Tabloid SAR – Sejumlah kasus diadukan ke pihak kepolisain yang diduga kuat timbul pada pelaksanaan konstruksi proyek PLTMH Salu Noling yang berlokasi di Desa Bolu, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Salah satu kasus yang dilaporkan ke pihak kepolisian tersebut, terkait kasus sengketa lahan akibat diduga kuat diserobot pihak PT Tiara Tirta Energi (TTE) untuk lokasi proyek PLTMH tersebut. Kasus ini telah dilaporkan oleh pihak Rumpun Keluarga Kaperengngesan Banua Sura’ Ojo, dalam bentuk Surat Pengaduan Masyarakat per-tanggal 02 Oktober 2025 lalu .
Adapun surat pengaduan yang ditujukan kepada Kapolres Luwu, telah diserahkan langsung pada tanggal 15 Oktober 2025 oleh Ilham K Rumpak, selaku perwakilan pihak Rumpun Keluarga Kaperengngesan Banua Sura’ Ojo.
Terkait atas adanya surat pengaduan ke pihak kepolisian tersebut, Ilham K Rumpak, selaku pihak perwakilan ahli waris, namun justru memperoleh pesan whatsapp pada hari ini, Senin (20/10-2025), sebagaimana yang diteruskan ke nomor Whatsapp awak media ini, dengan menyebut-nyebut “tiga Jenderal Polisi” sebagai pemegang saham PT TTE.
Adapun bunyi pesan whatsapp yang menyebut-nyebut “tiga Jenderal Polisi” sebagai pemegang saham pada perusahaan pemilik proyek PLTMH Salu Noling tersebut, berikut hasil screenshot (tangkapan layar) handphone di bawah ini :

Ilham sangat menyayangkan atas adanya pesan whatsapp seperti ini, karena justru dikirim dari nomor whatsapp keluarga sendiri. Tapi ia sangat menduga kuat, jika pesan whatsapp itu, sepertinya diarahkan oleh pihak management perusahaan sebagai bentuk dugaan intimidasi, sekaligus untuk memecah belah pihak keluarga kami.
Kata dia, mana mungkin pihak keluarga di kampung kirim pesan whatsapp yang berbunyi seperti itu, kalau tidak ada pihak management PT TTE yang mengarahkannya. “Jadi mengenai lahan itu sudah bersitifikat, dan adanya tiga Jenderal Polisi sebagai pemegang sahamnya. Hal ini, bukan halangan kita untuk menuntut rasa keadilan,” ucap salah satu Tokoh Adat Bastem yang lebih akrab disapa Ayahnya Randi ini.
Hal mengenai laporan kita di kepolisian, sambungnya, maka itu atas arahan keluarga dari Jakarta, bahkan Beliau sudah menelepon langsung Pak Kapolres Luwu. “Soal tindak lanjut proses penanganan hukum kasus ini di Polres Luwu, maka itu adalah urusan Beliau,” ucapnya.
Hanya saja Ayahnya Randi, tidak ingin mengungkap identitas keluarganya dari Jakarta yang mengarahkannya, sehingga dirinya mengadukan kasus dugaan penyerobotan lahan tersebut ke pihak kepolisian.
Sementara itu, Pemangku Adat Parengnge Banua Sura’ Ojo, Puang Turiang Katti sangat mengharapkan pihak Polres Luwu agar mengusut kasus dugaan pemalsuan warkah atas tanah, terkait dengan penerbitan sertikat tanah atas nama PT TTE tersebut.
Lanjutnya, apalagi surat keterangan tanah yang diterbitkan Kepala Desa Bolu dalam bentuk SPPRT (Surat Pernyataan Penguasaan/Riwayat Tanah) yang telah dibayarkan kompensasi lahannya oleh pihak PT TTE itu adalah sangat diduga kuat palsu.
“Pihak Penyidik Polres Luwu agar dapat lebih mendalami atau menggali lebih cermat atas adanya indikasi penempatan keterangan palsu di dalam surat keterangan tanah yang sangat disinyalir kuat direkasa penerbitannya oleh Kepala Desa Bolu dalam bentuk SPPRT tersebut,” tuturnya.
Kata dia, soal adanya Saudara Sanusi yang mengklaim sampai menerima pembayaran kompensasi lahan dari PT TTE pada lokasi tanah yang terletak di Bone Sura’ dan Bone Lambe’ sebagai wilayah adat Kira’. Hal itu sangat tidak berdasar sama sekali.
Halnya, Saudara Paembonan yang mengaku-ngaku mengelola lahan di lokasi tanah yang terletak di Bone Kapa’, termasuk menerima pembayaran kompensasi lahan dari pihak PT TEE. Sejak kapan Saudara Sanusi dan Saudara Paembonan itu pernah mengelola lahan yang diklaimnya sebagai warisan tanah adatnya tersebut.
Begitupun halnya Saudara Matius Kombo berteman, bahkan sampai memaksa pula pihak perusahaan untuk menyerahkan pembayaran kompensasi lahan pada lokasi Bone Sura’ dan Bone Lambe’ yang sebelumnya diterima Saudara Sanusi itu. Bahkan masih saja memaksa pihak perusahaan agar juga membayar lahan yang berlokasi di Pa’kamboan tersebut.
Puang Turiang Katti kembali mempertanyakan, bahwa sejak kapan mereka itu atau orang tua mereka, bahkan nenek moyang mereka sekalipun pernah mengelola lahan pada lokasi yang mereka telah terima pembayaran kopensasi lahannya dari pihak PT TTE.
Lanjut dia menyampaikan, jangankan mereka atau orang tuanya, bahkan nenek moyangnya sekalipun, sangat mungkin tidak pernah menginjakkan kakinya pada lokasi-lokasi lahan tersebut. Apalagi pernah mengelolanya secara turun-temurun. Lalu apa dasar mereka, sampai mengklaim lokasi-lokasi tanah dimaksud sebagai warisan tanah adatnya.
Ia pun lalu mengemukakan, karena namanya tanah warisan adat itu dikelola secara turun-temurun dari sebelum Indonesia merdeka baik dikelola dalam bentuk lahan pertanian maupun dalam bentuk lokasi peternakan kerbau masyarakat adat.
Hal tersebut, kata dia lagi, maka itupun harus pula didasari dengan bukti-bukti pengelolaan lahan di lokasi. Seperti adanya tanaman mereka dalam bentuk tanaman apa saja jenisnya. Termasuk bukti-bukti bekas warisan pengelolaan lahan orang tua mereka atau nenek moyangnya. Seperti contohnya mata kali dan balabatu serta bukti-bukti lainnya hasil peninggalan warisan leluhur mereka itu.
Sedangkan nenek moyang kami, sambungnya, namun justru secara turun-temurun memiliki peninggalan pengelolaan lahan pada lokasi-lokasi lahan dimaksud, seperti mata kali, bekas irigasi tradisional untuk pengairan persawahan dan tanaman kayu monto untuk mencegah terjadinya abrasi, jika setiap terjadi banjir di Sungai Noling.
Bahkan beberapa bulan lalu lokasi-lokasi tanah tersebut, masih dikelola rumpun keluarga kami dari Rumpun Banua Sura’ dan Rumpun Pawele, untuk dijadikan sebagai kebun coklat. Tapi kebun coklat yang dikelola Saudara Lele pada lokasi tanah di Bone Sura’, rupanya sudah dijadikan sebagai lokasi tambang material galian C secara ilegal oleh pihak proyek PLTMH.
Begitupun hal lokasi tanah di Bone Kapa’ yang selama ini dikelola sebagai kebun coklat olah Saudara Ganjan, namun rupanya pula sudah berdiri sejumlah bangunan konstruksi dalam bentuk gedung-gedung proyek PLTMH.
Puang Turiang Katti mengaku sangat tidak mempersoalkan dengan adanya tiga Jenderal Polisi yang disebut-sebut menjadi pemegang saham di PT TTE tersebut. Namun yang kami persoalkan agar lokasi tanah warisan kami di Bone Kapa’, Bone Sura’, Bone Lambe’ dan Pa’kamboan, supaya dibayar pihak perusahaan ini.
Dirinya menyapaikan sangat bersyukur, sebab pihak Keturunan Rumpun Keluarga Puang So’ Lotong di Jakarta, rupaya sudah menangani kasus salah bayar perusahaan terhadap lokasi tanah yang terletak di Bone Kapa’, Bone Sura’, Bone Lambe’ dan Pa’kamboan tersebut.
Apalagi, salah satu keturunan Puang So’ Lotong di Jakarta bernama Ibu Apriana Christine Tangyong alias Ibu Tetin, sudah pula ditunjuk oleh rumpun keluarga sebagai Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele. Karena lokasi-lokasi tanah dimaksud, merupakan warisan bersama Rumpun Banua Sura’ dengan Rumpun Pawele.
“Jadi kami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada Ibu Tetin, selaku Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele yang menangani pengurusan kasus salah bayar perusahaan terhadap lokasi-lokasi tanah tersebut,” terang Puang Parengnge Banua Sura’ Ojo ini, mengakhiri komentarnya. (*****)










