Perlukah Memilih Caleg DPRI dan Calon DPD yang Lebih Berkapasitas?
PALOPO, Tabloid SAR – Apabila bicara tentang latar belakang historis atas berintegrasinya Kerajaan Luwu pada era kekuasaan Datu Andi Djemma. Kala itu, tentunya tak terlepas dengan adanya agenda politik tingkat tinggi antara Raja Luwu dengan pemerintahan pusat di Jakarta.
Adapun agenda kesepakatan politik dimaksud, sehubungan adanya persetujuan dari Presiden Soekarno terhadap rencana pembentukan daerah istimewa (provinsi –red) Luwu. Hanya saja agenda politik tersebut menjadi gagal, akibat menyusul terjadi peristiwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan (Sulsel) ini.
Hal itulah, sehingga di tengah perayaan Hari Jadi Luwu (HJL) ke-751 dan Hari Perjuangan Rakyat Luwu (HPRL) ke-73, sebagaimana yang diperingati setiap tahun setiap tanggal 23 Januari. Untuk tahun 2019 ini, kegiatannya di pusatkan (telah sukses dilaksanakan) di Kota Palopo, Sulsel.
Maka tuntutan pembentukan Provinsi Luwu raya, kembali disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat di Tana Luwu ini. Namun yang paling mendapat sorotan publik adalah tuntutan yang disuarakan melalui aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.
Bahkan Datu Luwu, Andi Maradang Mackulau Opu Daeng Bau, pun tak ketinggalan menyampaikan statement-statemennya melalui media massa atas dukungannya terhadap tuntutan pembentukan Provinsi Luwu Raya tersebut.
Adapun isu-isu sentral, utamanya yang disuarakan oleh kalangan aktivis mahasiswa di Tana Luwu ini, mengenai tuntutan pencabutan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB), sebab dinilai sangat menghambat pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, untuk memenuhi syarat terbentuknya Provinsi Luwu Raya tersebut.
Pertanyaannya, jadi mana yang lebih urgent antara tuntutan pembentukan Provinsi Luwu Raya dengan tuntutan perubahan status Universitas Andi Djemma (Unanda) dari pergururuan tinggi swasta menjadi negeri?
Jika mencermati perspektif kehidupan di era globalisasi sekarang ini, dengan semakin mengedepankan generasi milenia sebagai ujung tombak bagi kelangsungan peradaban masa depan. Jadi Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan satu-satunya jembatan emas untuk mewujudkan genarasi milenia Wija to Luwu yang berkahandalan kompetitor di tengah dinamisnya kemajuan atas kecanggihan teknologi ke depan.
Olehnya itu, sehingga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), jelas sudah menjadi soko guru yang sangat memiliki posisi strategis agar generasi Wija to Luwu masa kini, supaya mampu survive dalam menghadapi ketatnya kompetisi kehidupan di era peradaban milenium yang semakin dituntut memiliki pengusaan terhadap Iptek pada masa yang akan datang.
Sedangkan untuk dapat mengusai Iptek itu sendiri, tentunya harus pula didukung oleh infrastruktur dan sistem management pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM pada setiap jenjang hingga pada tingkat perguruan tinggi.
Alasannya, sebab hanya melalui jalur pendidikan formal secara berjenjang hingga pada tingkat pendidikan tinggi, maka sudah menjadi instrument untuk dapat membentuk jati diri SDM berkualitas terhadap penguasaan Iptek.
Kendati tidak juga dipungkiri, bahwa tidak sedikit pula orang yang memiliki kemampuan terhadap pengusaan Iptek, walau tanpa memperoleh legalitas keilmuan melalui sistem pendidikan formal. Akan tetapi hal seperti ini, hanya sedikit orang yang diberikan kelebihan luar biasa oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, jika kita kembali mengingat janji negara, mengenai pembentukan daerah istimewa (Provinsi Luwu Raya –red) pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, maka jelas itu adalah sebuah utang sejarah nasional yang mesti pula ditagih untuk diwujudkan.
Namun, apabila melihat paradigma peradaban modern di era milenium sekarang ini dan ke depan. Tampaknya, bahwa yang menjadi tuntutan yang sangat urgent untuk diwujudkan adalah perubahan status Unanda dari perguruan tinggi swasta menjadi negeri.
Pasalnya, tanpa lembaga pendidikan tinggi berstatus negeri yang bersifat qualified dalam meningkatkan kualitas SDM demi penguasaan Iptek. Maka sangat dikuatirkan generasi muda Wija to Luwu, akan justru tercecer jauh sebab tidak mampu menghadapi ketatnya kompetisi kehidupan di era modern yang semakin menuntut sebuah kemampuan terhadap penguasaan Iptek ke depan.
Jadi hal yang sangat patut untuk disesalkan, karena para tokoh Wija to Luwu baik yang duduk sebagai wakil rakyat di DPR-RI maupun menurut kapasitasnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau senat, sepertinya tidak tampak memberikan perhatian yang bersifat konsisten dalam memperjuangkan perubahan status salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Palopo ini agar dapat menjadi negeri.
Padahal tuntutan perubahan status perguruan tinggi tersebut supaya menjadi negeri, tentunya memiliki posisi yang sangat strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya terhadap generasi anak-anak negeri bagi kalangan Wija to Luwu itu sendiri.
Bukankah para tokoh Wija to Luwu yang selama ini duduk jadi anggoata DPR-RI dan anggota senat atau DPD, tujuannya tak lain untuk membawa amanah politik dan aspirasi rakyat yang diwakilinya, agar dapat tampil patriot dalam mempengaruhi kebijakan publik pada ranah pemerintah pusat.
Maka wajar saja bila tidak sedikit pula kalangan di Tana Luwu ini, sampai bertanya bahwa apa sih perjuangan yang bersifat monumental yang selama ini dilakukan wakilnya di DPR-RI dan di DPD tersebut.
Okelah, jika memang tidak mampu memperjuangkan pembentukan Provinsi Luwu Raya, dengan alasan terganjal oleh kebijakan moratorium. Paling tidak kan dapat mengangkat isu-isu tentang agenda tuntutan perubahan status Unanda menjadi perguruan tinggi negeri.
Lalu apa yang harus diharapkan dengan anggota DPR-RI dan DPD seperti itu. Soalnya, sangat tampak tidak mampu menunjukkan kualitas diplomasi politiknya pada ranah kebijakan pemerintah pusat.
Padahal perjuangan atas perubahan status Unanda agar menjadi perguruan tinggi negeri, selama ini juga sudah menjadi tuntutan yang sangat urgent dan senantiasa pula disuarakan oleh kalangan Wija to Luwu, khususnya dari kalangan mahasiswa.
Olehnya itu, maka melalui Pemilu 2019 ini sebagaimana yang akan digelar secara serentak pada tanggal 17 April mendatang. Jadi lagi-lagi muncul pertanyaan, maka perlukah memilih Calon Legislatif (Caleg) DPRI dan Calon DPD wajah baru yang lebih berkapasitas dan berkompeten serta berkonsisten dalam memperjuangkan setiap tuntutan aspirasi rakyat Tana Luwu dimaksud,
Soalnya, anggota DPR-RI dan DPD yang berstatus incumbent, termasuk mantan legislator pusat dan mantan senat yang akan kembali berkontestasi menuju Senayan. Sepertinya kurang kredibel dalam memperjuangkan tuntuan aspirasi rakyat Tana Luwu pada ranah kebijakan pemerintah pusat.
Alasannya, sebab hingga saat ini sama sekali belum ada tanda-tanda kemjuan yang berarti atas tuntutan aspirasi tentang perubahan status Unanda agar dapat menjadi perguruan tinggi negeri. Terlebih lagi jika memperjuangkan pembentukan Provinsi Luwu Raya yang prosesnya jauh lebih kompleks tersebut.
Demikian ulasan editorial Tabloid SAR untuk edisi ini, agar kiranya dapat menjadi referensi bagi segenap Wija to Luwu dalam memilih Caleg dan calon anggota senat (DPD –red) yang berkapasitas dan berkompeten, demi mendorong kemajuan Tana Luwu di tengah mewarnai potret sejarah Indonesia di masa akan datang.
Salam dari Redaksi