Debat Kusir PSU Palopo dan Rebutan Legitimasi

News759 views

Oleh : Syafruddin Jalal

 

POLEMIK soal Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo kembali mencuat. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga kunci dalam pemilu: KPU dan Bawaslu. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam menyelenggarakan Pemilukada yang demokratis.

Yang menjadi akar persoalan PSU Pilwalkot Palopo bukanlah kesalahan teknis semacam penggunaan surat suara yang keliru, apalagi bencana alam. Masalahnya justru bersumber dari ulah oknum komisioner KPU Palopo dan salah satu pasangan calon. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuktikan hal tersebut. Akibatnya, puluhan miliar rupiah anggaran Pilwalkot terbuang sia-sia dan kini kembali terbebani oleh biaya PSU.

Meskipun pelaksanaan PSU diambil alih oleh KPU Sulawesi Selatan, kepercayaan publik tetap belum pulih. Sebab, keputusan yang melahirkan PSU berasal dari hasil konsultasi berjenjang KPU Palopo, sebagaimana terungkap dalam sidang DKPP. Lebih ironis lagi, Bawaslu Palopo yang seharusnya menjadi pengawas justru dinilai lamban dalam menangani dugaan pelanggaran administratif. Ini menunjukkan lemahnya keberanian untuk menegakkan hukum pemilu.

Dalam situasi seperti ini, publik seharusnya melihat komitmen KPU Sulsel dan Bawaslu Palopo untuk menegakkan hukum secara adil dan terbuka. Namun, alih-alih menunjukkan sinergi dan perbaikan, kedua lembaga ini justru kembali berpolemik soal dugaan pelanggaran terhadap pasangan calon Ahmad Syarifuddin Daud (Ome).

Seperti dilaporkan sejumlah media, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, menyatakan bahwa rekomendasi dugaan pelanggaran terhadap Ome tidak disertai bentuk sanksi. Bawaslu Palopo, melalui Ardiansah Indra Panca Putra, menanggapi bahwa Bawaslu memang hanya dapat memberikan rekomendasi tanpa sanksi, sesuai Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2024.

Namun, bukan kesan saling serang yang dibutuhkan oleh masyarakat Palopo, melainkan kepastian hukum. Mengapa KPU Sulsel justru memberikan kesempatan kepada Ome untuk mengumumkan riwayat pidananya pada masa PSU? Bukankah ruang koreksi seperti itu hanya dapat dilakukan sebelum penetapan pasangan calon, bukan setelah PSU?

Putusan MK telah menegaskan bahwa proses verifikasi hanya dilakukan terhadap calon pengganti Trisal Tahir, bukan terhadap Ome. Karena Ome adalah pasangan awal Trisal, tidak semestinya dilakukan verifikasi ulang terhadap dirinya. Maka, keputusan KPU Sulsel itu mengundang tanda tanya besar.

Di sisi lain, Bawaslu Palopo semestinya memberikan tanggapan tegas terhadap keputusan KPU Sulsel. Rujukannya jelas: Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemilihan, PKPU terkait, dan Putusan MK. Pertanyaannya, tepatkah keputusan KPU Sulsel? Atau justru ini adalah pelanggaran baru?

Kesan aneh sulit dihindari, terlebih karena keputusan KPU Sulsel didasarkan pada surat dinas KPU RI. Apakah surat dinas memiliki daya normatif untuk mengalahkan putusan Mahkamah Konstitusi? Setahu kami, putusan MK adalah norma konstitusional yang final dan mengikat. Apakah kini surat dinas termasuk sumber hukum tata usaha negara yang kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang? Kami tidak tahu.

Yang jelas, masyarakat Palopo tidak membutuhkan debat kusir. Mereka butuh penjelasan yang jernih, sikap terbuka, dan komitmen untuk menegakkan hukum tanpa kompromi. Bukan saling lempar tanggung jawab.

*) Penulis adalah Pemerhati Pemilukada dan Advokat di Kota Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *