Oleh: William Marthom
Diskusi dengan Para Aktivis Gerakan Rakyat di Kota Makassar
PAGI buta saat penulis bangun tidur langsung beranjak dari dipan tempat baring, lalu menuju ke kamar mandi dan membilas muka dengan air di kran wastafel.
Hal itu membuat perasaan penulis langsung terasa segar bugar, setelah beristirahat semalam suntuk. Karena faktor lelah akibat diskusi hampir seharian bersama sejumlah aktivis dari berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat di Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Selasa 30 Mei 2023.
Topik diskusi saat itu sangat menarik dan berlangsung alot karena membahas masalah pro dan kontra aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara (Lutra), Sulsel.
*****
Mengapa ada pro dan kontra? Yaa wajar saja, namanya diskusi yang sehat ngak boleh monoton bagi kalangan aktivis. Ini mengenai tradisi diskusi para aktivis yang selalu melihat suatu masalah dari berbagai macam sudut pandang.
Meski pada akhirnya akan mengerucut pada sebuah kesimpulan yang hampir 100 persen disepakati para peserta diskusi sebagai bahagian dari proses dialektika dan dapat disebut sebagai solusi dari problematika tentang topik bahasan dalam sebuah diskusi.
Apa lagi yang namanya PETI, sebuah proses untuk mendapatkan mineral logam emas bernilai tinggi di pasaran legal maupun ilegal.
Karena manusia pada dasarnya adalah mahluk yang cenderung berperilaku serakah ketika berebut rejeki untuk memperkaya diri maupun membiayai keluarga dalam upaya memenuhi kebutuhan berdasarkan keinginan.
Fakta demikian, meski bukan menjadi ciri khas yang mutlak bagi umat manusia dalam bertahan hidup, namun tak jarang realitas seperti ini, sering kali dijumpai dalam perjalanan hidup kita.
Kisah tentang situasi dan kondisi dalam diskusi yang berlangsung hari itu, sangat dinamis dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tapi itulah realitas dalam dunia para pejuang rakyat yang tak kenal pambri, walau beda pendapat namun tujuan mereka selalu sama-sama berpihak pada kepentingan rakyat demi terwujudnya kesejateraan rakyat untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*****
Kenapa demikian? Karena peserta diskusi ada yang galau atau bimbang bahkan gamang dalam meneriakkan kritik soal penegakan hukum terhadap para pelaku PETI di Rampi.
Menurut kawan tersebut, jika kritik dan desakan terhadap para pelaku PETI di Rampi terus digalakkan secara massif, maka konsekuensinya apa bila hal itu direspons secara positif oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini jajaran kepolisian pada tingkat Polres Lutra maupun Polda Sulsel, serta jajaran Mabes Polri,
Hal tersebut, maka akan ada masyarakat adat Rampi atau warga lokal yang akan terjerat masalah hukum karena ikut melakukan penambangan emas secara ilegal di Rampi.
Namun pemikiran demikian, kemudian dapat dinetralisir atau bisa memahami konsekuensi hukumnya jika penegakan hukum masih dapat berdiri tegak lurus dalam menangani masalah PETI di Rampi.
Sebab dalam penanganan masalah kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti kasus PETI di Rampi, harus dijalankan tanpa pandang bulu.
Oleh karena hukum harus ditegakkan seadil-adilnya dan tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah, maupun tajam kelawan dan tumpul kekawan, jika ingin mewujudkan penegakan supremasi hukum dan menghadirkan rasa adil di tengah-tengah masyarakat yang hidup di negara hukum.
Kegalauan demikian bukan tanpa alasan. Karena para mafia PETI dalam menjalankan aktivitas ilegal miningnya, selalu menggunakan masyarakat lokal atau warga setempat.
Solanya, masyarakat lokal tersebut hanya dijadikan sebagai tameng maupun perisai untuk berlindung dari jeratan hukum, jika APH berniat menegakkan hukum.
Sebab sudah sangat jelas ketentuan tindak pidana terhadap kasus PETI adalag berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU RI No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagaimana diatur dalam Pasal 158 junto Pasal 161.
Selain itu maka terjadi juga pelanggaran terhadap UU RI No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, yang dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat 1 junto Pasal 17 Ayat 1 subsidair Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Selalu Peralat Warga Lokal Sebagai Tameng untuk Menghindari Jeratan Hukum
Sama halnya di Rampi, para pemodal atau cukong PETI adalah sangat terkesan memperalat warga lokal sebagai tameng untuk menghindari jeratan hukum.
Apa lagi wilayah tersebut sangat terisolir dan paling terpencil di Lutra, bahkan paling terluar di Sulsel ini. Dengan kehidupan masyarakatnya yang sangat tertinggal. Hal tersebut, karena faktor minimnya perhatian pemerintah dalam membangun infrastruktur jalan demi membuka keterisolasian daerah tersebut.
Jadi kondisi geografis yang sangat terisilir seperti itu, menjadi salah satu kelemahan warga setempat dalam memberdayakan kehidupan ekonominya. Sehingga mereka dengan mudah diiming-imingi penghasilan yang fantastis, jika bekerjasama dengan para penjarah emas secara ilegal. Tanpa memikirkan resiko hukum dan pencemaran lingkungan serta kelestarian alam di sekitar lokasi tambang itu.
*****
Jadi dengan kondisi masyarakat Rampi yang sangat terisolir tersebut, karena akibat jalan raya sebagai akses moda transportasi darat yang sangat buruk. Lantaran tidak mendapat perhatian serius dari Pemkab Lutra maupun Pemprov Sulsel, terlebih lagi pemerintah pusat.
Hal itulah, menyebabkan masyarakat adat Rampi, hanya bisa mengandalkan hasil dari sektor pertanian dan peternakan sebagai sumber pendapatan utama, hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Jadi atas kehadiran para mafia PETI untuk mengeksplotasi kekayaan alam Tana Rampi (Woi Rampi -red), sehingga mendapat sambutan hangat dari segelintir warga setempat, dengan harapan dapat hidup layak di balik aktivitas pertambaan emas ilegal yang begitu sarat dengan resiko tersebut.
Pasalnya, bahwa kehadiran para pemodal atau cukong penambang emas ilegal di Rampi, dengan segala peralatan moderennya berupa alat berat excavator serta mobil truck, bisa menghadirkan lapangan kerja baru bagi warga Rampi. Termasuk menjadi sumber mata pencaharian yang lebih menjanjikan hasilnya, ketimbang bertani dan beternak.
Karena dengan peralatan moderen itu, para penambang emas ilegal dapat menghasilkan lebih banyak emas dalam waktu singkat. Apa lagi dengan menggunakan zat kimia seperti Sianida (CN), Mercuri (Hg) dan Kapur Tohor (CaO) untuk mengolah material batuan yang mengandung logam emas menjadi emas murni, semua proses pencarian emas menjadi lebih gampang.
*****
Hal demikian, tentu saja menjadi pilihan baru bagi masyarakat adat Rampi dalam berburu emas karena segalanya menjadi lebih muda untuk mendapatkan hasil yang cukup menggiurkan.
Apa lagi pada masa lampau, masyarakat adat Rampi sudah secara turun temurun berburu reski dengan mendulang emas secara manual, tanpa menggunakan zat kimia yang berbahaya terhadap lingkungan dan mahluk hidup di sekitarnya, termasuk bagi masyarakat setempat.
Tidak berkembangnya kehidupan perekonomian masyarakat adat Rampi tersebut. Akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam mengakselerasi pembangunan infrastuktur jalan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal setempat .
Pada gilirannya membuat sebagian kecil warga di daerah pedalaman itu tidak punya pilihan lain. Untuk menghasilkan uang agar kesejateraan yang mereka impikan dapat terwujud. Sehingga bersedia untuk dijadikan sebagai tameng para cukong pelaku PETI.
Meskipun tidak semua warga setempat yang ikut menambang emas secara ilegal di tanah ulayat mereka. Sadar dan tahu akan pelanggaran hukum dalam upaya mencari nafka dengan cara menambang emas tanpa izin.
Namun mereka tidak punya pilihan lain, sehingga diiming-imingi para mafia tambang, demi memenuhi kebutuhan hidup yang lebih layak, termasuk untuk biayai pendidikan anak cucu mereka.
Para Pelaku PETI di Rampi Harus Tetap Diproses secara Hukum
Apabila ditinjau dari sudut pandang aspek hukum, bahwa sesulit apapun kondisi kehiduoan masyarakat adat Rampi, Maka kehadiran PETI itupun masih tidak akan signifikan mensejahterahkan hidup masyarakat lokal setempat. Sebab yang memperoleh keuantungan hanya para cukongnya saja. Maka para pelaku PETI di Rampi tersebut harus tetap diproses secara hukum.
Jadi para pelaku PETI tersebut sangat ada alasan untuk tidak menyeret secara hukum. agar tidak berdampak buruk dan menjadi malapetaka di kemudian hari karena kerusakan alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan para pelaku ilegal mining tersebut.
*****
Namun sayangnya pihak APH dalam hal ini pihak kepolisian, justru sangat terkesan tutup mata. Bahkan pura-pura tuli dan membisu melihat pelanggaran hukum yang dilakukan para pelaku PETI di Rampi ini.
Kendati praktek ilegal mining tersebut, acap kali disoroti berbagai pihak. Termasuk disorot oleh para pegiat dari kalangan LSM/NGO, aktivis mahasiswa bersama aktivis gerakan rakyat dan pemerhati lingkungan, tak terkecuali oleh sejumlah tokoh masyarakat adat Rampi yang tidak mau kompromi dengan mafia PETI.
Akan tetapi kritik itu pun, berlalu begitu saja dan tidak dapat membuat pihak kepolisian untuk mengambil tindakan hukum terhadap para pelaku tambang emas ilegal itu.
Adanya sikap pihak jajaran kepolisian yang sangat terkesan melakukan pembiaran terhadap para pelaku PETI di Rampi itu.
Sehingga membuat mahasiswa asal Kecamatan Rampi yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Rampi (IPMR), membangun kekuatan dengan mengajak sejumlah organisasi mahasiswa dan lembaga perjuangan rakyat di Kota Palopo.
Mereka pun lalu membentuk wadah perjuangan yang sebut Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (AMARA) Rampi, yang dikoordinir oleh Ramon Dasinga, selaku Ketua Umum PB IPMR masa bakti 2020 – 2022.
Kemudian Koordinator AMARA Rampi ini menjalin diskusi dengan para aktivis di Kantor Bersama Konfederasi Serikat Nusantara (KABAR KSN) di Makassar pada Selasa 30 Mei 2023. Untuk memperkuat pergerakannya demi melawan para pelaku PETI di Rampi tersebut.
Sebelumnya, tepatnya pada tanggal 18 April 2023, para aktivis AMARA Rampi menggelar aksi unjuk rasa di Mapolres Lutra. Aksi unjuk raya yang digelar di Mapolres Lutra kala itu, didukung pula oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Seko (IPMS), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD).
Melalui aksi unjuk rasa di Mapolres Lutra tersebut, aktivis AMARA Rampi saat itu megajukan lima poin tuntutan dalam aksi ini, yakni :
- Hentikan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel.
- Mendesak Kasat Reskrim Polres Lutra untuk segera menghentikan dan menangkap, serta memproses hukum para pelaku PETI di Kecamatan Rampi.
- Copot Kapospol Rampi.
- Mendesak Kapolres Lutra untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya karena gagal menegakkan supremasi hukum, khususnya membasmi mafia PETI di Kabupaten Lutra.
- Jika dalam tempo 7 x 24 jam jajaran Polres Lutra tidak menindak lanjuti tuntutan aksi ini, maka kami akan menggelar aksi besar-besaran di Mapolres Lutra dan Mapolda Sulsel.
