
Oleh: Syafruddin Jalal
Syarat Calon Dalam PSU Pilkada Kota Palopo Dari Kubu Yang Sama Kembali bersoal
Pro dan kontra pencalonan Ahmad Syarifuddin Daud dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Palopo belum reda. Kini muncul dugaan baru terkait kelengkapan syarat pencalonan pasangan Ahmad, yakni Naili Trisal, sebagai calon wali kota.
Hasil penelusuran Bawaslu Kota Palopo menemukan kejanggalan dalam pemenuhan syarat pajak. Widiyanto, Komisioner Bawaslu Palopo – seperti dimuat oleh sejumlah media – menjelaskan bahwa secara teknis berkas Naili tidak bermasalah. Tetapi ditemukan perbedaan tanggal antara dokumen yang diunggah dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan bukti pembayaran pajak. Dalam Silon, tanggal pembayaran tercatat 25 Februari 2025, namun dokumen riil menunjukkan pembayaran baru dilakukan pada 6 Maret 2025.
Namun, penjelasan tersebut berkesan menyederhanakan masalah seolah-olah hanya seputar pembayaran semata. Padahal ini adalah syarat pencalonan bukan sekadar kelengkapan administratif. Perintah pemenuhannya diatur dalam pasal 14 ayat 2 huruf d PKPU Nomor 8 Tahun 2024
Pelanggaran terhadap syarat pencalonan memiliki konsekuensi serius, yakni diskualifikasi. Pilkada Serentak 2024 Kota Palopo sendiri adalah contohnya. Mengapa tak belajar dari pengalaman pahit sendiri?
Dual Track Enforcement (Pendekatan Ganda) Kembali Terabaikan
Lebih jauh, keterangan Widiyanto menunjukkan bahwa Bawaslu Palopo memilih untuk memandang persoalan ini hanya sebagai pelanggaran administratif. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, terdapat dugaan manipulasi dokumen negara—yaitu surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak (SKTMP)—yang secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pemilihan sesuai Pasal 184 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Keganjilan waktu penerbitan dokumen sangat mencurigakan. SKTMP telah diajukan pada 23 Februari 2025, sementara bukti pembayaran pajak justru tertanggal 6 Maret 2025. Mustahil rasanya SKTMP diterbitkan jika tunggakan belum dilunasi. Jika benar begitu, maka dokumen tersebut patut diduga telah dimanipulasi.
Dalam konteks ini, pengawas pemilu seharusnya tidak menutup mata. Klarifikasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) bukanlah hal sulit, bahkan merupakan prosedur paling logis untuk memastikan keabsahan dokumen. Jika terbukti sah, maka polemik selesai. Jika sebaliknya, maka patut diproses sebagai pelanggaran serius, bahkan pidana pemilihan.
Sayangnya, Bawaslu Palopo tampaknya mengulang pola lama. Dalam kasus dugaan ijazah palsu oleh Trisal Tahir pada masa pencalonan sebelumnya, pelanggaran administratif tak langsung ditindak, melainkan tertunda karena menunggu proses pidana. Kini, dalam kasus Naili Trisal, justru pelanggaran administratif yang diangkat, sementara dugaan pelanggaran pidana—yang tak kalah serius—diabaikan.
Kegagalan menerapkan dual track enforcement (penegakan ganda antara pidana dan administratif) secara simultan menunjukkan inkonsistensi yang membahayakan integritas pengawasan pemilu. Ketika instrumen pengawasan gagal bekerja seimbang, kecurigaan publik tak bisa dihindarkan: apakah ini kelalaian, atau justru keberpihakan?
Kesimpulan dan Saran
Bawaslu Palopo dan KPU Sulsel kembali mengulang kesalahan elementer: memfasilitasi pencalonan pihak yang tidak memenuhi syarat sejak awal. Akibat dari kelalaian ini sangat mungkin membawa Kota Palopo kembali pada putaran PSU, dengan biaya politik, sosial, dan anggaran yang tidak sedikit.
PSU atas PSU bukan hal baru dalam sejarah pemilu daerah. Namun, ketika penyebabnya adalah kesalahan serupa yang berulang, publik berhak mempertanyakan kapasitas dan integritas penyelenggara. Bukankah kita diajarkan, bahwa yang jatuh ke lubang yang sama dua kali—tak lebih baik dari seekor keledai?
Apalagi, Kota Palopo bukanlah daerah dengan anggaran berlebih. Pilkada yang berulang tak sekadar membebani APBD, tapi juga mempermainkan semangat demokrasi warga yang mendambakan pemimpin yang sah dan berintegritas.
Meski demikian, jalan perbaikan masih terbuka. Kesalahan ini masih bisa diselesaikan tanpa harus menunggu putusan pengadilan. KPU RI dan Bawaslu RI dapat menganulir keputusan di tingkat bawah dan mengoreksi kesalahan prosedural melalui diskresi.
Jika kewenangan inspektorasi tidak bisa digunakan, maka praktik kebijakan bisa ditempuh demi menjamin kepastian hukum dan kesetaraan calon dalam kontestasi demokratis.
Tidakkah Hukum bukan semata-mata soal teks tapi juga : praktik, kearifan, dan keberanian untuk menjaga marwah demokrasi.
Salam.
**) Penulis adalah Advokat berdomisili di Kota Palopo juga Mantan Ketua KPU dan Panwaslu Kota Palopo