Tabloid SAR –Aksi unjuk rasa kembali menggeruduk perusahaan pertambangan emas PT Masmindo Dwi Area (Masmindo) di Ranteballa, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Provisi Sulawesi Selatan.
Untuk aksi unjuk rasa kali ini, Rabu (26/06-2024) dimotori oleh Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang digelar di lokasi titik aksi pada pertigaan jalan Dusun Minanga, Desa Ranteballa.
Disebutkan sekitar 200-an peserta aksi massa kali ini menyebut dirinya sebagai komunitas Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (AMARA) Ranteballa, dengan menyuarakan 6 poin tuntutan, berikut :
- Kembalikan hak tanah masyarakat Ranteballa seluas 181,2 hektare yang dibebaskan dengan dalil hutan negara.
- Mendesak pihak Satgas Pembebasan Lahan untuk mengklarifikasi tanah masyarakat Ranteballa seluas 181,2 hektare.
- Transparansi penjualan tanah masyarakat Ranteballa.
- Bubarkan Satgas Pembebasan Lahan.
- Mengutamakan retrutmen tenaga kerja lokal khususnya masyarakat Ranteballa pada PT Masmindo Dwi Area.
- Meminta PT Masmindo Dwi Area untuk segera mengganti rugi lahan masyarakat atas nama Bpak Iron, yang dikelola tanpa sepengetahuan pemilik lahan untuk segera diganti rugi.
Namun tidak sedikit pula tetua adat dan tokoh masyarakat adat Ranteballla mensinyalir bahwa aksi unjuk rasa yang digerakkan oleh komunitas AMARA Ranteballa ini, merupakan aksi unjuk rasa pesanan.
Alasan mereka, kenapa hanya lahan seluas 181,2 hektare dan lahan Bpk Iron saja yang menjadi tuntutan aksi massa tersebut. Padahal hampir semua lahan yang dibebaskan PT Masmindo bermasalah dan sangat merugikan banyak warga masyarakat adat Ranteballa.
Menurut mereka, untuk soal transparansi penjualan tanah masyarakat Ranteballa, merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Sebab yang melakukan penjualan tanah tersebut adalah diduga kuat para mafia tanah, termasuk disinyalir pula melibatkan sejumlah oknum pejabat.
Semestinya yang dituntut, bukan soal transparansi penjualan tanahnya tapi yang dituntut itu adalah tidak membenarkan atau melarang pihak perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam bentuk apapun pada lokasi yang bermasalah pembebasannya tersebut. Sekaligus menuntut pihak penyidik untuk kembali menerbitkan Sprindik baru terhadap kasus Kepala Desa Ranteballa nonaktif tersebut.
Halnya mengenai tuntutan bubarkan Satgas Pembebasan Lahan, kata mereka, bahwa sepengetahuan kami tidak ada itu namanya Satgas Pembebasan Lahan. Tapi yang kami tahu adalah Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu.
Kalau Satgas Percepatan Investasi Kabupaten Luwu itu yang dituntut pembubarannya, kami sangat setuju. Karena sama sekali tidak memberikan rasa keadilan, terkait dengan penanganan solusi terhadap tuntutan kami selama ini, agar mengembalikan hak-hak ulayat kami yang diduga kuat telah rampas para mafia tanah, untuk transaksikan kepada pihak perusahaan tersebut.
Tetua adat dan tokoh masyarakat adat Ranteballla mengaku hanya setuju pada satu poin terkait dengan tuntutan aksi komunitas AMARA tersebut, khususnya mengenai tuntutan terhadap pihak PT Masmido agar mengutamakan retrutmen tenaga kerja lokal khususnya masyarakat Ranteballa.
Hal itulah, maka kami tetua adat dan tokoh masyarakat adat Ranteballa, sehingga tidak menggerakkan massa masyarakat adat untuk ikut aksi unjuk rasa tersebut, karena yang menggerakan aksi tersebut ada indikasi kuat merupakan pesanan tertentu.
Sedangkan bagaimana tanggapan Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy, terkait dengan aksi unjuk rasa yang digelar pihak komunitas AMARA Ranteballa tersebut?
Jawabnya, kita tidak ingin banyak berkomentar terkait dengan aksi unjuk rasa tuntutan terhadap PT Masmindo kali ini.
“Kalau soal tuntutan kepemilikan hak atas tanah, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai legalitas formalnya, seperti apa kepemilikan alas haknya,” tuturnya.
Jika sifatnya berstatus tanah adat, kata dia, tapi sama sekali belum memiliki alas hak. “Jadi acuannya adalah bukti-bukti fisik warisan tradisional leluhur di lokasi,” ucap aktivis LSM yang lebih karib disapa Bang Foxchy ini.
Menurutnya, karena namanya tanah adat atau hak-hak ulayat masyarakat hukum adat, maka harus didukung dengan bukti-bukti fisik warisan tradisional leluhur di lokasi. “Tapi itupun juga harus didukung dengan riwayat kronologis asal-usul tanah yang sebenarnya. Tentunya pula mesti didukung oleh saksi-saksi yang kuat,” ungkapnya.
Lalu seperti apa kategori suatu lokasi disebut tanah adat. Lanjut Bang Foxchy menyampaikan, tentunya harus didukung dengan adanya bukti kuburan para leluhur, bekas lokasi rumah nenek moyang, lokasi persawahan dan perkebunann yang juga dibuktikan dengan jenis-jenis tanaman warisan leluhur, mata kali dan bukti-bukti fisik tradisional warisan leluhur lainnya. “Apabila tidak ada bukti-bukti fisik seperti itu, berarti itu hanya omon-omon saja,” imbuhnya.
Lanjut Bang Foxchy, kita pun sangat bersyukur sebab kasus tanah pembebasan lahan PT Masmindo yang khusus kita urus di Jakarta ini, sudah mendapat respons baik secara langsung dari Direktur Utama PT Indika Energy.
Hal tersebut, kata dia lagi, walau kita sangat bersusah payah dengan segala bentuk perjuangan yang sangat pahit. Bahkan kadang kita berlapar-lapar, sampai kita bisa menerobos birokrasi tingkat Pemerintah Pusat yang memiliki otorias kewenangan.
“Alhamdulillah, sudah ada sinyal postif dari pihak pemangku kebijakan Pemerintah Pusat berwenang, mengenai solusi penanganannya tapi hanya khusus kasus tanah bermasalah pembebasannya yang sedang kita urus tersebut,” bebernya.
Namun aktivis civil society (masyarakat sipil) yang juga kerap disapa Bang Ories ini, belum ingin mengungkap seperti apa progres penanganannya tersebut. Hal itu, kita belum bisa ungkap, sebab sementara dalam progres penanganan pihak pemangku kebijakan Pemerintah Pusat berwenang. “Jadi akan ada saatnya kita ungkap, jadi tunggu saja momennya nanti, yah,” terangnya.
Jadi dengan alasan itu pula, sambungnya, maka kita kendalikan diri dulu untuk berkomentar melalui media selama kurun waktu ini, sebab penanganannya sudah pada tingkat pemangku kebijakan Pemerintah Pusat berwenang. Kita pun juga membatasi diri untuk menjawab setiap telepon dari berbagai pihak, terkait dengan pengurusan lahan tersebut.
Ia pun menambahkan, intinya disini bahwa kita hanya mengurus kasus tanah yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahan legalitas formal alat bukti kepemilikannya dan juga didukung dengan legal standing dalam bentuk lainnya yang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. “Tentunya pula harus ada kuasa pendampingan LSM,” pungkas Aktivis Pembela Arus Bawah ini. (Redaksi)