Dukungan yang Terlambat: Aksi Kain Putih dan Luka PSU yang Belum Sembuh

Oleh : Syafruddin Jalal

Aksi Dukungan Tak Bisa Menambal Cacat Substantif

Terlambat! Itulah kata paling tepat untuk menggambarkan aksi penolakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh sejumlah massa.

Mereka menggelar demonstrasi di depan Kantor Wali Kota Palopo, Jumat, 30 Mei 2025. Dengan membentangkan spanduk kain putih sepanjang 100 meter untuk ditandatangani sebagai bentuk dukungan atas kemenangan pasangan Naili–Ahmad yang meraih 50,48% suara.

Aksi tersebut seolah hendak menambal sesuatu yang telah bolong sejak awal: keabsahan pencalonan. Padahal, kemenangan secara angka tak serta-merta menutupi cacat administratif.

Bawaslu Palopo telah merekomendasikan adanya pelanggaran administratif atas berkas pencalonan pasangan ini.

Meski tidak merinci sanksinya, KPU Sulsel—yang menjabat sebagai pelaksana tugas KPU Palopo—seharusnya paham: jika calon gagal penuhi maka wajib dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

Hal ini dikuatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025, yang justru jadi dasar pelaksanaan PSU Palopo.

Alih-alih menindaklanjuti rekomendasi secara tegas, KPU Sulsel justru memberikan kesempatan perbaikan berkas setelah penetapan calon PSU.

Bukankah ini justru menyalahi tahapan yang sah?

Naili misalnya, mengunggah dokumen pajak berupa keterangan bebas tunggakan. Namun pelunasannya dilakukan beberapa hari setelahnya.

Komisioner KPU Sulsel beralasan itu hanya “salah unggah.” Ya, salah unggah, tapi bukan kealpaan. Naili tahu dokumen itu belum benar, namun tetap mengunggahnya. Ini bukan kesalahan teknis. Ini adalah kesadaran hukum yang sengaja diabaikan.

Ahmad, yang berstatus mantan terpidana, tidak menyertakan pengumuman status hukum saat mendaftar di Pilkada lalu. Ia malah diberi kesempatan melengkapi dokumen setelah penetapan calon PSU. Padahal, Putusan MK tadi secara tegas melarang verifikasi ulang berkas pencalonannya.

Kedua hal tadi bukan sekadar pelanggaran teknis tahapan PSU. Tapi sudah menyentuh inti persoalan: syarat substantif pencalonan yang menjadi fondasi legalitas dalam kontestasi pemilu.

Dengan demikian, “Masihkah dukungan publik bermakna jika disuarakan setelah semua proses cacat hukum dilalui?”

Pilkada bukan soal suara terbanyak semata.

Pilkada adalah tentang proses yang sah dan calon yang layak. Bila prosesnya cacat dan syaratnya dilanggar, maka kemenangan yang diraih tak memiliki legitimasi—baik secara hukum maupun moral.

Aksi pengumpulan tanda tangan sesungguhnya justru memperkuat dugaan bahwa memang ada yang tidak beres sejak awal.

Kalau memang mendambakan kedamaian, menggugat hasil PSU melalui jalur hukum adalah jalan elegan. Seperti kata Martin Luther King Jr.

“Kedamaian bukan sekadar ketiadaan ketegangan, tetapi hadirnya keadilan.”

Maka, menolak kemungkinan PSU kedua atas nama kedamaian dan kelelahan masyarakat, adalah bentuk intimidasi berbalut keramahan.

Apakah ini benar-benar suara masyarakat?. Atau hanya kecemasan elit pendukung?

Memang, pasangan Naili–Ahmad meraih 50,48% suara sah. Tapi dari total DPT sebanyak 125.572, mereka hanya didukung oleh 37,7% pemilih.

Artinya, 62,3% pemilih—baik yang memilih pasangan lain, golput, maupun suara tidak sah—tidak memilih mereka.

Lebih jauh, menurut Saparuddin Santa dari Visi Indonesia Consulting (Tribun Timur, 23 Mei 2024), 56,4% warga Palopo percaya bahwa uang menjadi penentu kemenangan. Maka wajar bila muncul keraguan:

Apakah dukungan itu murni? Aksi bentang spanduk hanya menunjukkan satu hal: minoritas sedang berusaha menutupi cacat legitimasi.

Padahal, legitimasi lahir dari proses yang benar, bukan dari banyaknya suara atau panjangnya kain putih.

Bila akar masalah adalah pelanggaran syarat pencalonan, maka menolak uji hasil PSU justru memperbesar kekeliruan.

Dan masyarakat Palopo berhak tahu, berhak memilih, dan berhak dipimpin oleh calon yang sah.

Karena itu, seharusnya spanduk yang dibentang itu bertuliskan: “Tolak Calon Tak Bersyarat!”.Itu baru layak disebut aksi moral. Bukan kegelisahan elite seperti aksi di Kota Palopo. Tapi terlambat, PSU sudah terlaksana.

Salam.

**) Penulis adalah Pemerhati Demokrasi dan Mantan Komisioner KPU & PANWASLU Kota Palopo

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkini