Masmindo tersebut.
Begitu ungkapan aktivis LSM yang juga akrab disapa Bang Ories ini. Kata dia, jadi sangat perlunya pihak penyidik melakukan pengembangan dan pendalaman penyidikan lebih lanjut terhadap sejumlah kasus dugaan tidak pidana dimaksud tersebut.
Menurutnya, kalau sejumlah kasus dugaan tidak pidana dimaksud itu digali lebih lanjut oleh pihak penyidik. Kita pikir pananganan perkara ini akan sangat dapat memberikan kredit point terhadap pihak Polres Luwu dalam mengungkap kasus mafia tanah melalui ranah penanganan Tipidkor.
Karena tidak hanya diduga kembali mentersangkakan Kades Ranteballa noaktif, tutur Bang Ories lagi, akan tetapi saksi-saksi pada perkara sebelumnya, seperti Yudher, Azis Sangga dan lain-lainnya juga sangat berpotensi untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka. “Bukan tidak mungkin akan dapat pula menyeret camat dan sejumlah pejabat Pemkab Luwu beserta personil tertentu di PT Masmindo,” terangnya.
Dia lanjut menyampaikan, tinggal bagaimana kecerdasan strategi pihak penyidik dalam megembangkan dan mendalami sejumlah kasus dugaan tindak pidana yang turut mengakumulasi perkara dugaan Pungli SPOP tersebut.
Jadi strateginya, sambungnya, pihak penyidik sudah seharusnya menggali lebih lanjut pontesi tindak pidana, terkait dengan kasus penerbitan dokumen SPPT (Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) dan kelengkapan dokumen administrasi pendukung lainnya. Karena dokumen inilah yang dijadikan sebagai syarat pembayaran harga kompensasi lahan dari pihak PT Masmindo.
“Soalnya, kita juga sangat mensinyalir dokumen-dokumen dimaksud sangat fiktif atau bersifat ilegal dengan kata lain palsu, sebab terdapat indikasi sangat mengandung materi keterangan palsu di dalamnya,” bebernya.
Sudah dapat dipastikan, kata Bang Ories lebih lanjut, mereka para saksi yang diduga terlibat akan kelabakan menjawab, apabila pihak penyidik menanyakan, bahwa darimana dan bagaimana dan dengan cara apa mereka (para saksi –red) memperoleh lahan sebagaimana yang telah dibayarkan harga kompensasinya tersebut.
Ia pun juga memastikan kepada para saksi tidak akan mampu pula menjawab pertanyaan pihak penyidik, mengenai lahannya itu bahwa berbatasan dengan siapa dan apa saja pada setiap bidang sisinya yang telah dibayarkan harga kompensasinya tersebut.
Hal ini, tuturnya lebih lanjut, sebab surat-surat dokumen tanah yang mereka buat tersebut sangat diduga kuat dimanipulasi atau direkayasa penerbitannya. “Jadi pada modus operandi inilah, menjadi titik krusial terjadinya dugaan kasus mafia tanah peristiwa penyalahgunaan wewenang dengan delik tindak pidana pemalsuan dokumen atau surat,” imbuhnya.
Lanjut ia mennyampaikan, soal siapa pejabat pemerintah yang melegalisasi surat-surat dokumen tanah yang sangat disinyalir fiktif atau bersifat ilegal itu. Maka tinggal memverifikasi namanya dan jabatan pihak pejabat yang membubuhi tandatangannya pada barang bukti surat-surat dokumen dimaksud.
“Jadi pihak pejabat pemerintah tersebut, sehingga juga dapat dijerat dengan dugaan pidana penyalahgunaan wewenang dengan modus operadi pemalsuan dokumen atau surat,” tandasnya.
Ia pun juga menjelaskan, karena mengingat diterbitkan di dalam wilayah IUP atau IUPK. Padahal menurut perspektif hukum, bahwa sudah sangat tidak lagi dibenarkan untuk menerbitkan surat-surat dokumen tanah atau alas hak atas tanah dalam bentuk apapun di dalam lokasi tanah yang sudah dibebani dengan izin peruntukan, seperti IUP atau IUPK salah satu contohnya.
Kata pegiat civil society yang satu ini, jadi terlepas dari wilayah UIPK PT Masmindo ini adalah lokasi tanah warisan adat masyarakat. Namun menurut status lahannya, bahwa merupakan APL (Areal Penggunaan Lain) yang hanya sebatas dipinjam-pakaikan untuk kegiatan usaha pertambagan.
Jadi secara yuridis formal, sambungnya, maka status lahan wilayah IUP atau IUPK ini adalah sifatnya tetap tanah negara tanpa harus menghilangkan hak-hak agraris masyarakat adat di dalamnya. Penyidik dapat pula meminta keterangan pada pejabat instansi kehutanan berwenang, untuk dijadikan sebagai saksi ahli demi memastikan bahwa lokasi tersebut adalah memang bersatus APL sampai saat ini.
Dikemukakannya lebih lanjut, bahwa hukum itukan menganut asas pembuktian legal standing. Jika penyidik dalam melakukan pengembangan dan pendalaman penyelidikan adalah mengacu pada posisi legal standing status lahan APL, maka berakumulasi pula dugaan tindak pidana yang dapat menjerat para pelaku tersebut.
Untuk mengusut lebih lanjut perkara ini, kembali ia menjelaskan, penyidik sudah mestinya menggali lebih lanjut pontesi tindak pidana, terkait dengan kasus penerbitan SPPT sebagai bentuk dokumen palsu, lantaran diterbitkan di dalam lahan yang sifatnya berstatus APL, walau sudah menjadi wilayah tambang berizin resmi .
“Kita pikir pihak penyidik akan mampu menggungkap peristiwa dugaan penyalahgunaan wewenang, terkait atas adanya indikasi tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen dimaksud. Sehingga dengan sendirinya kasus-kasus dugaan tindak pidana lainnya juga akan dapat terungkap,” paparnya.
Bang Ories pun menambahkan, apalagi terdapat sejumlah yurisprudensi kasus pidana jual beli lahan di dalam wilayah IUP yang bersatus lahan APL, dengan tak terlepas pula menyeret sejumlah Kades dan berbagai pihak lainnya di sejumlah daerah di negeri kita ini.
“Jadi untuk mengungkap kasus dugaan tindak pidana pemalsuan SPPT itu, maka legal standing-nya harus mendasari pada status lahan APL, sebab PT Masmindo sifatnya hanya sebatas pinjam pakai lahan saja,” terang Aktivis Pembela Arus Bawah tersebut.
Untuk diketahui, bahwa sesuai hasil penyelidikan Satgas Anti Mafia Tanah Mabes Polri, sebagaimana dimaksud dalam surat Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri Nomor : B/113/XII/2023/Dittipidum tanggal 18 Desember 2023. Intinya, menyampaikan bahwa pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo Dwi Area, terkait dengan dugaan peristiwa penyalahgunaan wewenang.
Dengan alasan, sebab SPPT yang dijadikan dasar pembayaran kompensasi lahan tersebut sangat diduga kuat diterbitkan dengan cara memanipulasi data nama-nama pemilik lahan dan merekayasa bidang-bidang tanah yang dibayarkan harga kompensasinya tersebut.
Namun karena Satgas Anti Mafia Tanah Mabes Polri tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus dugaan peristiwa penyalahgunaan wewenang. Sehingga pihak Aktivis Pembela Arus selaku pihak pengadu lalu diarahkan untuk mengadukannya kembali kasus ini, kepada pihak APH berwenang untuk menangani kasus dugaan peristiwa penyalahgunaan wewenang dimaksud. (Zottok/Redaksi)