Pelaksana Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele Bercerita Mengenai Kasus Warisan Tanah Adat pada Lokasi Proyek PLTMH Salu Noling di Bastem

News189 views

Setuju untuk Menunjuk Salah Satu Rumpun Puang So’ Lotong Sebagai Pemangku Adat Defenitif di Tongkonan Pawele

 

Tabloid SAR – Hj St Syamsia Puang Sanggalangi, selaku Pelaksana Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele, telah mengamanahkan agar segera menunjuk salah satu anggota keluarga dari rumpun Puang So’ Lotong. Untuk meneruskan dinasti kepemimpinan nilai-nilai kearifan lokal warisan Puang To Tumbang Ri Pawele I (Pertama), Puang Lai’ Bulawenna.

Adapun Puang Lai’ Bulawenna ini, lalu diperistrikan oleh Datu Malotong (Datu Kamanre) atau anak dari Patia Raja Karaeng Somba Opu. Kemudian generasinya secara garis lurus, tanpa terputus menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele selama dua belas lapis silsilah keturunannya.

Ketika Puang Lai’ Gollen menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele XII (ke dua belas). Maka pada tahun 1953, terjadi peristiwa kedua pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Abdul Kahar Musakkar. Menyebabkan terjadi eksodus penduduk, sehingga kedinastian adat Kapuangan ini menjadi putus.

Bahwa patut dikatakan, selama satu generasi kepemimpinan adat di Bastem sempat mengalami chaos. Akibat peristiwa pemberontakan DI/TII periode kedua (1953-1965) tersebut. Sebab pada periode pertama peristiwa pemberontakan ini, yaitu 1951-1953, wilayah Bastem belum signifikan menjadi zona wilayah perang.

Hal tersebut diceritakan oleh Hj St Syamsia Puang Sanggalangi, selaku Pelaksana Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele pada hari ini Senin (12/07-2025). Harapannya agar dilakukan penunjukan salah satu keluarga dari rumpun Puang So’ Lotong, untuk menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele berikutnya.

Soalnya, kata dia, rumpun kita di kampung sekarang ini sudah menjadi keturunan orang lemah, tidak seperti pada era keemasan leluhur kita pada masa lampau. Walau di Pawele itu secara turun-temurun pemangku adatnya adalah perempuan, tapi sangat dipandang terhormat pada zamannya.

Apalagi, lanjutnya, kita selaku rumpun Pawele memiliki warisan tanah adat yang cukup luas. Sehingga dirinya sangat berharap pada salah satu keluarga dari rumpun keturunan Puang So’ Lotong, agar dapat menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele.

“Kalau orang lemah yang menjadi Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele, bisa-bisa habis itu semua lokasi tanah adat kita diserobot untuk diduduki atau diakui oleh pihak-pihak lain,” ucap cucu Puang To Tumbang Ri Pawele XII yang juga kerap disapa Hj Tinting Lambe ini.

Ia lalu menyebutkan, jika dirinya sampai dinamai “Tinting Lambe” sebab lahir di Bone Lambe, ketika orang tuanya pernah menggarap sawah di lokasi di Bone Lambe ini. Dirinya lahir saat padinya sudah berbuah, sehingga dibentangkan sejumlah tinting yang panjang-panjang, sebagai penjaga burung pipit.

Karena “tinting” adalah semacam “tali kecil penjaga burung pipit agar tidak memakan buah padi” dan “lambe” artinya “panjang.” Jadi “tinting lambe” menurut pengertiannya adalah semacam “tali kecil yang panjang yang berfungsi sebagai penjaga burung pipit agar tidak memakan buah padi di sawah.”

Dia lanjut menceritakan, sebelumnya lokasi sawah di Bone Lambe ini pernah digarap oleh Puang So’lotong bersama dengan suami kemanakannya bernama Puang Lai’ Kaissi dan pihak masyarakat adat Ojo lainnya.

Kemudian terjadi pemberontakan DI/TII, menyebabkan semua penduduk pergi mengungsi. Akibat wilayah ini telah menjadi zona wilayah perang, akhirnya sawah di Bone Lambe itu menjadi terbengkalai higga sekarang ini.

Sedangkan, lokasi sawah di Bone Kapa’ digarap oleh Puang Tangkedanga, pada zamannya selaku Pemangku Adat Balimbing Kalua Bolu. Puang Tangkedanga ini memperistrikan Puang Lai’ Tiku Allo alias Puang Sae Kurin, selaku Puang To Tumbang Ri Pawele XI.

Menurutnya, Puang Tangkedanga bahkan pernah mendirikan Tongkonan Balimbing Kalua Bolu di atas tanete (punggung bukit –red) pada lokasi tanah di Bone Kapa’ itu. Hal tersebut, atas permintaan pemerintah penjajahan Belanda. Karena pihak pemerintah penjajahan Belanda menilai terlalu jauh, untuk mengunjungi Tongkonan di Bolu.

Setelah Puang Tangkedanga pergi membuka lahan baru di wilayah Salojong dan Pangi. Kemudian sawah yang berlokasi di Bone Kapa’ digarap lebih lanjut oleh anaknya bernama Puang Lai’ Gollen, selaku Puang To Tumbang Ri Pawele XII atau Puang To Tumbang Ri Pawele terakhir.

Ia mengemukakan, bahwa lokasi tanah yang disebut wilayah Salojong itu, pada zaman dulu kala, merupakan lahan adat perburuan rusa leluhur kita secara turun-temurun. Kala Puang Tangkedanga membuka lahan garapan baru di Salojong tersebut, maka mendirikan pula rumah adat yang disebut Tongkonan Saratu’ La’ririnna di Salojong tersebut.

Begitupun halnya lokasi sawah di Bone Sura’, maka disebut-sebut juga pernah digarap oleh Puang Batu selain juga menggarap sebagian sawah yang berlokasi di Kattaro. Karena Puang Batu ini, menikah ke Ranteballa, sehingga lokasi sawah ini digarap oleh Puang Paddang (Puang To Patalo Banua Sura’ Langi Ri Ojo). Apalagi salah satu anak Puang Paddang diperistrikan oleh Puang Tende So’ Bolu anak dari Puang To Tumbang Ri Pawele XII, Puang Lai’ Gollen’.

Selain itu, lanjut Hj Tinting menjelaskan, kalau masih ada lokasi pada seputaran pinggir Salu Noling yang disebut To Kamassi sebagai tanah warisan Puang To Tumbang Ri Pawele. Pada zamannya lokasi ini digarap sebagai lahan persawahan dan perladangan oleh “Kaunan Bulawan” yang membidangi pengawasan terhadap golongan kasta “Kaunan Tai Manuk” yang khusus bertugas sebagai penjaga dan peternak kerbau.

Namun, sambungnya, kita sudah tidak boleh lagi mengungkap istilah “kaunan” tersebut. “Karena kita sudah beragama, sebab selain kita sangat berdosa, maka kita juga bisa dipenjara (dipidanakan –red), apabila kita masih kembali mengungkit-ungkit keturunan kasta “kaunan” leluhur kita tersebut,” tandasnya.

Hal itulah, Hj Tinting menyampaikan sangat tidak mengerti kalau Sanusi sampai mengakui lokasi tanah di Bone Sura’ dan Bone Lambe. Begitupun halnya Paribek atau Ne’ Paembon, sampai juga mengakui lokasi tanah di Bone Kapa’.

Dengan penuh tanya, dia lanjut menyampaikan, kapan itu Sanusi atau orang tuanya dan Ne’ Paembonan beserta leluhurnya Paribek itu pernah menggarap lahan di lokasi Bone Kapa’ tersebut. Apalagi muncul juga itu keluarga dari Bolu, menyusul pula mengakui lokosi tersebut sebagai tanah adatnya.

“Itu keluarga dari kira’, Bara’ba dan Bolu itu hanya mengaku-ngaku saja punya tanah adat pada lokasi ini. Padahal mereka, bahkan orang tuanya dan nenek moyangnya sekalipun tidak pernah didengar ada ceritanya, jika pernah pula menggarap lahan pada lokasi-lokasi tersebut,” ucapnya dengan nada heran.

Kalau bicara soal keturunan dari Bolu, kami juga orang Bolu. Bahkan kami lebih berdarah biru mungkin dari keturunan Bolu, ketimbang pihak-pihak Pemangku Adat yang mengkalim lokasi tanah yang berlokasi di Bone Kapa’, Bone Sura’, Bone Lambe dan Pa’kombongan sebagai tanah warisan adanya.

Hj Tinting pun mengaku sangat bersyukur, karena Om Puang Minanan Tangyong beserta rumpun keluarga di Jakarta, apabila telah mengagendakan penanganan terhadap kasus pembebasan lahan pembangunan Proyek PLTMH yang salah bayar pada lokasi Bone Kapa’, Bone Rusa’, Bone Lambe dan Pa’kamboan.

Ia lalu menambahkan, apalagi saya ini sudah sangat tua, maka kita juga sangat berharap pada rumpun Pawele di Jakarta agar sudah dapat menyepakati keluarga, untuk menjadi dapat Pemangku Adat Puang To Tumbang RI Pawele. Jadi Tongkonan yang akan didirikan kembali di Pawele, diharapkan pula sudah dapat dikerjakan kerangka kayunya.

“Karena kita selaku keturunan Tongkonan Pawele memiliki warisan tanah adat yang cukup luas, maka sangat perlu Pemangku Adat yang kuat,” harap Pelaksana Pemangku Adat Puang To Tumbang Ri Pawele mengakhiri ceriteranya tersebut. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *