Oleh: Syafruddin Jalal
Polemik ijazah Presiden Joko Widodo sudah memasuki usia tiga tahun. Bukan usia yang sebentar untuk sebuah tudingan yang sejatinya bisa diselesaikan dalam waktu sehari—cukup dengan satu lembar ijazah, ditunjukkan, diperlihatkan, diverifikasi. Tapi tidak. Kita semua justru dibiarkan hanyut dalam gelombang kejemuan yang terus diperpanjang.
Kini kasusnya sudah naik ke tingkat penyidikan. Laporan Jokowi terhadap lima orang yang menuding ijazahnya palsu—di antaranya Roy Suryo, Eggi Sudjana, hingga dokter Tifauzia—membuka babak baru dalam perjalanan isu ini. Tapi publik, terutama yang jeli membaca arah politik, tentu tak sekadar melihat ini sebagai perkara hukum semata.
Karena seperti halnya narasi politik yang dirawat, isu ijazah ini tetap hidup karena kontekstualisasi kekuasaan.
Apakah Jokowi Dirugikan atau Justru Diuntungkan?
Di ruang-ruang diskusi lokal, di warkop dan forum kampus, pertanyaan ini berulang kali dilontarkan. Di satu sisi, memang tak elok jika mantan kepala negara terus digoyang oleh tuduhan yang belum bisa dibuktikan. Tapi di sisi lain, ketidakmauan Jokowi menunjukkan dokumen itu justru menimbulkan tanda tanya besar.
Apakah ini bagian dari strategi komunikasi politik?
Apakah pihak-pihak di sekitar Jokowi sedang memainkan skenario flying victim—membangun kesan bahwa sang mantan presiden sedang dizalimi, agar publik simpatik?
Jika iya, maka itu bukan sekadar strategi. Itu adalah kalkulasi jangka panjang, mungkin hingga 2029, tahun di mana Gibran, putra Jokowi, disebut-sebut akan kembali bertarung di panggung nasional.
Kita Tak Bisa Lagi Berharap dari Jokowi
Tiga tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk menguji niat baik. Jika hingga hari ini tidak ada itikad membuka kejelasan, maka publik tak bisa lagi berharap pada Jokowi.
Kita hanya bisa berharap pada negara—tepatnya, pada penyidik yang kini menangani laporan tersebut. Namun harapan ini pun diselimuti kekhawatiran. Apakah penyidik akan benar-benar netral? Ataukah akan menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan yang ingin membungkam kritik?
Yang jelas, dalam asas keadilan, para terlapor juga punya hak. Hak untuk membela diri, hak untuk menghadirkan bukti meringankan. Termasuk, jika perlu, melakukan uji forensik terhadap dokumen yang dianggap bermasalah.
Dan itu hanya mungkin jika ijazah asli atau salinan resmi dapat diperiksa oleh pihak independen. Tanpa itu, maka proses hukum ini hanyalah kamuflase—seperti kabut pagi yang menutupi wajah demokrasi.
Kebenaran Tidak Takut Diuji
Sejarah mencatat bahwa kebenaran yang sejati tidak takut diuji. Pemimpin yang benar tidak akan menunda penjelasan. Maka jika sampai hari ini polemik ini masih bergulir, maka boleh jadi bukan karena rakyat haus sensasi, tetapi karena pemimpinnya sendiri yang enggan jujur.
Palopo, seperti halnya banyak kota lain, sudah bosan dengan narasi yang berputar-putar. Publik sudah dewasa. Dan saatnya, kita bersuara tegas:
Ijazah bukan rahasia negara. Ijazah adalah hak publik untuk tahu. Salam
***) Penulis adalah Pemerhati Politik, dan Advokat Berdomisili di Kota Palopo.