Salah Upload: Pleidoi KPU Sulsel atas Dugaan Pelanggaran Calon  

Oleh Syafruddin Jalal

Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwali Palopo sejatinya menjadi momentum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal. Namun harapan itu pupus. Yang tampak justru arah menyimpang dari semangat pemilu yang jujur dan adil.

Alih-alih memperbaiki cacat sebelumnya, keputusan KPU Sulsel selaku pelaksana tugas PSU justru membuka ruang gelap demokrasi. Bawaslu Palopo pun tak terlihat berdaya membela rekomendasinya sendiri. Ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan cerminan krisis keberanian kelembagaan dalam menegakkan hukum pemilu.

Jika masalah ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi, besar kemungkinan PSU akan diulang kembali. Sebab pelanggaran yang terjadi bukan ringan, dan aktor utamanya justru lembaga penyelenggara itu sendiri.

Pelanggaran Syarat Calon Tidak Bisa Dibenarkan dengan Alasan Salah Upload

Setelah sorotan terhadap perbaikan berkas pencalonan Ahmad Syarifudin belum reda, kini giliran dokumen pencalonan Naili Trisal yang memicu kontroversi. KPU Sulsel, dalam menjawab temuan Bawaslu, berargumen bahwa telah terjadi “salah upload” dokumen. Bahkan disebut bahwa Naili telah memenuhi kewajiban pajaknya.

Namun faktanya, dokumen bukti pajak yang diunggah ke SILON berbeda dengan yang ditemukan Bawaslu. Ini bukan soal kelalaian administratif, melainkan persoalan substansial. Jika benar, maka konsekuensinya adalah pembatalan pencalonan Naili sebagaimana amar Putusan MK Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025.

Yang Diukur Adalah Tenggat Pelunasan, Bukan Sekadar Pelunasannya

Keterangan fiskal yang ditunjukkan Tim Hukum pasangan Naili–Ahmad dari KPP Jakarta Utara justru memperkuat temuan Bawaslu. Sebab masalah utamanya adalah: apakah pada saat pendaftaran, Naili telah memenuhi kewajiban pajaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf d angka 2 PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Bukan soal lunas belakangan.

Dokumen wajib yang harus diunggah adalah Surat Keterangan Tidak Memiliki Tunggakan Pajak (SKTMTP) dari KPP. Tapi Bawaslu menemukan perbedaan tanggal krusial: Naili melakukan pelunasan pajak pada 6 Maret 2025, sementara dokumen yang diunggah ke SILON mencantumkan tanggal 25 Februari 2025.

Pernyataan Komisioner Bawaslu, Widiyanto Hendra, di Kompas.com edisi 2 Mei 2025, menegaskan bahwa mustahil SKTMTP terbit sebelum kewajiban pajak diselesaikan. Maka wajar jika publik bertanya: apakah sebelum tanggal 23 Februari—saat dokumen diunggah—Naili masih menunggak pajak?

Ironisnya, surat keterangan fiskal yang diajukan tim hukum Naili–Ahmad bahkan menunjukkan bahwa kewajiban pajak baru tuntas pada 19 Maret 2025. Bukti pembanding ini memperkuat indikasi bahwa dokumen awal yang digunakan adalah tidak sah. Tapi KPU Sulsel tetap menerimanya dengan dalih “salah upload”.

Ini bukan lagi kebijakan administratif. Ini adalah normalisasi kemustahilan.

Dugaan Tindak Pidana yang Diabaikan

Bahkan jika secara administratif diabaikan, persoalan ini tetap menyisakan aspek pidana. Penggunaan dokumen yang tidak sah—apalagi dalam kontestasi politik—masuk dalam kategori penggunaan dokumen palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 184 UU Nomor 10 Tahun 2016.

Artinya, mens rea (niat jahat) telah tampak sejak dokumen diunggah. Apalagi tidak ada perbaikan pada masa perbaikan dokumen. Justru perubahan dilakukan setelah penetapan calon dan hanya setelah munculnya rekomendasi Bawaslu. Ini memperlihatkan pola pikir oportunistik, bukan prosedural.

Namun anehnya, Bawaslu pun membiarkan ini berlalu. Tak terdengar adanya desakan kepada KPU Sulsel untuk menjelaskan mengapa rekomendasi tidak dijalankan. Tak ada langkah hukum lanjutan untuk memastikan rekomendasi itu dihormati. Bawaslu terkesan kehilangan wibawa—bak “singa sirkus”: kuat namun tak lagi ditakuti.

Kesimpulan  dan Saran

Kritik terhadap keputusan KPU Sulsel bukanlah isapan jempol. Ini adalah cerminan ketakutan publik bahwa PSU bisa kembali diulang karena pelanggaran yang disengaja oleh penyelenggara.

KPU Sulsel telah menormalisasi pelanggaran syarat pencalonan, meski rekomendasi Bawaslu jelas. Sementara itu, Bawaslu sendiri gagal membela rekomendasi yang dibuatnya. Bahkan cenderung menihilkan potensi penggunaan dokumen palsu dalam kajian akhirnya.

Kini ruang gelap demokrasi telah terkunci, dan di dalamnya berlangsung kemesraan antara KPU Sulsel dan Bawaslu Palopo—kemesraan yang mencederai integritas pemilu.

Oleh karena itu, dibutuhkan langkah berani dari KPU RI, Bawaslu RI, dan Gakkumdu Nasional untuk segera menginspeksi keputusan ini. Bahkan bila perlu, mengambil alih penanganan secara langsung demi mengembalikan proses pemilu pada proporsinya.

Ini bukan intervensi, melainkan bentuk tanggung jawab konstitusional. Jika langkah ini tak tersedia dalam hukum positif, maka kekuasaan diskresi menjadi dasar paling moderat dan masuk akal.
Salam.

**) Penulis adalah Advokat berdomisili di Kota Palopo, juga Mantan Ketua KPU dan Panwaslu Kota Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *