Disinyalir Terdapat Oknum Pejabat Miliki Pengaruh Kekuasaan di Luwu, Sebagai Penyebab Masifnya Kasus Dugaan Mafia Tanah
Tabloid SAR – Jika melalui materi Wawancara Ekslusif (Bagian Pertama) sebelumnya, Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy telah memaparkan langkah-langkah penanganan pengadvokasian yang telah dia lakukan dalam mendampingi masyarakat adat Ranteballa-Boneposi, terkait dengan masifnya kasus dugaan mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo Dwi Area (Masmindo).
Disebutkan bahwa dirinya masih lebih mengedepankan penanganan solusi melalui jalur nonlitigasi, menurut prinsip-prinsip asas musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila memperoleh respons dari pihak perusahaan pertambangan emas yang wilayah kontrak karyanya, sebagaimana yang berlokasi di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan tersebut.
Namun setelah memantau perkembangan terakhir pada tingkat Pemerintah Pusat tersebut, terkait kasus pembebasan lahan di perusahaan pertambangan emas ini. Sehigga pegiat civil society (masyarakat sipil) yang juga kerap disapa Bang Foxchy ini merasa sangat perlu angkat bicara lebih lanjut, melalui Wawancara Eksklusif (Bagian Kedua) dengan Tim Redaksi Media ini pada hari ini, Sabtu (21/04-2024) melalui sambungan telepon ke Jakarta.
Bagaimana bisa pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo dikatakan lebih zalim ketimbang era pemerintahan Hindia Belanda?
Jawabnya, apabila menyimak statement Guru Gembul yang ditanyangkan melalui salah satu podcast vidio, bahwa pemerintahan Hindia Belanda pada dasarnya tidak pernah menjajah rakyat Indonesia. Guru Gembul mengemukakan, justru Raja-Raja Nusantara (Adipati –red) itulah pada zamannya yang menjanjah rakyatnya sendiri.
Bang Foxchy mengaku, jika dirinya juga sangat sepakat dengan statement Guru Gembul tersebut. “Saya juga banyak membaca artikel mengenai awal mula terjadinya praktik-praktik korupsi di Indonesia. Rupanya praktek-praktek tersebut awalnya sudah terjadi pada era misi dangang Belanda yang disebut VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Menurut sejarahnya, VOC sampai mampu memonopoli perdagangan rempah-rempah, karena sangat royal memberikan kepada sejumlah Raja Nusantara, berupa hadiah-hadiah dalam bentuk barang-barang mahal dari Eropa.
Hal seperti ini pada zamannya, kata Bang Foxchy, sehigga disebut sebagai bentuk taktik dan strategi politik etis gaya VOC. Karena sudah mempelajari dan mendalami karakter dan budaya feodalisme kekuasaan Raja-Raja Nusantara.
Lanjutnya, namun tidak seperti dengan misi dagang bangsa Portugis, Spanyol dan Inggris. Hal itulah membuatnya tidak mampu menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara, sebab tidak pernah memberikan hadiah seperti gaya politik etis VOC tersebut.
Bahkan istilah korupsi seks pun rupanya juga sudah dikenal pada era VOC. Jadi tidak jarang pula Raja-Raja Nusantara diajak berlibur ke negeri Belanda, untuk berpesta dansa dengan wanita-wanita cantik di klub-klub malam atau diskotik sampai keliling kota-kota lainnya di Eropa.
“Jadi baik praktik-praktik korupsi dalam bentuk gratifikasi barang-barang mewah maupun dalam bentuk gratifikasi seks, ternyata sudah menjadi fenomena gaya kekuasaan yang telah melanda sejumlah Raja Nusantara pada zaman itu,” tutur Bang Foxchy.
“Lantaran faktor masifnya juga praktik-praktik korupsi untuk menggerayangi sistem management VOC ini, pada gilirannya pula badan korporasi (perusahaan raksasa) misi dagang paling terbesar di dunia pada zamannya itu sehingga menjadi bangkrut,” tukasnya.
Bang Foxchy lanjut menjelaskan, kemudian terbentuk pemerintahan kolonialisme Hidia Belanda dengan bersekutu bersama Raja-Raja Nusantara yang sudah menikmati zona nyaman gaya pelayanan korupsi VOC sebelumnya.