*****
Akan tetapi pasca aksi di Mapolres Lutra tersebut, pihak jajaran Polres Lutra sama sekali tidak mengindahkan tuntutan AMARA Rampi.
Namun Kapolres Lutra AKBP Galih Indragiri, baru mengerahkan anak buahnya menuju lokasi PETI di Rampi pada Kamis 4 Mei 2023, setelah ada penambang emas ilegal yang mengalami kecelakaan kerja di lokasi tambang ilegal itu, pada Rabu 3 Mei 2023 malam sekitar pukul 23.00 WITA.
Kecelakaan kerja tersebut, diketahui menelan dua korban yang tertimbun runtuhan material tambang. Satu orang meninggal dunia di tempat kejadian perkara, dan satu rekannya berhasil diselamatkan meski harus mendapat perwatan intensif selama berhari-hari di sebuah rumah sakit yang berada di Masamba Ibukota Kabupaten Lutra.
Naifnya hingga awal bulan Mei, jajaran Polres Lutra belum juga menetapkan seorang tersangka dalam kasus PETI di Rampi, meski telah menelan korban jiwa.
Hal itulah, sehingga membuat AMARA Rampi semakin geram dan menggelar aksi unjuk rasa di Mapolda Sulsel, dengan melibatkan sejumlah aktivis dari berbagai organisasi yang ada di Kota Makassar pada Senin 8 Mei 2023.
Melalui aksi yang melibatkan aktivis Konfederasi Serikat Nusantara (KSN) Sulsel, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, JURnal Celebes, Gerakan Rakyat Merdeka (GRM) dan Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) bersama IPMR, tersebut melibatkan massa hingga ratusan orang.
Saat aksi unjuk rasa di Mapolda Sulsel, AMARA Rampi kembali mengajukan lima poin tuntutan, yakni :
- Hentikan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel.
- Mendesak jajaran Polres Lutra untuk segera menghentikan dan menangkap, serta memproses hukum para pelaku PETI di Rampi.
- Mendesak Kapolda Sulsel untuk segera mencopot Kapolres Lutra AKBP Galih Indragiri dari jabatannya karena gagal menegakkan supremasih hukum khususnya membasmi mafia PETI di Kabupaten Lutra.
- Mendesak Kabid Propam Polda Sulsel untuk segera mengusut tuntas dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam aktivitas PETI di Rampi.
- Jika dalam tempo 7 x 24 jam tuntutan kami tidak dipenuhi maka kami akan menggelar aksi besar-besaran di Mapolda Sulsel dan Mabes Polri, serta di kementrian terkait.
*****
Pasca aksi di Mapolda Sulsel, AMARA Rampi menilai progres penanganan kasus dugaan ilegal mining di Rampi, tidak juga mengalami kemajuan yang signifikan, meski sudah menelan korban jiwa.
Kendati penyidik Polres Lutra telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pelaku yang menambang emas secara ilegal di Rampi. Namun penyidik belum juga menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Bahkan sama sekali tidak dilakukan penyitaan excavator, dan mobil truk serta peralatan lainnya yang digunakan para pelaku melakukan aktivitas ilegal miningnya.
Para Cukong Mafia PETI di Rampi Diduga Dibekengi Oknum Berpengaruh di Republik Ini?
Berdasarkan fakta yang diuraikan di atas, AMARA Rampi menduga para cukong mafia PETI di Rampi dibekingi oleh orang yang cukup berpengaruh di Republik ini dan memiliki uang berlimpah.
Jadi sangat mungkin, para cukong tersebut telah menyuap oknum berpengaruh tertentu, agar aktivitas PETI-nya tetap terbebas dari jeratan hukum.
Apa lagi dalam aktivitas ilegal mining tersebut, mereka ditengarai melibatkan sejumlah oknum polisi dan oknum politisi serta serta para kekuatan tertentu yang mampu mengintervensi pihak APH, sehingga menjadi prematur dalam mengusut kasus PETI ini menyebabkan tidak ada satu pelakunya yang dijerat secara hukum.
