
Oleh: Syafruddin Djalal
Di awal masa pemerintahannya, Wali Kota Palopo menggebrak dengan kebijakan yang langsung menyentuh jantung tata kelola keuangan daerah. Melalui Surat Edaran Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD tanggal 26 September 2025 tentang mekanisme pengajuan pembayaran dalam rangka penerbitan SP2D, setiap Surat Perintah Membayar (SPM) dari OPD kini harus memperoleh persetujuan langsung dari Wali Kota.
Kebijakan ini sontak menimbulkan beragam tafsir. Sebagian menilai langkah tersebut sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan keuangan, karena mengharuskan keterlibatan kepala daerah dalam setiap proses pencairan anggaran. Namun, bila dibaca lebih dalam konteks hukum dan tata kelola pemerintahan modern, surat edaran ini justru menandai babak baru: fase pengujian integritas dan penataan tanggung jawab keuangan daerah.
Artikel ini mencoba melihat kebijakan tersebut bukan dari kacamata pembelaan, melainkan dari perspektif politik hukum dan manajerial pemerintahan, untuk memahami alasan, konteks, dan arah yang hendak dituju.
Dari Sentralisasi ke Akuntabilitas
Pemerintahan daerah memang bukan korporasi. Namun prinsip kehati-hatian, uji tuntas, dan akuntabilitas yang menjadi roh dunia korporasi sangat relevan diterapkan dalam pengelolaan keuangan publik.
Dalam perusahaan besar, setiap pengeluaran melewati proses due diligence — memastikan legalitas, urgensi, dan tujuan penggunaannya.
Pendekatan inilah tampaknya yang diambil Wali Kota Palopo, Naili Trisal, yang berlatar belakang entrepreneur. Ia menegaskan kembali perannya sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019.
Dengan kata lain, kebijakan ini bukan sekadar upaya menarik kendali, tetapi menegaskan kembali rantai akuntabilitas agar setiap rupiah yang keluar memiliki legitimasi hukum yang kuat.
Namun, pesan utamanya jelas: kontrol harus berjalan seiring transparansi. Tanpa keterbukaan informasi publik, langkah yang mulanya dimaksudkan sebagai penguatan akuntabilitas justru bisa bergeser menjadi konsentrasi kekuasaan administratif di satu tangan.
Langkah Preventif: Melindungi Aparatur dari Risiko
Birokrasi sering kali menjadi korban dari sistem yang longgar. Pejabat teknis bisa terseret persoalan hukum hanya karena menjalankan prosedur yang sudah “terlanjur lazim”, meski sebenarnya cacat secara administratif.
Melalui mekanisme persetujuan berlapis, tanggung jawab kini ikut terdistribusi ke jenjang pimpinan yang lebih tinggi. Ini bukan bentuk kecurigaan, melainkan upaya melindungi aparatur dari risiko hukum, selama seluruh proses tercatat, terdokumentasi, dan dapat diakses secara terbuka.
Kuncinya bukan pada ketakutan administratif, melainkan pada keberanian untuk bekerja secara tertib dan benar. Di sinilah peran pimpinan menjadi penting: menciptakan budaya kerja yang tidak sekadar patuh pada perintah, tapi juga sadar hukum.
Efisiensi dalam Disiplin
Kritik yang muncul cukup wajar: kekhawatiran akan lambatnya penyerapan anggaran. Namun efisiensi sejati tidak diukur dari cepatnya uang keluar, melainkan dari tepatnya penggunaan dana sesuai aturan dan peruntukannya.
Surat edaran ini, bila dijalankan secara konsisten, akan menuntut OPD untuk menata ulang pola kerjanya — menyiapkan dokumen dengan lebih rapi, mematuhi jadwal kerja, dan memahami bahwa setiap transaksi keuangan merupakan jejak hukum pemerintahan.
Pejabat yang terbiasa bekerja asal cepat mungkin akan merasa tersendat. Tapi di situlah letak nilai ujiannya. Karena kebijakan ini bukan hanya menguji sistem, melainkan mengukur integritas para pelaksana di dalamnya.
Meritokrasi sebagai Arah Baru
Di balik kebijakan ini, ada pesan yang lebih besar: birokrasi Palopo sedang diarahkan menuju meritokrasi. Wali Kota tampaknya ingin menyeleksi pejabat berdasarkan kemampuan dan kedisiplinan kerja, bukan sekadar loyalitas pribadi. Siapa yang mampu beradaptasi dengan sistem yang ketat dan transparan, dialah yang layak dipercaya menjalankan program publik.
Namun agar semangat meritokrasi ini tidak kehilangan maknanya, proses persetujuan harus berjalan objektif, terukur, dan non-diskriminatif. Tanpa itu, meritokrasi akan kehilangan ruhnya dan kembali jatuh menjadi sekadar alat kontrol kekuasaan.
Penutup
Surat Edaran Wali Kota Palopo adalah momentum penting untuk menilai arah birokrasi daerah. Apakah kita siap beranjak dari pola lama — yang permisif dan transaksional — menuju tata kelola baru yang berbasis tanggung jawab hukum dan integritas moral? Kebijakan ini bisa menjadi instrumen penguatan sistem, tetapi juga bisa berubah menjadi alat kontrol administratif jika tidak disertai komitmen transparansi.
Bagi birokrasi Palopo, inilah ujian integritas — ujian yang menentukan apakah aparatur siap bekerja di bawah tata kelola modern yang menuntut kehati-hatian, keterbukaan, dan kejujuran administratif. Era baru birokrasi telah dimulai, dan hanya mereka yang berani berubah yang akan bertahan. Wassalam.
**) Penulis adalah Praktisi Hukum yang berdomisili di Kota Palopo.