Tabloid SAR – Sengketa lahan antara pihak Rumah Sakit (RS) Soehato Heerdjan atau lebih dikenal RS Jiwa Grogol dengan warga, pada gilirannya berakhir dengan tergusurnya 14 unit rumah yang beralamat di Jalan Prof Dr Latumeten, RT 1 dan RT 2/RW 4, Jelambar, Grogol Patamburan, Jakarta Barat.
Kendati pihak perwakilan warga telah berupaya untuk meyakinkan pihak kepolisian, jika warga punya bukti alas hak atas tanah berupa surat eigendom verponding (surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda).
Terlebih alas hak atas tanah yang dimiliki warga tersebut juga sudah terdaftar pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akan tetapi penertiban untuk menggusur rumah-rumah warga tetap saja dilangsungkan, dengan memperalat aparat negara (TNI/Polri) sampai juga menyewa Ormas Preman.
Penertiban (penggusuran) tersebut didasari oleh surat perintah Menteri Kesehatan (Menkes) RI. Pihak RS Jiwa Grogol menggunakan alat berat excavator, mengakibatkan 14 unit rumah warga menjadi rata dengan tanah. .
Hal tersebut dikemukakan oleh Amrosius Riwo, salah satu Anggota Presidium Pusat Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) yang berkedudukan di Jakarta pada hari ini, Kamis (27/02-2025).
Ia menyebut dari 37 unit rumah pada lahan sengketa itu, terdapat 14 unit yang berhasil dieksekusi (digusur) tanpa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah. “Kita dari LMR-RI yang mengadvokasi pihak warga korban penggusuran tersebut,” tuturnya.
Paman Kilikily, begitu ia akrab menyapa Ketua Umum PP-LMR-RI, Agustinus L Kilikily SH yang bertindak sebagai penasehat hukum warga korban penggusuran. “Pak Ketua Umum kita itukan juga adalah berprofesi sebagai pengacara,” ucapnya.
Berita terkait sebaiknya juga baca link berita dimaksud di bawah ini :
Sedangkan Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy tak lupa pula menyikapi kasus penertiban terhadap pemukiman warga pada lahan yang diklaim pihak Rumah Sakit Jiwa Grogol tersebut.
Hal itu, kata dia, maka tindakan seperti itu bukan lagi sebagai langkah penertiban tapi sudah merupakan tindakan eksekusi tanpa dasar hukum. “Itu sudah jelas bentuk tindakan kesewenang-wenangan arogansi kekuasaan,” ucapnya.
Aktivis yang lebih kerap disapa Bang Foxchy ini mengemukakan, negara kita inikan adalah berdasarkan atas hukum. Mestinya tindakan penertiban atau eksekusi pemukiman warga harus pula didasari dengan putusan pengadilan yang bersifat inkrah. “Jadi pelaksanaan eksekusinya itupun harus pula dikoordinasi langsung oleh pihak pengadilan,” tukasnya.
Apalagi warga itu posisinya sebagai bezitter, kata dia, bahkan sudah puluhan tahun juga bermukim pada lahan tersebut. Terlebih lagi disebut-sebut punya alas hak berupa bukti surat eigendom verponding peninggalan Belanda dan juga telah terdaftar di Kantor BPN.
Bang Foxchy menyampaikan, pihak Kemenkes selaku institusi negara harusnya kan juga paham dalil-dalil hukum kebezitteran. “Tidak harus sewenang-wenang untuk menggusur pemukiman warga tanpa dasar kepastian hukum berupa putusan pengadilan yang bersifat inkrah,” tandasnya.
Hal yang sangat patut dipertanyakan, lanjut ia menyampaikan, kenapa dari sejak dulu, pada rezim pemerintah orde baru, pihak Kemenkes tidak menerbitkan pemukiman warga tersebut. Mungkin karena rezim pemerintahan orde baru atau hingga era rezim Presiden SBY (Susilo Bambang Yhudiyono) memang sangat paham dalil-dalil hukum kebezitteran, terlebih juga mengerti jika warga punya alas hak yang dianggap legal.
Menurutnya, kalau memang warga punya alas hak berupa surat eigendom verponding peninggalan Belanda dan juga tercatat di Kantor BPN. “Berarti warga tersebut bukan pemukim liar, sehingga mestinya pula dilindungi hak-hak huniannya oleh negara,” terang pegiat civil society (masyarakat sipil) yang juga akrab disapa Bang Ories ini.
Ia pun juga sangat menyanyangkan adanya dugaan keterlibatan pihak aparat kepolisian dan TNI pada kegiatan penertiban pemukiman warga atas dugaan kesewenang-wenangan perintah pihak Kemenkes tersebut. “Terlebih aparat kepolisian kan harusnya pula sudah lebih paham mengenai dalil-dalil hukum kebezitteran itu,” tukasnya.
Harapannya pada pihak Polres Jakarta Barat dalam menangani kasus sengketa lahan tersebut, agar lebih mengedepankan semangat profesional yang berbasikan pada kinerja yang bersifat independen. “Kita pikir asas kebezitteran warga sangat perlu dilindungi secara hukum,” kunci Aktivis Pembela Arus Bawah ini. (*)