Mengenai adanya sinyalemen keterlibatan sejumlah oknum polisi dan oknum politisi pada kasus PETI di Rampi ini, sudah pula menjadi topik-topik pemberitaan media-media online.
*****
Melihat carut-marudnya proses hukum dalam penanganan kasus PETI tersebut. Pada Senin 15 Mei 2023 AMARA Rampi lalu bersurat ke Pimpinan Komisi D DRPD Sulsel.
Inti dalam materi surat AMARA Rampi tersebut, untuk menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi D DPRD Sulsel, dengan melibatkan semua pihak terkait. Alhasil permohonan RDP yang diajukan AMARA Rampi direspon secara positif oleh Pimpinan Komisi D dan Pimpinan DPRD Sulsel.
Maka pada Jumat 19 Mei 2023, RDP yang membahas masalah PETI di Rampi berlangsung di ruang rapat Komisi D DPRD Sulsel dengan melibatkan semua unsur terkait, baik dari jajaran Pemprov Sulsel maupun jajaran kementrian dari Inspektur Tambang dan Gakkum LHK, hingga aparat kepolisan dari jajaran Polda Sulsel.
Kendati RDP tersebut berlangsung alot, namun semua pihak yang hadir dalam forum itu, sepakat untuk menyamakan persepsi. Para peserta sepakat, bahwa aktivitas PETI di Rampi adalah sebuah pelanggaran hukum yang harus ditindak secara hukum oleh pihak terkait dalam hal ini jajaran kepolisian.
Peserta RDP juga bersepakat untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT Kalla Arebamma dan IUP OP PT Citra Palu Mineral yang memiliki wilayah konsesi di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel. Sebab kedua perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas itu, sudah lama mengantongi IUP namun tidak melakukan aktivitas produksi emas di wilayah konsesinya.
Selain itu, peserta RDP juga sependapat bahwa selama ini pemerintah baik pada tingkat Pemkab Lutra, Pemprov Sulsel maupun Pemerintah Pusat, masih kurang memperhatikan pembangunan infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya, untuk masyarakat Kecamatan Rampi.
Sehingga dengan segala keterbatasan itu, maka salah satu solusi terbaik untuk masyarakat adat Rampi. Mereka harus dilegalisasi dalam mengelolah sumber daya alam (SDA) di tanah ulayatnya.
Proses legalisasi pengelolaan SDA berupa logam emas di Rampi untuk masyarakat adat Rampi, akan diawali dengan pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral.
Kemudian diupayakan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kecamatan Rampi, lalu menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) agar masyarakat adat Rampi dapat melakukan aktivitas pertambangan emas secara legal di tanah leluhur mereka.
Polisi di Pihak Mana?
Namun di sisi lain, sebagian kecil masyarakat adat Rampi yang terlibat aktivitas PETI di Desa Onondowa Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, sepertinya ketakutan akan diproses hukum .
Alasannya, karena selama ini, mereka juga ikut menambang secara ilegal di tanah ulayatnya. Mereka tidak mau disebut melanggar hukum, apa lagi mencuri emas karena menambang secara ilegal di tanah leluhurnya.
Sementara di lain pihak, AMARA Rampi yang diinisiasi oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Rampi (IPMR), mendesak agar para pelaku PETI di Rampi harus segera diproses hukum karena telah melanggar aturan perundang-undangan dan merusak, serta mencemari lingkungan.
*****
Memperhatikan atas terjadinya fenomena baruseperti ini, akibatnya menuai gelombang pro dan kontra terhadap masalah aktivitas PETI di Rampi menjadi tidak terhindarkan.
Hal itulah, sehingga pada Selasa 23 Mei 2023 Lembaga Adat Desa Onondowa yang merupakan bahagian dari masyarakat adat Rampi, menggelar aksi unjuk rasa menuntut agar AMARA Rampi dibubarkan.