Lalu dibentuk program cultuurstelsel yang disebut sistem taman paksa, untuk mewajibkan setiap desa agar dapat menyisihkan sebagian tanahnya 20% untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao. Akan tetapi dikorupsi juga oleh pejabat kerajaan yang disebut Adipati, dengan memanipulasi program cultuurstelsel untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih banyak.
Jadi penyisahan 20% sebagian tanah desa itu, lanjut Bang Foxchy menjelaskan, pada dasarnya untuk membudidayakan tanaman komoditas ekspor melalui pengelolaan langsung warga pribumi di desanya masing-masing. Yang mana hasil panennya kembali dibeli oleh pihak pemerintahan Hindia Belanda. Tapi harganya sama sekali tidak pernah sampai kepada rakyat. Sebab lagi-lagi dikorupsi para Adipati dengan cara merekayasa pembayaran hasil panen tanaman rakyat tersebut, untuk diubah menjadi biaya upah yang sangat murah.
Dia pun menjelaskan lebih lanjut, rupanya praktik-praktik korupsi tak terlepas pula dilakukan oleh para Adipati pada kegiatan pengadaan lahan usaha perkebunan atau pertambangan perusahaan swasta dan perusahaan negara pada era pemerintahan Hindia Belanda yang sifatnya sangat merugikan masyarakat adat selaku pemilih hak ulayat.
“Termasuk praktik-praktik korupsi pada kegiatan infrastruktur, seperti salah satunya pembangunan rel kereta api, maka itupun juga disebut-sebut di bawah kebijakan upah yang sangat murah dari para Adipati,” ungkapnya.
Kendati demikian tidak semua juga Raja-Raja Nusantara pada zamannya, mempraktikan perilaku gaya koruptif kekuasaan yang bersifat zalim kepada rakyatnya. Karena tidak sedikit pula Raja-Raja Nusantara lainnya yang berjuang melawan pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda demi mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan juga melindungi kehidupan masyarakat adatnya.
Disebutkannya, jika menganalisa mengenai sejarah pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, jadi pada dasarnya justru Raja-Raja Nusantara itulah yang justru menjajah rakyatnya sendiri, sebagaimana yang kemukakan oleh Guru Gembul tersebut.
Lalu Bang Foxchy pun lalu menyoal lebih lanjut mengenai kasus pembebasan lahan PT Masmindo. Menurutnya, boleh jadi perusahaan pertambangan emas ini, pada awalnya sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukan pembebasan lahan, terkait dengan masifnya kasus dugaan mafia tanah. Sehingga berdampak pada perampasan secara sistimatis terhadap warisan hak-hak agraris masyarakat adat.
Kata dia, namun karena adanya dugaan intervensi dari salah satu oknum pejabat yang begitu kuat kekuasaannya di Luwu, dengan dalih pembenaran bahwa lokasi kontrak karya PT Masmindo adalah tanah negara. Karena menurutnya bahwa di Luwu ini tidak ada namanya tanah adat.
Bang Foxchy mengaku, pada suatu kesempatan ia pernah dipanggil khusus oleh oknum pejabat Luwu dimaksud, untuk meminta kepada dirinya agar berhenti untuk mengadvokasi masyarakat adat, dengan alasan tidak ada tanah adat di Luwu ini.
Ketika itu, kata dia lagi, Beliau pun menyampaikan akan segera memfasilitasi pertemuan khusus antara dirinya (Bang Foxchy -red) dengan Direktur Utama PT Masmindo. Kata Beliau, kalau ini ada uangnya, daripada kamu urus-urus tuntutan masyarakat adat itu. Kalau sepakat, maka kita akan segera mengagendakan untuk ketemu khusus bertiga dengan Direktur Utama PT Masmindo. Ungkap Bang Foxchy menirukan oknum pejabat Luwu dimaksud.
Akan tetapi permintaan Beliau tersebut ketika itu langsung saya tolak, sebab saya bersama Tim LSM kita juga sudah mengkaji mengenai perundang-undangan dan regulasi yang mengatur tentang ketentuan pembebasan lahan untuk kegiatan usaha pertambangan Mineral. Apalagi korban kasus dugaan mafia tanah tersebut adalah rumpun keluarga saya juga. “Lalu siapa lagi yang akan memperjuangkan rasa keadilan mereka, seandainya saat itu saya menerima tawaran untuk dipertemukan dengan Direktur Utama PT Masmido,” terang Bang Foxchy.
