Membangun Pemilukada yang Berkualitas Dimulai dari Public Trust

News619 views

Oleh : Syafruddin Jalal

 

MEMBANGUN pemilukada yang berkualitas sejatinya dimulai dari hadirnya public trust atau kepercayaan publik. Kepercayaan itu hanya bisa lahir jika pesta demokrasi dijalankan sesuai dengan proporsi hukum dan kepatutan. Dengan begitu, hasilnya akan memperoleh legitimasi sosial yang kuat. Tentu, mewujudkannya bukan perkara mudah. Namun, bukan pula hal yang mustahil.

Selain penegakan hukum, penyelenggara Pemilu—dalam hal ini KPU dan Bawaslu—juga memiliki peran penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Misalnya dengan menggelar dialog, melakukan sosialisasi, serta memberikan penjelasan yang transparan atas setiap kebijakan kepemiluan yang telah dan akan ditempuh. Sebab bagaimanapun juga, pemilukada adalah agenda bersama, bukan milik penyelenggara semata.

Kasus PSU Kota Palopo dan Persoalan Kepercayaan Publik

Dalam konteks Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kota Palopo, membangun kembali kepercayaan publik adalah persoalan pertama dan utama. PSU ini terjadi bukan tanpa sebab. Justru karena adanya pelanggaran serius oleh Komisioner KPU Palopo bersama salah satu pasangan calon. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), terbukti bahwa Trisal Tahir menggunakan ijazah yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai syarat pencalonan. Sayangnya, KPU Palopo mengabaikan rekomendasi Bawaslu yang meminta agar Trisal Tahir dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS). Akibatnya, pasangan Trisal Tahir – Ahmad Syarifuddin Daud tetap diloloskan sebagai peserta pilkada.

Kini, dalam PSU, Bawaslu Palopo kembali menyampaikan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran administratif. Hasil kajian Bawaslu menunjukkan bahwa Ahmad Syarifuddin Daud (Ome) pernah dijatuhi pidana percobaan karena melanggar larangan fitnah dalam kampanye Pilwali 2017. Namun, pada Pilwali 2024, Ome tidak mengumumkan riwayat pidana tersebut saat mendaftarkan diri sebagai calon. Jika merujuk pada putusan MK dalam perkara Pilkada Kabupaten Pasaman, calon bupati Anggit Kurniawan Nasution didiskualifikasi dan dilarang mencalonkan diri kembali dalam PSU karena pelanggaran serupa. Maka, pelanggaran yang dilakukan Ome seharusnya berakibat sama.

Namun, Bawaslu Palopo tidak secara eksplisit menyebut term “diskualifikasi” dalam rekomendasinya. Meski demikian, hemat kami, sudah seharusnya demikian. Pasalnya, Undang-Undang Pemilihan memang tidak mengatur secara tegas bentuk sanksi administratif terhadap pelanggaran tersebut, dan menyerahkannya pada dinamika konstitusional. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa Bawaslu Palopo telah menjalankan tanggung jawabnya. Pertanyaannya kini: bagaimana dengan KPU Palopo?

KPU Sulsel dan Perdebatan Konstitusional

Menindaklanjuti rekomendasi tersebut, KPU Sulsel sebagai pelaksana PSU kemudian memberikan kesempatan kepada Ome untuk mengumumkan riwayat pidananya. Keputusan ini, menurut kabar, merujuk pada Nota Dinas dari KPU Pusat. Padahal, dalam amar putusannya, MK secara tegas menyatakan bahwa verifikasi ulang dokumen hanya berlaku bagi pengganti Trisal Tahir, yakni Naila Trisal. Maka, keputusan KPU Sulsel ini menimbulkan persepsi publik bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap amar putusan MK.

Memberikan kesempatan kepada Ome untuk mengumumkan riwayat pidana pasca penetapan calon sama saja dengan membuka ruang perbaikan berkas, yang semestinya menjadi bagian dari tahapan verifikasi. Tidak hanya itu, proses ini dilakukan setelah pasangan Naila Trisal – Ahmad Syarifuddin Daud resmi ditetapkan sebagai calon. Apakah persepsi masyarakat tersebut benar? Mungkin belum tentu. Tapi juga tidak bisa serta-merta diabaikan. Pertanyaannya: apa dasar hukum KPU?

Alih-alih memberikan penjelasan yang meyakinkan, KPU Sulsel justru berlindung di balik Nota Dinas KPU Pusat—cara yang sama digunakan oleh KPU Palopo saat menolak rekomendasi Bawaslu sebelumnya. Padahal, pelanggaran terhadap syarat pencalonan bukan sekadar pelanggaran administratif biasa, melainkan pelanggaran substantif. Jika tidak ditangani dengan benar, bukan tidak mungkin PSU atas PSU kembali terjadi seperti kasus Pilkada Boven Digoel.

Lebih jauh lagi, KPU Sulsel seolah menyalahkan bentuk rekomendasi Bawaslu Palopo yang tidak mencantumkan bentuk sanksi, dengan membandingkan dengan rekomendasi Panwaslu Palopo pada Pilwali 2017. Ini jelas tidak apple to apple. Dugaan pelanggaran petahana kala itu terkait dengan mutasi jabatan, di mana pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Pemilihan secara tegas menyebut sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.

Penggerusan Kepercayaan Publik

Yang semakin menggerus kepercayaan publik adalah pernyataan Ketua KPU Sulsel yang seolah menuding bahwa aksi protes masyarakat merupakan bentuk upaya penggagalan PSU Palopo. Padahal, seharusnya ini menjadi momen penting untuk membuka ruang diskusi publik, khususnya mengenai keabsahan proses perbaikan berkas Ome pasca-penetapan calon.

Alih-alih menjadi ujung tombak pembangunan kepercayaan publik, KPU Sulsel justru menciptakan keruhnya air demokrasi. PSU Pilwali Palopo yang seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya integritas hasil pemilukada dan integritas penyelenggara, justru menimbulkan kecemasan masyarakat akan potensi PSU di atas PSU. Sikap KPU Sulsel terhadap suara protes warga Palopo ibarat pepatah: menyayat luka baru di atas luka lama. Ini jelas merupakan unprofessional conduct.

*) Penulis adalah Pemerhati Pemilu dan Advokat di Kota Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *