Tabloid SAR – Berbagai langkah yang telah dilakukan pemerintahan komunis China untuk memberangus kebebasan bergama secara terstuktural, sistimatis dan massif. Seperti begitu tampak dialami pemeluk agama Islam saat ini, khususnya Umat Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
Sebagaimana dikutip Tabloid SAR dari berbagai pemberitaan melalui jaringan media global, bahwa ada upaya pemerintahan komunis China dalam melakukan dugaan praktik-praktik genosida (pemunahan suku) terhadap Umat Muslim Uighur.

Bahkan suku-suku minoritas lainnya yang juga diketahui menganut agama Kristen, pun tak terlepas pula mendapat ancaman dalam bentuk berbagai tekanan untuk menjalankan ibadahnya.
Jadi kebebasan beragama di negeri Tirai Bambu ini, sepertinya hanya merupakan sebuah kemustahilan, seiring dengan diluncurkannya program One Belt One Road (Obor) oleh Presiden China, Xi Jinping, dengan kata lain jalur sutra sabuk ekonomi poros China.
Sebab sangat mungkin program Obor ini, merupakan suatu bentuk propaganda idiologi komunisme China, untuk menguatkan kepentingan politiknya terhadap penguasaan ekonomi global.
Sudah barang tentu, untuk maksud tidak hanya berupaya untuk mendominasi kekuataan ekonomi kapitalisme barat. Akan tetapi juga bagaimana seharusnya dapat mendikte setiap potensi ekonomi di Negara-negara Islam pada umumnya.
Pasalnya pemerintahan China menganut propaganda kebijakan satu warna di bawah semangat idiologi komunisme. Akibatnya kebebasan beragama dianggap sangat berpotensi untuk menimbulkan banyak friksi, sebab setiap agama memiliki dogma untuk ditanamkan pada pemeluknya masing-masing.
Hal inilah sehingga kebebasan beragama dinilai sangat menghambat program Obor dalam upaya untuk membentangkan jalur sutra sabuk ekonomi poros China dalam mewujudkan sebuah kekuatan baru ekonomi global.
Terlepas adanya gaya politik etis yang diterapkan oleh pemerintah China dalam memberikan kebebasan beribadah terhadap Umat Islam pada wilayahnya yang lain.
Itu karena negara beridiologi komunisme ini telah menerapkan sistem investasi terbuka dan bersifat terbatas. Khususnya untuk menghormati besarnya arus masuk investasi penanaman modal dari Negara Arab Saudi.
Sementara itu, maka adapun propaganda idiologi komunisme paling nyata dan sedang geencar dilakukan oleh pemerintahan China, yakni mulai mengungkung kebebasan beragama.
Namun paling tragisnya lagi di sini, mengenai terjadinya dugaan praktik-praktik genosida terhadap Umat Muslim Uighur, paling nyata melalui langkah penidasan dengan cara-cara pendekatan militerisme.
Selain itu, pemerintah China disebut-sebut juga mulai menggencarkan program kawin campur untuk mengerus eksistensi suku minoritas Uighur, sebagai upaya untuk mengurangi populasi etnis suku minoritas tersebut, sekaligus untuk menekan keberadaan budaya Islam di negara beridiologi komunisme itu.
Untuk melihat bahwa seperti apa sesungguhnya pemerintahan komunis China dalam menyikapi perayaan Idul Fitri 1440 H/2019 M ini?
Melalui pemberitaan jaringan media global CNN yang dikutip Tabloid SAR, telah menggambarkan tentang suasana akhir Ramadhan dalam merayakan Idul Fitri bagi masyarakat Muslim di Kota Hotan, Provinsi Xinjiang, China dan suku minoritas lainnya.
Dimana perayaan Idul Fitri di kota ini tak semeriah saudara seiman mereka yang lain di berbagai belahan dunia. Sebab kali ini sedang di bawah tekanan militer China, terlebih lagi puluhan masjid telah dihancurkan.
Jadi itulah potret yang tampak pada setiap sudut Kota Hotan tersebut, karena masjid-masjid kini berubah menjadi tumpukan puing-puing bangunan. Salah satunya adalah lokasi Masjid Heyitkah, sebelumnya dirobohkan dan akhirnya tinggal menjadi puing-puing di tempatnya pernah masjid itu berdiri.
Di sudut lain di kota ini, terdapat slogan “Didik Rakyat untuk Partai” terpasang dengan warna merah menyala di dinding sebuah sekolah dasar. Para murid pun haru memindai wajah mereka sebelum masuk gerbang yang dililit kawat berduri.
Masyarakat mengenang Masjid Heyitkah sebagai bangunan yang indah. “Banyak orang dulu [salat] di sana,” kata seorang penduduk Kota Hotan.
Sejumlah gambar satelit dan analisis visual oleh Earthrise Alliance kepada AFP menunjukkan ada 36 masjid dan bangunan keagamaan lainnya yang diruntuhkan atau dihapus oleh pemerintah setempat sejak 2017.
Sedangkan pada masjid yang masih berdiri, para jemaat harus melewati metal detector untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Yang Maha Kuasa, atau sekadar menjalankan keyakinan mereka.
“Situasi di sini amat ketat, membuat saya deg-degan,” kata seorang Muslim yang meminta disamarkan demi alasan keamanan. “Saya tidak pergi ke masjid lagi. Saya takut,” ucapnya.
Di tempat lain, kota kuno Kashgar yang dulu terkenal sebagai bagian dari Jalur Sutra di masa lampau, tak ada lagi panggilan azan Subuh. Padahal, azan yang bergema di seluruh penjuru kota pernah menjadi kebanggaan dan sempat pula dipamerkan kepada wisatawan.
Masyarakat Muslim setempat merayakan Idul Fitri pada Rabu (05/06/2019) lalu dengan sangat sunyi. Sebagian dari mereka berjalan menuju Masjid Idkah untuk melaksanakan salat sunah Id dalam suasana diam dan sangat mencekam.
Tak ada pula gema takbir dan tahlil yang biasa didengar umat sebagai tanda 1 Syawal.
Masjid yang tergolong salah satu terbesar di China itu jadi lokasi yang disetujui pemerintah setempat sebagai tempat pelaksanaan ibadah salat hari raya bagi umat Muslim di kawasan tersebut.
Menemani jemaat berjalan menuju masjid, pagar petugas keamanan dan pemerintah memantau dari sekeliling masjid.
Selama sebulan sebelumnya, sejumlah kota di China memiliki nuansa Ramadan yang berbeda-beda. Di Xinjiang, begitu petang tiba, beragam restoran sibuk meladeni pelanggan yang membatalkan puasa.
Sedangkan di Hotan, pada Jumat yang merupakan hari suci bagi Muslim, satu-satunya masjid di kota tersebut justru kosong pada malam tiba.
James Leibold, pakar hubungan etnis dan kebijakan China di La Trobe University menilai Partai Komunis sebagai penguasa negara tersebut memandang agama sebagai ancaman yang nyata.
“Dalam jangka panjang, Pemerintah China ingin mencapai masyarakat yang sekuler,” kata Leibold.
Pemerintah Provinsi Xinjiang mengatakan kepada AFP bahwa pihaknya “melindungi kebebasan berkeyakinan dan masyarakat dapat merayakan Ramadan dalam ruang lingkup yang diizinkan oleh hukum”, tanpa merinci lebih lanjut.
Pemerintah setempat juga diketahui telah menempatkan jaringan berteknologi tinggi di sepanjang negeri, memasang kamera, pos polisi mobil, dan pos pemeriksaan tampak di setiap jalan sebagai respons serangan mematikan yang dituduhkan kepada ekstremis dan separatis Islam dalam beberapa tahun terakhir.
Diperkirakan, satu juta masyarakat Uighur dan etnis minoritas berbahasa Turki lainnya ditahan di jaringan kamp pengasingan.
Setelah awalnya membantah atas keberadaan kamp tersebut, otoritas China tahun lalu mengakui bahwa telah menjalankan “program pendidikan dan pelatihan” yang bertujuan menjauhkan orang dari paham ekstremisme dengan mengajarkan hukum China dan Mandarin.
Di tempat-tempat tersebut, Ramadan berjalan berbeda.
Pemerintah Xinjiang mengatakan kepada AFP bahwa masyarakat dalam pusat pelatihan itu tidak diizinkan melaksanakan kegiatan kepercayaan mereka karena hukum China melarang melakukannya dalam fasilitas pendidikan.
Namun, kata pihak pemerintah, masyarakat tersebut bebas melakukannya “ketika mereka kembali ke rumah masing-masing pada akhir pekan”.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah China telah meningkatkan kontrol dari aktivitas tradisi dan kegiatan beragama di tempat publik di Xinjiang.
AFP tidak melihat adanya perempuan berhijab atau pun laki-laki yang memelihara jenggot saat berkunjung ke daerah tersebut. Mantan tahanan kamp mengatakan mereka ditahan karena mengenakan simbol-simbol yang diyakini mewakili agama tersebut.
Puluhan lokasi ibadah juga telah dimusnahkan, atau dijadikan tempat terbuka publik. Polisi juga melarang jurnalis memasuki Artux, utara Kashgar, lokasi masjid raya kota tersebut dan masjid kampung-kampung dihancurkan.
Di Kashgar, dua kamera terpasang di menara masjid memantau para jemaat yang memasuki bangunan. Tak ada kubah atau pun simbol agama pada masjid.
Bahkan, sebuah masjid yang telah dirobohkan di Hotan telah berganti menjadi taman, lengkap dengan trotoar beton dan pohon ditanam dalam jarak tertentu.
“Pemerintah China hanya ingin menghilangkan semuanya. Ini berbeda dengan China Han, segalanya milik budaya Uighur atau budaya Islam di kawasan ini,” kata Omer Kanat, direktur Uighur Human Rights Project.
Juma Maimaiti, imam Masjid Idkah, mengatakan kepada AFP dalam sebuah wawancara yang diatur Departemen Propaganda Pusat CPC bahwa penghancuran masjid “tidak pernah terjadi sebelumnya di sini”.
“Namun pemerintah kami telah mulai melindungi beberapa masjid utama,” tambahnya dan mengatakan bahwa kota Kashgar memiliki lebih dari 150 masjid. (Tim_Lipsus)