Tabloid SAR – Kasus sengketa lahan pada lokasi yang dibebaskan untuk Proyek PLTMH Salu Noling di Bastem, nampaknya terus menjadi wacana publik setelah pihak Polres Luwu mulai melidik dugaan penggelapan yang diadukan oleh pihak PT Tiara Tirta Energi (TTE) tersebut.
Kasus yang diadukan pihak PT TTE ini, terkait dengan dugaan penggelapan pembayaran kompensasi lahan PLTMH Salu Noling, di Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pihak penyidik Tindak Pidana Tertentu (Tidpiter) Reskrim Polres Luwu, tampaknya sudah mulai meminta keterangan saksi-saksi pada Senin lalu, 21 Juli 2025, terkait kasus ini.
Diperoleh informasi, bahwa soal diadukannya ke pihak kepolisian atas kasus pembayaran kompensasi lahan yang berlokasi di Bone Sura’ dan Bone Lambe ini, atas atensi khusus dari seorang Jenderal (off the record -red).
Hal tersebut, akibat terduga pelaku belum melaksanakan kewajibannya atas pembayaran lahan senilai Rp 1,750 miliar yang telah ditransfer pihak PT TTE ke rekening bersangkutan. Terlebih lagi terduga pelaku beserta kelompok premannya, disinyalir pula kerap melakukan tindakan intimidasi terhadap kegiatan konstruksi PLTMH itu.
Hal ini, sehingga disikapi oleh Amiruddin Tende, salah satu tokoh masyarakat adat asal keturunan Bolu-Bara’bak. Kepada media ini, Kamis (24/07-2025) menyampaikan, sudah sangat tepat kasus ini diadukan ke pihak Kepolisian, daripada kasus sengketa lahan ini, dapat berpotensi untuk memicu terjadinya potensi konflik agraria di antara rumpun.
Ia mengaku, bahwa dirinya ini, selain keturunan langsung dari Tongkonan Bolu-Bara’bak. Akan tetapi juga merupakan keturunan langsung dari Tongkonan Pawele-Ojo. Termasuk keturunan dari Tongkonan Lebusan. Karena leluhurnya pernah menjadi Pemangku Adat pada Tongkonan-Tongkonan ini.
Sehingga dirinya harus jujur mengemukakan atas kebenaran mengenai satus kepemilikan lahan pada lokasi tanah yang terletak di Bone Kapa’, Bone Sura’, Bone Lambe dan Pa’kamboan itu. Jadi lahan tersebut merupakan tanah adat milik bersama Tongkonan Pawele-Ojo, sama sekali bukan tanah milik adat Bolu-Bara’ba, apa lagi tanah adat Kira’.
Kata dia, memang lokasi tanah tersebut berada di dalam wilayah adat Balimbing Kalua Bolu. Namun rumpun Pawele-Ojo secara turun-temurun yang justru sudah berlapis-lapis silsilah keturunannya dari masa lampau, sudah menggarap lokasi ini sebagai lahan persawahan dan perladangan.’Namun di bawah otoritas pengendalian pengelolaan Puang To Tumbang Ri Pawele.
Begitupun halnya, lanjutnya, lokasi tanah yang dinamai Pa’kamboan itu, pada zamanya dijadikan oleh Tongkonan Pawele-Ojo sebagai lokasi bossong tedong (kandang kerbau –red) beserta lahan penggemukan ternak kerbau yang ditangkap baik untuk kebutuhan pesta adat maupun untuk diperjualbelikan
“Bahkan Gunung Tanduk Padang pada sepanjang sisi Salu Noling, mulai dari Salu Kanan sebagai batas di utara sampai di Tetin sebagai batas selatan, merupakan lokasi adat pa’lambaran tedong (peternakan kerbau) Tongkonan Pawele-Ojo,” ucap Amiruddin, saat masa kecilnya bernama Pampang ini.
Selain ada sebidang tanah yang berlokasi di Salu Kanan, itu merupakan tanah warisan rumpunnya Puang Ponto Patanduk dari pihak garis silsilah keturunan yang lain. Tapi rupanya masih juga diklaim oleh Mathius Kombo sebagai warisannya, sampai disebut-sebut memaksa pihak perusahaan PLTMH agar membayarnya.
“Mendiang Puang Ponto Patanduk dengan Mathius Kombo memang bersepupu satu kali, tapi lokasi itu merupakan tanah warisan rumpunnya Puang Ponto Patanduk dari pihak garis silsilah keturunan yang lain,” ucapnya.
“Kami bisa saja mengkaim lokasi tanah ini sebagai warisan, tapi kita harus jujur mengemukakan kebenaran, menurut riwayat tanah itu sendiri berdasarkan silsilah keturunannya,” tukasnya.
Pampang menyampaikan, jika pihak keluarga yang mengaku sebagai Pemangku Adat Balimbing Kalua Bolu, Parengnge Bara’bak dan Parengnge Kira’ itu. Termasuk keluarga dari Tongkonan ini yang merasa dirinya sebagai bangsawan. Nampaknya sangat terkesan memaksakan diri untuk mengakui tanpa dasar atau sewenang-wenang merampas kepemilikan hak-hak waris tanah rumpun Pawele-Ojo tersebut.
Apalagi dalam lokasi tanah, lanjut ia menyampaikan, seperti lahan yang terletak di Bone Kapa’ dan Bone Sura’, padahal sedang diola menjadi kebun coklat oleh rumpun Pawele-Ojo. Numun mereka justru membuatkan surat keterangan tanah di atasnya, untuk kemudian dipergunakan menerima pembayaran kompensasi lahan pada perusahaan PLTMH tersebut.
“Jadi perbuatan seperti ini, kami pikir itu sudah namanya sebagai bentuk tindakan pemalsuan terhadap surat keterangan tanah,” imbuhnya.
Menurutnya, kalau namanya Pemangku Adat atau keturunan bangswan itu, harusnya mampu memahami ketentuan hukum adat atas tanah, untuk bisa membedakan antara wilayah adat dengan tanah adat milik bersama atau tanah adat milik perorangan dan hak-hak tanah ulayat.
Dirinya pun mempertanyakan, bagaimana bisa mereka itu dapat menjadi Pemangku Adat, sebagai Puang Balimbing Kalua di Bolu atau Puang Parengnge di Bara’bak, Lebusan dan Kira’. Jika sama sekali tidak memahami, untuk dapat membedakan antara wilayah adat dengan status kepemilikan atas tanah adat, menurut riwayat atas setiap status kepemilikan terhadap tanah adat tersebut.
“Bukan namanya Pemangku Adat atau bangsawan, kalau sewenang-wenang merampas hak-hak tanah warisan adat orang lain. Terlebih lagi, jika bergaya premanisme untuk mengklaim lahan milik orang lain, maka itu namanya sudah menjatuhkan derajat Tongkonan,” ucapnya dengan nada sarkasme.
Pampang yang lebih akrab disapa Bapaknya Tati ini, mengungkapkan, jika kita bicara tentang silsilah keturunan Bolu, Bara’bak, Lebusan dan Kira’, leluhur kami juga punya andil besar pada setiap Tongkonan tersebut. Apabila kita membedah silisilah keturunan, mungkin rumpun kami justru lebih kuat darah silsilah keturunannya pada setiap Tongkonan tersebut.
Tapi kami tahu bagaimana seharusnya mengharagai pihak-pihak keluarga, sambungnya, yang sudah menjadi Pemangku Adat pada setiap Tongkonan diamasud, walau secara garis silsilah keturunan, mungkin rumpun kami justru lebih memenuhi syarat menurut ketentuan tradisi hukum adat.
Hal itulah, sambungnya, sehingga kami mendaulat Puang Hj Tinting Lambe, sebagai pelaksana Puang To Tumbang Ri Pawele, karena syaratnya memang perempuan dan memang sangat memenuhi syarat secara garis silsilah keturunan. Bahkan rumpun kami pun juga sangat bisa menjadi Pemangku Adat Balimbing Kalua di Bolu, Parengnge Bara’bak, Lebusan dan Kira’, jika didasari pada garis silsilah keturunan.
Adapun mengenai klaim pihak keluarga dari Tongkonan Balimbing Kalua, Bara’bak, Lebusan dan Kira’ terhadap lokasi tanah yang dibebaskan pihak perusahaan untuk lahan Proyek PLTMH itu, saya pikir itu sudah sangat jelas diceritakan oleh Puang Hj Puang Tinting Lambe.
Ia pun sangat mendukung atas adanya amanah dari Puang Hj Tinting Lambe, untuk mewacanakan agar segera dilakukan penunjukan Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele dari pihak rumpun Puang So’ Lotong.
Hal tersebut, sehingga juga mendapat dukungan dari Baharuddin Tende alias Baddu, salah satu adik kandung Bapaknya Tati. Harapannya supaya salah satu keluarga dari pihak rumpun Puang So’ Lotong dapat bersedia untuk menjadi Pemangku Adat To Tumbang Ri Pawele tersebut.
Kata dia, kalau kami dari segenap rumpun Puang Lai’ Tiku Allo alias Puang Sae Kurin, atau selaku rumpun Puang To Tumbang Ri Pawele XI, sudah jelas sangat setuju dengan amanah yang telah disampaikan oleh Puang Hj Tinting Lambe tersebut.
Lanjutnya, kita di Pawele ini hanya dua rumun saja, yakni rumpun Puang Lai’ Tiku Allo dan rumpun Puang So’ Lotong. “Kami selaku rumpun Puang Lai’ Tiku Allo sudah sepakat mengamanahkan kepada pihak rumpun Puang So’ Lotong, untuk menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele,” ucap salah satu cucu Puang So’ Bolu yang lebih akrap disapa Bapaknya Boby ini.
Dia pun sangat menyesalkan atas adanya pihak keluarga yang telah menerima pembayaran kompensasi lahan untuk lokasi Proyek PLTMH yang terletak di Bone Kapa’, Bone Sura’ dan Bone Lambe itu. Padahal bukan sama sekali tanah warisan mereka. Apalagai masih ingin lagi memaksa pihak perusahaan agar juga membayar lahan yang disebut Pa’kamboan tersebut.
Menurut Bapaknya Boby, bahwa sudah sangat tepat jika pihak perusahaan telah melaporkan ke pihak kepolisian, terkait dengan pembayaran kompensasi lahan pada lokasi-lokasi lahan tersebut. “Perbuatan mereka seperti itu, sudah harus ditindak tegas secara hukum,” ujarnya.
Ia lalu menambahkan, bahwa apa yang sudah diceritakan oleh Puang Hj Tinting Lambe dan Bapaknya Tati, mengenai lokasi tanah di Bone Kapa’, Bone Sura’, Bone Lambe dan Pa’kamboan itu, maka itulah asal-usul mengenai riwayat tanah sebenarnya.
“Jadi sudah sangat tidak berdasar, kalau ada pihak keluarga dari rumpun lain yang mengaku sebagai ahli waris pada lokasi tanah proyek PLTMH tersebut,” pungkas salah satu keturunan dari Tongkonan Bolu-Bara’bak ini. (*)