Kades Ranteballa Diduga Kuat Memanipulasi Nama Lokasi dengan Nama Lokasi Fiktif, Terkait Usulan SPOP di Wilayah Dusun Padang
Tabloid SAR – Mencuatnya polemik soal adanya sinyalemen pembuatan dokumen Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) Kades Ranteballa. Untuk diajukan sebagai syarat administrasi penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang – Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) pada lokasi kontrak karya yang telah diplot untuk dibebaskan oleh PT Masmindo Dwi Area.
Sehingga berbagai kalangan pun kembali mengapresiasi langkah Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Luwu, terkait atas janjinya untuk tidak akan menerbitkan SPPT-PBB pada lokasi yang diusulkan SPOP-nya oleh Kades Ranteballa tersebut.
Kali ini giliran para tokoh elit Ranteballa di Jakarta menyusul menyampaikan apresiasinya kepada Kepala Bapenda Luwu tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Ferry Sarira Pasande kepada media ini pada hari ini, Selasa (22/10-2024).
Ia mengaku telah berkonsultasi dengan sejumlah tokoh elit Ranteballa di Jakarta ini. Sehingga dirinya bertindak, untuk menyampaikan apresiasinya yang setingi-tingginya terhadap langkah Kepala Bapenda Luwu, untuk tidak akan menerbitkan SPPT-PBB terkait dengan usulan SPOP dari Kades Ranteballa tersebut.
Dikemukakannya, bahwa mengenai adanya rencana usulan SPOP Kades Ranteballa untuk penerbitan SPPT-PBB sebagai obyek pajak baru, maka itu akan justru semakin mempertajam terjadinya konflik agraria antara pihak PT Masmindo dengan pihak masyarakat adat.
“Jadi kita sangat mengapresiasi atas adanya langkah Kepala Bapenda Luwu itu. Hal ini paling tidak akan dapat meredam terpicunya konflik agraria pada perusahaan tambang emas yang berlokasi di dalam wilayah Desa Ranteballa tersebut,” tuturnya.
Ferry, begitu ia akrab disapa, bahwa di wilayah Ranteballa tidak ada itu namanya tanah milik perseorangan tapi itu semua merupakan tanah adat warisan leluhur secara turun-temurun. Lanjutnya, jadi menerbitkan surat kepemilikan tanah, termasuk menerbikan SPOP untuk tujuan penerbitan SPPT-PBB di dalam wilayah IUPK sudah merupakan perlanggaran hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang.
Mestinya pihak PT Masmindo, tuturnya lagi, bahwa semenjak lokasi tersebut telah ditetapkan menjadi wilayah IUPK-nya, maka sudah pula menjadi kewajibannya untuk harus membayar PBB-nya, terlepas lahan tersebut belum dibebaskan dari pihak masyarakat adat selaku pemegang hak atas tanah yang sebenarnya.
“Jadi sangat patut pula dipertanyakan mengenai adanya kewajiban pembayaran PBB yang harus dibebankan kepada masyarakat, terkait dengan pembayaran harga kompensasi lahan dari PT Masmindo tersebut,” tukasnya.
Ia pun mengultimatum pihak Kades Ranteballa agar jangan lagi mencoba-coba mengusulkan penerbitan SPPT-PBB kepada pihak Kantor Bapenda Luwu, terkait dengan lokasi tanah yang telah menjadi progres pembebasan lahan PT Masmindo, kalau tidak ingin kembali bermasalah dengan kasus hukum.
Sambungnya, kalau pihak PT Masmindo tidak ingin terus-terusan diperhadapkan dengan kasus-kasus konflik agraria, maka sebaiknya menunda semua bentuk pembayarakan kompensasi lahan yang berlokasi di Desa Ranteballa itu.
Ferry pun sangat mempertanyakan, bahwa ada apa Maddika Ponrang disebut-sebut juga mengklaim memiliki lokasi lahan di wilayah adat Ranteballa itu. “Tidak ada sama sekali urusan Maddika Ponrang, terkait dengan lokasi tanah milik masyarakat adat di Ranteballa tersebut,” tandasnya.
Menurutnya, adakah nenek moyang Maddika Ponrang yang keluar dari Ranteballa, sampai juga mengklaim punya lahan kurang lebih selua 30 hektare-an. “Soalnya ada info, kalau Parengnge Kandeapi memberikan lahan kurang lebih seluas 30 hektare kepada Maddika Ponrang itu,” ungkapnya.