Namun LSM Pendamping Masyarakat Adat Ranteballa-Boneposi ini, sangat menolak menyebut oknum pejabat dimaksud dan juga menolak mengungkap jumlah angka bantuan dana yang ditawarkannya tersebut. “Yah, hal itu sangat rahasia, suatu saat nanti akan terungkap juga apabila kasus pembebasan lahan PT Masmindo ini, nantinya diadukan kembali kepada pihak APH (Aparat Penegak Hukum) berwenang,” imbuhnya.
Menurutnya, jika menganalisa kasus pembebasan PT Masmindo ini, tampaknya justru lebih zalim dari praktik-praktik penjajahan Hindia Belanda. Karena pada zamannya, tidak pernah sama sekali ada cerita dalam catatan sejarah kolonialisme di Tana Luwu ini, mengenai adanya kasus kesewenang-wenangan perampasan paksa terhadap lahan-lahan masyarakat adat yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.
Ia pun lanjut menjelaskan, sepertinya pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo ini ada kecenderungan persamaan dengan model-model koruptif kekuasaan para Adipati (Raja-Raja Nusantara) khususnya di Jawa pada era kolonialisme Hindia Belanda. Sebab perusahaan pertambangan emas terbesar di Sulawesi Selatan itu, dalam melakukan kegiatan pembebasan lahan, terdapat kemiripan terhadap gaya kekuasaan Raja-Raja Nusantara pada era pemerintahan Hidia Belanda yang begitu sewenang-wenang merampas paksa warisan tanah masayarakat adat.
Hanya saja yang membedakan, tutur Bang Foxchy lebih lanjut, jika oknum pejabat di Luwu dimaksud itu adalah bukan Adipati di era Hindia Belanda. Namun merupakan seorang pejabat publik yang justru diduga kuat mem-beck up pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo, sehingga berkasus sampai sekarang ini.
“Apakah ini tidak lebih zalim terhadap rakyat sendiri, ketimbang praktik-praktik kekuasaan sejumlah Raja-Raja Nusantara pada era penjajahan salah satu bangsa Eropa tersebut. Karena pada era itu pemerintahan masih sangat primitif, sedangkan sekarang ini sudah di era peradaban modern yang sudah kian mengedepankan pemerintahan berkeadilan dan berparadigma humanity. Akan tetapi pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo itu tak ubahnya sebagai bentuk pengulangan terhadap gaya penjajahan kekuasaan Adipati pada era pemerintahan Hindia Belanda,” ucapnya dengan penuh tanya.
Pegiat anti korupsi yang satu ini mengatakan, sepertinya di RRC (Republik Rakyat China) yang disebut-sebut justru dikenal berparadigma pemerintahan sangat diktator, tapi justru sama sekali tidak membenarkan kesewenang-wenangan menggusur tanah atau bangunan milik rakyatnya.
Sebab di negara komunis terbesar di dunia ini, kata Bang Foxchy lebih lanjut, tampaknya betul-betul sangat menjamin perlindungan terhadap hak-hak properti (tanah dan bangunan) rakyatnya, apabila pemerintahnya membutuhkan lahan untuk kepentingan umum, terlebih lagi untuk kepentingan lokasi kegiatan usaha korporasi.
Karena yang ditindas di negara tersebut adalah kalangan pro yang demokrasi ala barat, kalangan atau etnis berseberangan dengan pemerintah yang dianggap berpotensi untuk menciptakan terjadinya disintegrasi bangsa Tiongkok.
Lalu dari mana Bang Foxchy mengetahui, jika pemerintahan RRC itu justru tidak sewenang-wenang menggusur tanah atau bagunan milik rakyatnya. Padahal merupakan sebuah negara diktator dan juga dikenal beridiologi komunisme?
Jawabnya, itu kita bisa dibaca beritanya pada berbagai media online. Jadi terkait dengan kegiatan pembebasan lahan di negara beridiologi komunis terbesar se jagad global ini. Ternyata justru sangat mengedepankan rasa keadilan terhadap hak-hak properti rakyatnya, baik dalam bentuk kepemilikan tanah maupun bangunan.