Meski pada sisi lainnya aksi yang digelar di Desa Onondowa, Kecamatan Rampitersebut, terdapat juga yang mengajukan tuntutan yang justru sangat mendukung aksi para akitivis AMARA Rampi, dengan tak terlepas pula mendesak pencabutan terhadap IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral tersebut.
Bahwa menurut hemat penulis, maka aksi pro dan kontra mengenai PETI di Rampi dapat dihindarkan jika aparat kepolisian yang berwenang segara memproses hukum para pelaku ilegal mining di Rampi ini.
Namun sepertinya, pihak aparat kepolisian sangat tidak mampu menjalankan tugasnya dalam menegakkan supremasi hukum secara mandiri. Mestinya kasus PETI ini tidak ada alasan untuk tidak diproses secara hukum, tanpa harus mendapat tekanan dari pihak kekuatan dalam bentuk apapun.
Hingga saat ini, tampaknya sikap jajaran Polres Lutra yang terkesan melakukan pembiaran dalam kasus ini, malah berpotensi melahirkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat adat Rampi.
Kendati demikian, maka AMARA Rampi tidak akan tinggal diam, jika para pelaku PETI di Rampi belum juga diproses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Jika sikap pro kontra di tengah masyarakat adat Rampi ini berlangsung lama. Selain akan rentan berbuntut pada perpecahan, maka juga berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat di Kecamatan Rampi, bahkan bisa menjalar kesejumlah daerah lainnya.
Nah, dalam melihat dinamika lahirnya sikap pro kontra terkait masalah PETI di Rampi saat ini. Sehingga di benak penulis terbesit pertanyaan fundamental, “jadi polisi di pihak mana?” atau kah “konflik ini sengaja didesain untuk mengalihkan issu maupun memecah belah masyarakat adat Rampi, agar muda di susupi dan setelah kekuatan mereka dipecah menjadi dua kekuatan yang saling berkontradiksi sebagai mana ciri khas mafia PETI dalam melancarkan eksploitasi kekayaan alam pada sejumlah daerah di Indonesia?”
Saran dan Solusi
Terkait upaya untuk melegalkan aktivitas pertambangan emas bagi masyarakat adat Rampi. Menurut penulis, jadi hal itu dapat diwujudkan secepatnya dengan beberapa varian dan tahapan, yakni:
Pertama – Bupati Lutra Indah Putri Indriana agar segera mengusulkan permohonan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di wilayah Kecamatan Rampi yang memiliki kandungan emas di luar wilayah IUP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral.
Kedua – Bupati Lutra Indah Putri Indriani harus segera mendesak pihak PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral, untuk menciutkan wilayah konsesinya di Kecamatan Rampi agar wilayah yang dilepas itu, dapat ditetapkan sebagai WPR.
Ketiga – Bupati Lutra Indah Putri Indriani sangat diharapkan untuk segera menggalang kekuatan masyarakat Lutra, khususnya masyarakat adat Rampi dan kekuatan politik, untuk berjuang bersama guna mendesak pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral.
Keempat – Jika pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral berhasil dilakukan, maka wilayah konsesi kedua perusahaan tambang tersebut, segera ditetapkan sebagai WPR agar masyarakat adat Rampi bisa mengajukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) supaya bisa menambang emas di tanah ulayat mereka secara legal dan tidak melanggar hukum.
Kelima – Pemda Lutra dan semua pihak terkait harus menutup ruang bagi mafia PETI yang hendak mengeksploitasi SDA di Rampi. Karena negara tidak boleh kalah dengan mafia.
Keenam – Proses usulan WPR dan IPR harus dipercepat agar masyarakat adat Rampi dapat mengelolah SDA di wilayah adatnya demi mewujudkan kesejateraan dan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Akhir kata, penulis memohon maaf jika tulisan ini menyinggung perasaan pembaca dan terkesan menggurui. Semoga bermanfaat. Wassalam. (*)
*) Penulis adalah aktivis Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) yang terlibat aktif dalam perjuangan AMARA Rampi melawan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel.