Aktivis Pembela Arus Bawah Akan Segera Surati Gubernur Sulsel
LUWU, Tabloid SAR – Nampaknya sedang terjadi diskursus di tengah masyarakat, atas pelaksanaan proyek pembangunan jalan poros yang akan menghubungkan Bandara Lagaligo di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu dengan Kabupaten Toraja Utara.
Pasalnya, sebab tidak sedikit pihak yang mengatakan jika proyek jalan poros tersebut, akan dipindahkan pembangunannya melalui Desa Bukit Harapan, Kecamatan Bua. Padahal papan proyek atas pembangunan jalan ini, sudah dipasang pada jalur jalan yang melewati Pabatang, Desa Posi, Kecamatan Bua.
Adapun proyek pembangunan jalan yang menelan anggaran sebesar Rp 21,304 miliar lebih itu, saat ini sedang dimulai pelaksanaan fisiknya, sepertinya tak terlepas pula dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu.
Mungkin maksudnya agar pembangunan proyek jalan poros ini dapat dipindahkan dari perencanaan yang sudah ditetapkan melalui APBD Sulawesi Selatan (Sulsel) 2019 ini.
Jadi sudah dapat dipahami, bahwa pihak-pihak yang ingin menghendaki, supaya proyek pembangunan jalan poros ini dapat dipindahkan jalurnya ke wilayah Desa Bukit Harapan.
Mereka tentunya tak lain adalah para cukong perambah hutan yang diduga menguasai lahan perkebunan puluhan hektar secara ilegal dalam kawasan hutan di wilayah Desa Bukit Harapan tersebut.
Para cukong pemilik lahan ilegal itu, tampaknya sedang menebar isu yang sama sekali tak berdasar. Seolah menuding warga Pabatang sangat keberatan tanah dan pohon-pohon cengkehnya diambil untuk pelebaran jalan poros ini, apabila tidak diganti rugi oleh pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.
Dengan adanya isu-isu yang berkembang seperti itu, maka langsung dibantah oleh pijak warga Pabatang pada media ini, Minggu (21/7/2019), saat melakukan peliputan, guna untuk memantau langsung atas pelaksanaan proyek pembangunan jalan poros yang sudah mulai dilaksanakan oleh PT Lantoraland tersebut.
Warga Pabatang saat itu didampingi salah satu penggiat Aktivis Pembela Arus Bawah, Agustinus Liling Palallo, menyatakan justru sangat mendukung proyek pembangunan jalan poros Bua – Toraja yang melalui wilayahnya.
Warga tersebut mengaku sangat kesal dengan adanya isu-isu yang sedang berkembang dan dinilainya bersifat menyudutkan itu, bahwa menolak proyek pembangunan jalan ini, apabila tidak mendapat ganti rugi lahan dan pohon-pohon cengkeh dari pihak Pemprov Sulsel.
Hal tersebut dikemukakan oleh Markus, merupakan salah satu tokoh masyarakat Pabatang, sekaligus didaulat oleh warga setempat sebagai juru bicara. “Kami sangat kesal dengan adanya isu-isu yang sedang berkembang, bahwa kami sangat menolak proyek pembangunan jalan ini. Jelas itu sangat menyudutkan kami,” tuturnya.
Tutur Markus lagi, kami justru sangat mendukung proyek pembangunan jalan ini, sebab itu sudah impian kami dari dulu. “Sangat tidak benar kalau kami menuntut ganti rugi, bahkan kami sangat merelakan tanah dan pohon-pohon cengkeh kami diambil untuk pelebaran atas proyek pembangunan jalan ini,” ucapnya dengan nada kesal.
Ia lanjut menekankan, bahwa seluas apapun tanah dan sebanyak apapun barisan pohon cengkeh, jika sudah menjadi kebutuhan pemerintah untuk kepentingan proyek pembangunan jalan ini, maka semua itu kam merelakan tanpa meminta ganti rugi sedikit pun.

Lalu Markus menegaskan, kami janganlah disudutkan dengan isu-isu yang sangat tidak benar seperti itu. “Kami siap membuat pernyataan untuk menyerahkan tanah dan tanaman cengkeh kami secara cuma-cuma pada pemerintah, demi lancarnya pelakasanaan proyek pembangunan jalan ini,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Aktivis Pembela Arus Bawah, Rahmat K Foxchy, pada kesempatan itu juga melihat langusung pelaksanaan proyek pembangunan jalan ruas Bua-Batas Kabupaten Toraja Utara.
Aktivis LSM yang dikenal vokal ini, mengaku sangat mengapresiasi kepemimpinan Gubernur Sulsel, HM Nurdin Abdullah, atas direalisasikannya proyek pembangunan jalan poros Bua – Toraja tersebut.
“Ya, kita dari kalangan aktivis LSM sangat mengapresiasi kepemimpinan Pak Gubernur Nurdin Abudullah atas dibangunnya jalan poros ini. Tentunya ini merupakan sebuah kado spesial, khususnya bagi masyarakat Bastem sebab sudah akan keluar dari keterisolasian,” paparnya.
Aktivis kelahiran Bastem itu, lalu menyampaikan akan menyikapi diskursus yang sedang terjadi, terkait atas isu-isu pemindahan proyek pembangunan jalan tersebut, untuk segera menyurati Gubernur Sulsel.
“Tentunya, kita dari kalangan aktivis LSM akan segara surati Pak Gubernur dan Kadis Bina Marga dan Bina Konstruksi, agar jalur proyek jalan ini tidak dipindahkan sesuai perencanaannya,” tutur aktivis yang akrab disapa Bang Ories tersebut.
Menurutnya, jika benar proyek jalan ini akan dipindahkan jalurnya untuk melalui wilayah Desa Bukit Harapan, maka itu justru akan menimbulkan masalah baru, bahkan bisa berujung pada persoalan hukum.
Alasannya, sebab wilayah Desa Bukit Harapan itu adalah kawasan hutan yang sebagian sudah diplot ke dalam program Hutan Desa. “Kendati sudah diplot ke dalam program Hutan Desa, namun harus pula terlebih dahulu menyiapkan dokumen Amdalnya dan mendapat izin dari pihak Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” ujar Ories.
Apalagi pihak LSMnya, merupakan pendamping pada program Hutan Desa di Desa Bukit Harapan. “Kita sebagai LSM Pendamping program Hutan Desa setempat tentunya senang dengan adanya jalan yang akan dibangun di desa ini, tapi itukan juga harus melalui prosedur yang bersifat legal agar timbulkan dampak hukum,” bebernya.
Sekalipun proyek ini adalah proyek pemerintah, sambung Bang Ories, bukan berarti harus serta merta menabrak rambu-rambu hukum yang sifatnya bertentangan dengan perundang-undangan dan regulasi yang berlaku.
“Jadi apapun bentuk proyek pembangunan, terlebih lagi bila melalui kawasan hutan, sekalipun itu milik pemerintah, maka tidak ada alasan untuk tidak menyiapkan dokumen Amdalnya dan izin dari pihak Kementrian LHK,” terangnya.
Tuturnya lebih lanjut, namun jika melalui jalur Pabatang, menurut hemat kami selaku aktivis LSM, bahwa sudah tidak perlu lagi dibutuhkan dokumen Amdal dan izin dari pihak Kementrian LHK, sebab jalur jalan ini tinggal ditingkatkan kapasitas dan statusnya.
Dikemukakan pula oleh Bang Ories, sebab di mana jalur jalan melalui Pabatang itu, sudah seringkali mendapat alokasi anggaran pemerintah. Tapi tidak pernah ada yang mempermasalahkan dokumen Amdal dan perizinannya dari Kementian LHK. Itu berarti sudah clear dari prosoalan hukum,” ujarnya.
Aktivis inipun menyampaikan, bahwa LSMnya juga akan senantiasa mengawasi pihak rekanan PT Lantoraland selama dalam melaksanakan kontrak kerja terhadap proyek jalan tersebut.
“Hal itu sangat penting diawasi sebagai bentuk partisipasi dari komponen masyarakat sipil, supaya pengerjaan proyek ini nantinya tidak berpotensi menimbulkan kerugian negara,” kunci salah satu penggiat anti korupsi ini. (Redaksi)