Telusuri saja berita-beriatnya itu di google, kata Bang Ories lagi, sebab tampak sejumlah proyek raksasa di negeri tirai bambu ini, sama sekali tidak menggusur paksa tanah dan bangunan yang ditolak pemiliknya, sekalipun itu rakyat kecil. Berarti di negara ini, rupanya sangat menjunjung tinggi perlindungan tanah dan bangunan milik rakyatnya, sebagai hak asasi yang paling dasar.
Kan itu sudah namanya sangat sangat bersifat paradoks, lanjut ia menyampaikan, jika penyelenggaran pemerintahan di negara kita ini yang katanya berfalsafahkan Pancasila, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Akan tetapi, tuturnya lebih lanjut, pada kenyataannya masih saja terus memfenomena praktik-praktik penggusuran paksa terhadap lahan milik masyarakat. Sampai sekarang ini, praktik-praktik semacum itu masih saja terus melanda masyarakat pemilik lahan, baik untuk kebutuhan pembangunan demi kepentingan umum maupun untuk kepentingan bagi kegiatan usaha investasi korporasi.
Bang Foxchy lalu mencontohkan, seperti kasus dugaan perampasan lahan masyarakat adat melalui pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo. Termasuk kasus percobaan penggusuran lahan milik warga, terkait proyek ruas jalan Boneposi-Kadundung. “Hal ini sudah merupakan suatu bentuk dugaan kesewenang-wenangan perampasan terhadap lahan milik rakyat, semestinya mendapat perlindungan dari pemerintah,” terangnya.
Ia pun lalu mengutarakan, mungkin karena faktor kuatnya intervensi oligarki kekuasaan di daerah ini, untuk berupaya melindungi kepentingan korporasi sebuah perusahaan pertambangan emas tersebut. Sehingga dalih percepatan investasi, maka dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk merampas secara sewenang-wenang lahan masyarakat adat yang justru jauh zalim, ketimbang pada era penjajahan Hindia Belanda.
Jadi hal ini merupakan suatu bentuk anomali, lanjut Bang Ories mengucapkan, bahkan justru sangat kontras jika dibandingkan dengan pemeritahan di RRC yang dikenal sebagai negara beridiologi komunisme dan juga disebut-sebut bergaya kekuasaan otoritarian itu, tapi justru sangat peduli untuk melindungi hak-hak properti rakyatnya.
Jika menurut Bang Foxchy dimana letak permasalahannya, lalu kenapa pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo sampai juga disebut masif kasus dugaan mafia tanah?
Yah, sesuai dengan penelusuran kita selaku aktivis LSM, letak permasalahannya pada pihak Pemkab Luwu. Itu tadikan yang saya sudah gambarkan, mengenai adanya dugaan intervensi salah satu oknum pejabat yang begitu kuat kekuasaannya di Luwu tersebut.
“Jadi disitulah awal letak terjadinya permasalahan atas masifnya kasus dugaan mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo tersebut,” ungkap pegiat LSM yang dikenal sangat vokal dari Luwu yang satu ini.
Menurut Bang Foxchy, bahwa camat dan kepala desa sangat tidak mungkinlah berani merekayasa penerbitan SPPT (Surat Pernyataan Pengusaan Tanah) dengan cara memanipulasi kepemilikan bidang-bidang tanah untuk dibebaskan perusahaan pertambangan emas ini, kalau tidak diperintah oleh atasannya. “Siapa lagi atasannya itu, kalau bukan seorang oknum pejabat yang sangat memiliki pengaruh kekuasaan di Luwu tersebut,” tukasnya.
Jadi sangat disinyalir terdapat oknum pejabat yang memiliki pengaruh kekuasaan di Luwu, sebagai penyebab timbulnya masifnya kasus dugaan mafia tanah pada pelaksanaan pemebebasan lahan PT Masmindo. Akibatnya sangat merugikan pihak masyarakat adat selaku ahli waris terhadap pemegang atas tanah yang sebenarnya. “Adapun camat dan kepala desa itu, sepertinya diduga hanya melaksanakan perintah lisan pimpinannya saja.”
Bang Foxchy pun menyampaikan, jika mencermati kasus-kasus tanah, terkait dengan kebutuhan lahan untuk kepentingan investasi yang sifatnya berskala korporasi sebagaimana yang dilaporkan masyarakat di Kantor Kemenko Polhukam. Pada umumnya letak permasalahannya di tingkat Pemda.
Seperti contoh lainya, terkait kasus investasi pertambangan, tutur Bang Foxchy lebih lanjut, namun paling sering tersangkut kasus korupsi itukan adalah gubernur dan bupati. “Jadi sangat muskilah masyarakat pemilik lahan, jika sudah bersengketa dengan pihak korporasi. Akan dapat memperoleh rasa keadilan, melalui penanganan solusi di tingkat Pemda, karena mafianya juga sangat diduga kuat ada di situ. Begitu logikanya,” paparnya.
Dia pun lalu mencontohkan, seperti kasus pembebasan lahan PT Masmindo, walau sudah sangat sering diadukan masyarakat ke Pemkab Luwu. Bahkan sudah dikawal pula dengan aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat adat. Namun sampai sekarang ini tidak juga ada solusi yang diberikan oleh pihak Pemkab Luwu.
Hal itulah, lanjut Bang Ories mengemukakan, sehingga kasus ini kita adukan langsung lebih lanjut kepada tingkat Pemerintah Pusat, karena kita sangat skeptis akan bisa memperoleh solusi rasa keadilan melalui penanganan Pemkab Luwu dan Pemrov Sulawesi Selatan. Karena kasus ini juga sudah diajukan ke tingkat Pemprov Sulawesi Selatan tapi itupun tidak juga direspons sampai sekarang ini.
Aktivis LSM yang satu ini, jika dirinya juga sebelumnya sudah mengkonfirmasi salah satu pejabat utama di Kemenko Polhukam yang menangani kasus ini. Disebutkan bahwa sesuai hasil pemeriksaan pihak Satgas Kemenko Polhukam, sudah ada indikasi dugaan penyalahgunaan wewenang, terkait pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo tersebut.
Adapun modus operandinya, diduga kuat terjadi manipulasi terhadap bidang-bidang tanah yang dibebaskan itu, dengan cara merekayasa penerbitan bukti-bukti surat kepemilikan tanah.
“Ahamdulillah di bawah kepemimpinan Menko Polhukam yang baru Bapak Hadi Tjahjanto, nampaknya sudah pula merespons baik surat pengaduan ulang LSM kita tersebut. Bahkan sudah ada pula tindak lanjut penanganannya” ungkap Bang Foxchy.
Sampai juga disebut masifnya kasus dugaan mafia tanah, lanjut ia menyampaikan, karena lahan yang dibayarkan pihak PT Masmindo adalah diduga kuat mendasari bukti-bukti surat kepemilikan tanah yang direkayasa penerbitannya, dengan cara memanipulasi pendataan bidang-bidang tanahnya.
Kan saya sudah jelaskan melalui wawancara (bagian pertama) sebelumnya, bahwa sudah namanya praktik-pratik mafia tanah. Apabila bukti-bukti surat kepemilikan tanah baik itu dalam bentuk SPPT, SKT atau SHM maupun dalam bentuk alas hak jenis lainnya, sampai masih diterbitkan lagi di dalam lokasi lahan yang sudah ada IUP-nya.
Itu sudah menjadi ketentuan perundang-undangan, lanjut Bang Foxchy menjelaskan, bahwa sudah merupakan suatu bentuk pelaku praktik-pratik mafia tanah, apabila masih saja menerbitkan surat kepemilikan tanah dan atau apapun bentuk jenis alas haknya di dalam lokasi IUP/IUPK Ekpolrasi dan atau IUP/IUPK Eksplotasi. Apalagi PT Masmindo itu sudah mengantongi Izin Operasi Produksi.
“Jadi pejabat yang menerbitkan alat bukti kepemilikan tanah seperti ini, maka hal itu diduga kuat telah melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang. Tentunya sudah sangat dapat diproses menurut ketentuan tindak pidana pemberantasan korupsi,” terangnya.
Lanjut ia mengemukakan, maka disitu pulalah letak permasalahan serius terhadap pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo ini. Karena membayar lahan yang diduga kuat dimanipulasi pendataan bidang-bidang tanahnya, dengan cara direkayasa penebitan bukti-bukti surat kepemilikannya. “Hal mengenai alat bukti seperti itu, sudah sangat diduga kuat bersifat ilegal dan fiktif, menurut istilah lainnya adalah semacam surat palsu,” tandasnya.
Apabila kasus pembebasan lahan PT Masmindo ini kembali diadukan kepada pihak APH, siapa saja yang bisa tersangkut kasus hukum?
Apabila mendasari materi surat dari Mabes Polri sebagaimana yang telah dikeluarkan Satgas Anti Mafia Tanah Bareskrim yang baru kita terima via pos itu, kata Bang Foxchy, tentunya camat dan kepala desa serta pejabat, terkait degan penerbitan bukti-bukti surat kepemilikan tanah dan atau bentuk-bentuk alas hak jenis lainnya yang sangat diduga kuat bersifat ilegal dan fiktif tersebut.
Lanjut ia mengatakan, termasuk pihak-pihak yang telah menerima harga pembayaran pembebasan lahan dari pihak PT Masmindo, tapi mempergunakan bukti-bukti surat kepemilikan tanah yang sangat diduga kuat bersifat ilegal dan fiktif tersebut. “Bahkan dapat pula menyeret sejumlah pihak lainnya, seperti sejumlah oknum pejabat dan oknum anggota DPRD Luwu, jika kasus ini kembali diadukan kepada pihak APH berwenang,” ucapnya.
Pernah saya berdialog dengan salah satu mantan Kepala Badan Pertanahan (BPN) dan saat ini juga telah membuka Kantot PPAT. Beliau mengemukakan, bahwa sudah tidak benar pelaksanaan pembebasan lahan yang dilakukan PT Masmindo tersebut.
Alasannya, sebab yang lahan yang dibayar itu diduga kuat mengacu pada surat-surat tanah yang diterbitkan secara ilegal. Karena hal itu, merupakan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang, apabila menerbitkan surat-surat tanah di dalam lokasi yang sudah ada izin pertambangannya, apalagi yang sifatnya berstatus kontrak karya. Terlebih lagi diterbitkan dalam wilayah IUK Eksplorasi, apalagi namanya diterbitkan dalam wilayah IUPK Ekplotasi dan atau sudah memiliki Izin Operasi Produksi.
BPN saja tidak punya kewenangan untuk menerbitkan alas hak di dalam wilayah kotrak karya, apalagi camat dan kepala desa. “Sangat bahaya itu camat dan kepala desa yang menerbitkan surat-surat tanah di dalam lokasi IUP, itu sangat bisa dipidana”.
Bahkan mantan Kepala BPN ini, mengaku pernah juga ditawari perusahaan pertambangan emas tersebut, untuk melegalisasi surat-surat transaksi pembebasan lahannya. Tapi Beliau menolak, sebab tidak ingin terjerat dengan delik tindak pidana penyalahgunaan wewenang. “Apalagi PPAT itu juga adalah berstatus sebagai pejabat negara,” ucap Bang Foxchy menirukan ungkapan salah satu mantan Kepala BPN dimaksud.
Jadi apa yang pernah utarakan oleh salah satu mantan Kepala BPN tersebut, ternyata sangat berkesesuaian dengan hasil pemeriksaan pihak Satgas Kemenko Polhukam dan hasil penyelidikan Satgas Anti Mafia Tanah Bareskrim.
Hanya saja pegiat LSM yang juga akrab disapa Bang Ories ini, lagi-lagi mengemukakan masih menunda sementara waktu untuk mengadukan kembali kepada pihak APH berwenang, terkait dengan kasus pembebasan lahan PT Masmindo ini.
Adapun alasannya, sebab masih ingin terlebih dahulu mengedepankan penanganan advokasi melalui jalur nonlitigasi. “Jadi intinya, kita masih mengedepankan penanganan jalur nonlitigasi, dengan harapan ada solusi yang bisa dicapai melalui pendekatan musyawarah demi mencapai mufakat dengan pihak perusahaan pertambangan emas tersebut,” pungkas Bang Ories.
Begitulah materi Wawancara Eksklusif (Bagian Kedua) ini dengan Aktivis Pembela Arus Bawah ini. Untuk itu, sangat diharapkan agar senantiasa solidkan perjuangan dengan semangat persatuan sebagai upaya perlawanan terhadap mafia tanah, demi bersama-sama menegakkan rasa keadilan. (Tim Redaksi-Sottok/Made)