Puang Sumbu Pangku Sembang Kada ri Kanna Hingga Akhir hayatnya
LUWU, Tabloid SAR – “…Basse Sangtempe ditampa pandanan sang waian disanga basse sang rodoan tinting sang tirimbakan pajo-pajo, mesa kada di patuo pantan kada di pumate. Dito’kon pitu kapuangan to kasalle na sapa Basse Sangtempe. Sitarru’na kada tibasse ri dewata….” Begitulah kira-kira sekelumit kutipan atas bunyi Sumpah Basse Sangtempe, saat dideklerasikan untuk kesekian kalinya pada era peradaban purba tersebut.
Mungkin artinya kiasannya berikut : “Bersumpah untuk bersatu demi menyatakan sebuah janji (ikrar) satu komando semua bergerak, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Maka dikukuhkan tujuh kerajaan (kapuangan –red) besar yang dilindungi sebuah sumpah persatuan. Dengan menyandarkan ikrar ini pada Tuhan Yang Maha Esa….”.
Pasalnya, bahwa ikrar yang terkandung dalam Sumpah Basse Sangtempe tersebut, mengandung bahasa sastra yang sangat sakral dan begitu sukar diartikan secara leterlek (Letterlijk), sebab begitu sarat bermuatan bahasa kiasan yang sifatnya berdimensi mistis.
Hal tersebut, maka boleh jadi “Sumpah Basse Sangtempe” ini, justru menjadi sumber inspirasi bagi Gajah Mada, ketika mengikrarkan “Sumpah Palapa” ketika membangun kekuatan Kerajaan Majapahit.
Alasannya, karena jauh sebelumnya, bahwa Sumpah Basse Sangtempe ini, disebut-sebut pernah dideklerasikan untuk menjadi dasar terbentuknya tujuh kapuangan (kerajaan –red), yakni Kapuangan ri Sinaji, Kapuangan Ri Biduk, Kapuangan Ri Singki, Kapuangan Ri La’kak, Kapuangan Ri Tangdu, Kapuangan ri A’dok dan Kapuangan Ri Tede, menurut era kekuasaannya masing-masing.
Adapun ke tujuh kapuangan tersebut, konon pula menjadi pilar kekuatan terhadap sebuah kedigdayaan peradaban maritim mitos Payung ri Luwu, dalam sejarah dunia menyebutnya dengan istilah peradaban maritim Bugis Purba yang ditengarai telah mengelilingi dunia dari tahun 10.000 SM – 8.000 SM.
Hanya saja ke tujuh kapuangan tersebut, mengalami keruntuhan dalam legenda rakyat disebut dengan istilah “lonta mi lino”, akibat terjadinya peristiwa saling memperebutkan kekuasaan, sebagaimana dimaksud dalam legenda Bugis yang disebut dengan istilah “Sinadre Baleni Tau-e”.
Era Restorasi Sumpah Basse Sangtempe
Menurut cerita rakyat, bahwa diperkirakan 200 tahun lamanya, setelah runtuhnya ketujuh kapuangan tersebut. Hal ini ditandai atas terbunuhnya penguasa adat Kapuangan Tori A’dok, Puang Siman Kilo oleh salah satu Datu Luwu di Kamanre.
Peristiwa ini, sekaligus mengakhiri era mitos kedinastian tujuh kapuangan besar, menurut prespektif mitologi Basse Sangtempe.
Lalu muncul Puang Rante Lino untuk kembali mengikrarkan Sumpah Basse Sangtempe, ketika membentuk peradaban baru yang disebut Kapuangan Sanggalangi’.
Hal ini, tentunya tak lain untuk merestorasi, dengan kata lain memulihkan atau mengembalikan pranata-pranata kekuasaan adat di bawah panji-panji keagungan ikrar yang disebut Sumpah Basse Sangtempe tersebut.
Adanya pembentukan Kapuangan Sanggalangi’ ini, menurut fungsinya sebagai pilar penyanggah terhadap kedaulatan peradaban maritim Pajung ri Luwu.
Maksudnya, sebagai simbol pertahanan dan keamanan terhadap kedigdayaan imperium peradaban maritim Kerajaan Luwu Kuno.
Terbentuknya Banua A’pak Tongkonan Anan Pulona
Konon dilakukan oleh rezim terahir dalam kedinastian Kapuangan Sanggalangi’. Dalam cerita rakyat, akhirnya secara turun-temurun pula melekat bernama Puang Sanggalangi’.
Saat pembentukan wilayah tatanan adat ini, maka Sumpah Basse Sangtempe kembali direstorasi untuk diikrarkan menurut kondisi peradaban pada zamannya, dengan hanya tinggal meliputi wilayah tertentu, sebagaimana bunyi yang terkandung dalam sumpah tersebut, yakni :
“…..Basse Sangtempe di tampa pandanan sang waian disanga basse sang rodoan tinting sang tirimbakan pajo-pajo, mesa kada di patuo pantan kada di pumate. Umpamesa’ tondok mala’bi’ napaulunna Karonanga na paikokna padang di Patongai na pokimbutu’na Liku Pini. Nasipi buntu kapoa na bala tanete ma’dandan risarassak rara ma’rompo bulawan, Kada tibasse ri dewata….”
Boleh jadi artinya kiasannya adalah : “…..Bersumpah untuk bersatu demi menyatakan sebuah janji (ikrar) satu komando semua bergerak, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Untuk mempertahankan wilayah mulai dari batas hulu (utara –red) di Bokin wilayah Karonanga sampai di ujung (selatan –red) Liku Pini. Di apit dua kekuasaan (kerajaan) besar) yang dilindungi para patriot untuk menegakkan kemuliaan, dengan menyandarkan ungkapan pada Tuhan Yang Maha Esa…..”
Adapun wilayah tatanan adat Banua A’pak dimaksud, terdiri dari Sembang Kada ri Kanna berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan, Balimbing Kalua ri Bolu berfungsi sebagai pengelola ekonomi, Ariri Bassi ri Maindo berfungsi sebagai pertahanan keamanan, dan Issong Kalua ri Pantilang berfungsi sebagai penyedia kedaulatan pangan.
Termasuk meliputi wilayah adat Rante Balla dan Makdika Ulusalu, saat ini berada di dalam wilayah Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu.
Terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan Banua A’pak Tongkonan Anan Pulona ini, tak terlepas pula diawasi oleh sebuah dewan adat yang disebut dengan istilah “Songkok Sangpulo Dua” atau semacam dewan legislatif dalam sistem modern.
Akan tetapi kedudukan para pemangku adat atau Puang Lompo (Pemimpin Besar –red) pada Banua A’pak tersebut, masing-masing membawahi 15 To Parengnge’. Dimana kedududukan para pemangku adat lompo ini dipilih oleh suara mayoritas ke 15 To Parengnge’ pada wilayahnya masing-masing.
Begitupun halnya dalam sistem kekuasaan dalam wilayah tatanan adat Sembang Kada ri Kanna. Selaku Puang Lompo Sembang kada Pertama disebut-sebut bernama Puang Konlelangi’, lalu digantikan secara bergilir oleh beberapa To Parengnge’ yang dianggap berkompeten untuk menduduki jabatan Puang Sembang Kada ri Kanna tersebut.
Kemudian menyusul tampil Puang Parengge’ To Kasalle ri Tabuan bernama Puang Lawisa atau Puang Nek Timbajo, untuk menduduki Puang Lompo Sembang Kada ri Kanna. Bahkan Puang Nek Timbajo ini digelar pula dengan Puang Palasa Makati’na Tanduk Matata’na Basse Sangtempe.
Era Penjajahan Kolonialisme Belanda
Setelah berakhirnya rezim Puang Parengnge’ To Kasalle ri Tabuan, Puang Lawisa. Maka beberapa To Parengnge’ pun pernah tampil menjadi Pemangku Adat (Puang Lompo) Sembang Kada ri Kanna, antara lain Perengnge’ Kaneka,Puang Kandean yang kemudian digantikan oleh Puang Sumbu.
Jadi mengenai sejarah pergantian Pemangku Adat Sembang Kada ri Kanna kepada Puang Sumbu tersebut, terjadi pada era penjajahan kolonial Belanda atau sekitar awal-awal tahun 1940-an.
Alasannya, sebab pada zaman itu sangat dibutuhkan pemimpin masyarakat adat yang sifatnya berwawasan luas dan berjiwa patriot, sehingga Puang Sumbu yang dinilai memenuhi krateria ditinjau dari berbagai sudut pandang.
Kala itu, Puang Sumbu tidak hanya menjadi Puang Lompo Sembang Kada tapi juga menjabat sebagai kepala distrik atau semacam jabatan camat sekarang ini.
Era Kemerdekaan dan Pemberontakan DI/TII
Kemudian Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal itu membuat Datu Luwu, Andi Djemma memilih berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Repblik Indonesia (NKRI).
Lalu mendasari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan dan Tenggara, sebagai dasar pembentukan Kabupaten Luwu dan Kecamatan Basse Sangtempe (Bastem) menjadi salah satu wilayah administratifnya.
Adapun pembentukan wilayah adminstarif pemerintahan daerah tersebut, terjadi di tengah begejolaknya pemerontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Abdul Khahar Muzakkar yang berawal pada tahun 1953 dan berlangsung hampir dua dekade lamanya.
Kemudian dilakukan operasi penumpasan oleh Tentara Nasional Indonesi (TNI) pada tahun 1961-1965. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran warga Bastem ke daerah-daerah lainnya, salah satunya ke wilayah Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu.
Selaku kepala distrik dan juga sebagai pemangku adat Bastem pada zamannya, sehingga membuat Puang Sumbu memimpin pemberangkatan pertama masyarakatnya, untuk maksud menyelamatkan diri ke wilayah Kecamatan Walenrang, melalui Tana Toraja. Sedangkan yang lainnya, ada pula yang lebih memilih bereksodus ke sejumlah daerah lainnya.
