Tabloid SAR – Beredar luas rekaman video berdurasi 1.30 menit mengenai Pemangku Adat Parengnge Kandeapi, Edy Lembangan yang lagi viral pada berbabagai platform media sosial.
Dalam rekaman video yang dikemas dalam bentuk penayangan siaran berita, dengan mengkompilasi sejumlah foto salah satu pemangku adat di wilayah Desa Ranteballa, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan tersebut
Diberitakan bahwa Edy Lembangan sedang digugat pihak PT Masmindo Dwi Area pada Pengadilan Negeri Belopa, dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum dalam kasus pembebasan lahan dengan tuntutan membayar ganti rugi sejumlah Rp 6.809.295.500.
Terkait dengan pemberitaan rekaman video ini, namun rupanya Edy Lembangan diketahui telah menerima harga kompensasi pembebasan lahan seluas 9 hektare dari pihak PT Masmindo sebesar Rp 5,8 Miliar.
Diduga kuat lahan 9 hektare tersebut merupakan lahan garapan yang sifatnya belum berstatus sertifikat. Adapun lahan tersebut sangat disinyalir merupakan tanah garapan banyak orang. Namun Edy Lembangan mengaku merasa difitnah dengan adanya tudingan seperti itu. Begitu penggalan berita rekaman video yang lagi viral dimaksud sebagaimana yang dikutip media online ini.
Kendati demikian, akan tetapi sejumlah tokoh sentral masyarakat adat Ranteballa mulai mewacanakan pembekuan terhadap kedudukan Lembaga Adat Parengnge Kandeapi. Lantaran telah diduga kuat terlibat dalam praktik-praktik mafia tanah, apabila menyimak narasi berita rekaman video tersebut.
Hal tersebut, sehingga dipertegas oleh Ferry Sarira Pasande, salah satu tokoh sentral masyarakat adat Ranteballa yang berdomisili di Jakarta tersebut kepada media ini pada hari ini, Jum’at (18/10-2024). Kata dia, bahwa sudah tidak ada alasan untuk tidak dilakukan pembekuan terhadap Lembaga Adat Parengnge Kandeapi tersebut.
Soalnya, lanjut ia mengemukakan, Edy Lembangan itu diduga sudah melakukan pelanggaran hukum adat apabila benar telah menerima harga kompensasi pembayaran lahan dari pihak PT Masmindo. Fatalnya lagi, warisan tanah adat itu dianggapnya sebagai tanah milik pribadinya, sehingga menguasai sendiri harga kompensasi lahan yang ia terima dari PT Masmindo tersebut.
Mestinya kan sebagai pemangku adat, kata salah satu tokoh pergerakan Ormas yang lebih akrab disapa Ferry ini, sangat tidak boleh mementingkan dirinya sendiri dan harusnya pula mempertahankan hak-hak ulayat masyarakat adatnya dari bentuk perampasaan praktik-praktik mafia tanah.
Namun Edy Lembangan, sambungnya, sepertinya justru terlibat dalam kasus dugaan praktik-praktik mafia tanah, dengan disinyalir mempergunakan surat palsu untuk menerima harga pembebasan lahan dari pihak PT Masmindo.
“Itukan juga sudah menjadi suatu bentuk cerminan perbuatan melawan hukum, terlepas materi gugatan PT Masmindo di Pengadilan,” tukasnya.
Ia pun lalu mengemukakan, apabila kasus dugaan mafia tanah di Ranteballa itu nantinya lebih lanjut berproses tindak pidananya, maka sangat mungkin pula Edy Lembangan akan turut terseret menjadi tersangka.
Bahkan termasuk Pemangku Adat lainnya yang juga turut diduga bermain sebagai pelaku mafia tanah tersebut, bukan tidak mungkin akann dapat pula menjadi tersangka, jika memang telah menerima harga kompensasi lahan dengan cara mempergunakan dokumen tanah palsu. “Sebab sudah namanya dokumen tanah palsu, kalau diterbitkan dalam wilayah IUP,” imbuhnya.
Lanjut Ferry, sebab namanya pemangku adat itu, sangat tidak boleh melakukan perbuatan yang sifatnya tercelah sedikitpun. Karena pemangku adat itu sangat kental dengan simbol moral nilai-nilai kehidupan spiritual masyarakat adat.