Lanjut ia menyampaikan, bahwa adanya tindakan seperti ini sangat patut disebut sebagai bentuk praktik-parktik mafia tanah. Intinya, bahwa pihak-pihak yang berksekongkol dengan Parengnge Kandeapi, untuk membagi-bagikan adat di wilayah Desa Ranteballa, maka pihak-pihak itu juga sangat patut disebut sebagai pelaku mafia tanah.
Kata Ferry lagi, sehingga kami selaku para tokoh elit Ranteballa yang berdomisili di Jakarta ini, akan membentuk Yayasan Adat untuk dijadikan sebagai wadah perjuangan. Sekaligus akan membekukan lembaga Adat Parengnge Kandeapi tersebut, akibat telah diduga kuat ikut terlibat untuk berspekulasi sebagai mafia tanah.
Hal tersebut, lanjut salah satu putra Parengnge Lemo II mendiang Puang Yan Pasande ini menyampaikan, tentunya tak lain demi mempertahakan hak-hak ulayat warisan leluhur kami yang sangat diduga kuat telah sewenang-wenang dirampas olah para mafia tanah, melalui pelaksanaan pembebasan lahan PT Masmindo tersebut.
Sementara itu, menurut warga Desa Ranteballa bahwa Ibu Kades Eti sudah siapkan dokomen SPOP untuk diajukan kepada Kantor Bappeda Luwu, sedikitnya 19 orang yang akan diteterbitan SPPT-PBB-nya pada lahan yang masih bersengketa tersebut.
Adapun ke-19 orang dimaksud, masing-masing bernama Palatan, Hasbi Sarimpang, Saenal Sambawan, Lulu Badeng, Amiruddin, Sahrul, Iwan, Rustam Jami, Wahid, Alim, Maryam, Sania, Jsman, Dimas, Amila Hasbullah, Nurdin Faisal Mahrum, Hendrik,Herman dan Eti.
Hal ini dibenarkan oleh Adam, salah satu warga Desa Ranteballa, kata dia jadi ke-19 warga ini merupakan daftar nama yang akan diajukan penerbitan SPPT-PBB-nya pada Kantor Bapenda Luwu.
Adam yang lebih akrab disapa ini sangat berharap pada Kepala Bapenda Luwu, agar tidak menerbitkan SPPT-PBB untuk ke-19 warga tersebut, sebab mereka itu bukan ahli waris pada lokasi tanah dimaksud.
Sedangkan menurut sejumlah warga di Desa Ranteballa lainnya, bahwa lokasi tanah pada wilayah Dusun Padang yang akan diusulkan penerbitan SPPT-PBB-nya tersebut, maka juga diduga kuat dimanipulasi nama lokasinya dengan nama lokasi yang fiktif.
Karena terdapat indikasi Ibu Kades Ranteballa telah memanipulasi lokasi Posi dan Panyura’ untuk diganti namanya menjadi fiktif dengan nama baru yang disebut lokasi Toja. Untuk kemudian dicantumkan di dalam dokumen SPOP pengusulan penerbitan SPPT-PBB tersebut adalah lokasi Toja, padahal lokasi itu nama yang sebenarnya adalah Posi dan Panyura’.
Warga lanjut menyampaikan, ada memang namanya Salu Toja tapi bukan nama lokasi lahan, namun merupakan nama sebuah sungai kecil pada Dusun Padang tersebut.
“Jadi adanya pergantian nama lokasi lahan yang bersifat fiktif ini, tentunya tak lain untuk berupaya mengelabui para ahliwaris atas tanah yang sebenarnya pada lokasi tersebut,” beber warga Desa Ranteballa meminta agar tidak dimediakan identitasnya.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Kades Ranteballa, Eti namun nomor whatsappnya tidak bisa diakses dan hanya tampak tanda contreng satu saja. Sedangkan Camat Latimojong, Nur Agam menyampaikan tidak bisa diterbitkan PBB kalau lokasinya fiktif.
“Kami ini pelayan masyarakat kalau sesuai aturan diusulkan yang berhak menerbitkan PBB adalah Bapenda,” terangnya melalui tanggapann yang disampaikan dalam bentuk chat kepada nomor whatsap media ini. (*)