Puang Sumbu terus memangku Sembang Kada ri Kanna hingga akhir hayatnya, meninggal dunia pada tahun 1962 di tempat pengungsiannya di Desa Lalong, Kecamatan Walenrang dan dikebumikan di desa itu.
Pada masa itu, masih terjadi penumpasan besar-besaran terhadap pergolakan tentara DI/TII di Sulawesi Selatan ini. Hal tersebut, sehingga kembali terjadi kevakuman penyelenggaraan kekuasaan adat di wilayah tatanan adat Bastem, termasuk di Sembang Kada ri Kanna selama beberapa dekade.
Setelah kondisi keamanan dinyatakan pulih pada awal tahun 1970-an, maka membuat sebagian besar warga Bastem lebih memilih berdomisili tetap di tempat pengungsiannya masing-masing, seperti pada sejumlah desa di wilayah Walenrang-Lamasi (Walenrang). Bahkan tidak sedikit pula yang memilih pindah ke sejumlah daerah lainnya yang lebih dianggap memberikan harapan hidup.
Mengingat beberapa tahun belakangan ini, maka berbagai pihak pun berupaya untuk merestorasi kembali tatanan kepemangkuan adat Bastem, termasuk Sembang Kada ri Kanna ini. Hanya saja terjadi klaim-mengklaim antara satu rumpun keluarga dengan rumpun keluarga yang lainnya.
Akan tetapi dari semua rumpun yang mengklaim diri sebagai pewaris Puang Sembang Kada ri Kanna tersebut. Namun tidak ada satupun yang memiliki legitimasi kuat di tengah masyarakat adat.
Pada gilirannya sebagian besar To Parengnge’ merekomendasikan Puang Henrik Sumbu untuk menjadi Puang Sembang Kada ri Kanna yang bersifat transisi.
Puang Henrik Sumbu adalah tak lain salah satu putra mendiang Puang Sumbu tersebut, lalu meninggal dunia dan juga dikebumikan pada tanggal 30 Desember 2019 di Desa Lalong, Kacamatan Walenrang.
Pengukuhan Sindo’ Christina Titien Sumbu
Menurut pantauan media ini, pada Rabu 15 Januari 2020 lalu, saat dilakukan upacara adat to’koan (pengukuhan) Sindo’ Christina Titien Sumbu sebagai Puang Sembang Kada ri Kanna, yang dilaksanakan di Tongkonan Kaparengngesan Polok Tondok, Anak Dara, Desa Kanna Utara, Kecamatan Basse Sangtempe (Bastem), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Upacara pengukuhan ini, tampak dilakukan oleh sebagian besar To Parengnge’ dan beberapa wakil Kaparengngesan dari 15 Kaparengngesan di lingkup wilayah tatanan adat itu sendiri.
Tampak pula hadir menyaksikan para perwakilan Pemangku Adat pada Banua A’pak lainnya dan para tetua adat atau para Anak To Patalo dari sejumlah Kaparengngesan.
Sedangkan prosesi upacara adat to’koan tersebut dipandu oleh Ketua Dewan Adat Toraja, Pong Barumbun sapaan akrab Tilang Sarira. Sekaligus hadir untuk mewakili pemangku adat Issong Kalua ri Pantilang.
Untuk diketahui, bahwa pengukuhan Sindo’ Christina Titien Sumbu sebagai Puang Sembang Kada ri Kanna. Untuk mengantikan kakak kandungnya sendiri bernama, Puang Henrik Sumbu yang telah meninggal dunia dan dikebumikan pada penghujung tahun 2019 lalu.
Kesimpulan
Apabila merefleksi atas sekelumit tinjauan tentang perpektif kekusaan adat Banua A’pak Tongkonan Anan Pulona, ternyata pranata-pranata penyelenggaraan adat Basse Sangtempe pada masa lampau, sudah menerapkan sistem pemilihan demokarsi. Hanya saja yang dianut adalah sistem pemilihan demokrasi aristokrat.
Sampai dikatakan menerapkan sistem kekuasaan demokrasi aristokrat, karena yang memilih para pemangku adat Banua A’pak adalah para To Parengnge’. Sedangkan To Parengnge’ dipilih oleh para bangsawan atau tetua adat yang disebut dengan istilah Anak To Patalo.
Hal mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan seperti ini, pernah pula dianut dalam sistem pemerintahan pada era Kekaisaran Yunani Kuno, untuk menggantikan sistem kekuasaan monarki yang anggap bersifat obsulitesme tersebut.
Jadi tatanan penyelenggaraan adat yang ditegakkan melalui Sumpah Basse Sangtempe ini, dalam sistem kekuasaan Banua A’pak Tongkonan Anan Pulona itu. Pada dasarnya tidak menganut sistem monarki, akan tapi justru menganut prinsip-prinsip demokrasi aristokrat.
Hal tersebut, sudah dapat dilihat dari susunan kepemangkuan pada wilayah tatanan adat Banua A’pak ini. Seperti contohnya di Sembang Kada ri Kanna, maka pengelenggaraan kekuasaannya, sama sekali tidak menganut sistem monarki. (Liputan SEN)