“Ya, pemangku adat itukan harus mampu menjadi panutan kehidupan moralitas dan seharusnya pula paling terdepan untuk senantiasa menjaga harakat dan martabat nilai-nilai keluhuran adat, serta harus mampu pula melindungi hak-hak ulayat masyarakat adatnya,” tuturnya.
Tapikan, sambungnya, dengan adanya perbuatan tercelah yang sifatnya melawan hukum tersebut, sehingga sudah seharusnya diselenggrakan sidang permusyawatan adat untuk segera membekuan Lembaga Adat Kaparengngesan Kandeapi tersebut.
Ferry mengemukakan, pada awalnya waktu dihidupkan kembali itu Pemangku Adat Parengnge Kandeapi tidak melalui musyawarah adat Ranteballa. Jadi secara ketentuan hukum adat, maka sangat tidak syah kedudukan Edy Lembangan sebagai Parengnge Kandeapi sekarang ini.
Apalagi, lanjut dia mengatakan, telah terindikasi melanggar hukum, terkait dengan kasus dugaan mafia tanah melalui pelakasanaan pembebasan lahan PT Masmindo tersebut.
“Terlebih lagi bermasalah hukum dengan pihak perusahaan tambang emas tersebut. Maka sudah sangat perlu untuk segara dilakukan pembekuan terhadap Lembaga Adat Kaparengngesan Kandeapi ini,” tandas salah satu anak Parengnge Lemo II mendiang Puang Yan Pasande tersebut.
Menurutnya, jika melihat kondisi fenomena ketidakadilan yang sedang melanda masyarakat adat Ranteballa atas keberadaan PT Masmindo saat ini. Akibatnya masif terjadi kasus dugaan praktik-praktik mafia tanah yang begitu sewenang-wenang merampas hak-hak ulayat warisan leluhur kita secara turun-temurun tersebut, maka sudah seharusnya dibentuk lembaga adat baru dalam bentuk yayasan adat.
Dimana yayasan adat ini nantinya, lanjut Ferry menjelaskan, untuk mewadahi keempat Lembaga Adat Kaparengngesan di Ranteballa. Fungsinya selain untuk memberdayakan dan menguatkan eksitensi kelembagaan adat kaparengngesan, tapi juga akan dijadikan sebagai wadah perjuangan untuk menuntut rasa keadilan terhadap hak-hak agraris warisan leluluhur kita secara turun-temurun tersebut.
Mengenai adanya rencana pembentukan yayasan adat ini, diakuai oleh Ferry, merupakan gagasan dirinya bersama dengan Bang Foxchy (Rahmat K Foxchy) selaku Aktivis Pembela Arus Bawah tersebut.
Dijelaskannya lebih lanjut, karena Lembaga Adat Kaparengngesan yang ada di Ranteballa saat ini sangat tidak bisa diharapkan untuk dapat memperjuangkan rasa keadilan masyarakat adatnya. Apalagi Parengnge yang ada di Ranteballa sekarang lebih cenderung egois dan justru sangat terkesan mementingkan dirinya sendiri, sehingga sudah sangat perlunya dibentuk yayasan adat itu.
Kita tentunya pula sudah seharusnya sangat patut bersyukur, tutur Ferry lagi, sebab masih ada Bang Foxchy sesuai kapasitasnya sebagai aktivis LSM yang selama ini senantiasa melakukan perlawanan terhadap para pelaku mafia tanah pada pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo tersebut.
“Andaikan tidak ada aktivis LSM yang satu ini untuk mengambil langkah pengadvokasian pada tingkat pemerintah pusat sampai sekarang ini, maka sudah habis itu tanah warisan leluhur kita di land clearing oleh pihak perusahaan tambang emas ini,” ungkapnya.
“Jadi dengan dibentuknya yayasan adat ini, maka nantinya akan dijadikan sebagai wadah pengadvokasian untuk memperjuangkan rasa keadilan terhadap hak-hak agraris warisan leluhur kita di Desa Ranteballa itu,” terangnya .
Ferry pun menambahkan, kita sama sekali bukan bermaksud untuk memusuhi PT Masmindo itu, tapi kita harus bisa memperoleh manfaat terhadap hak-hak ulayat warisan leluhur kita yang telah sewenang-wenang dirampas olah para mafia tanah tersebut.
“Tentunya pula, bagaimana melalui yayasan adat ini kita bisa bersinergi dengan perusahaan tambang emas ini, untuk menguatkan kelembagaan adat kita. Sekaligus untuk memberdayakan masyarakat kita tersebut,” pungkasnya. (*)