Memfenomenalnya kasus kerusuhan anti rasis di Papua dan Papua Barat, pasca peringatan proklamasi kemerdekaan ke-74 RI tersebut. Tentunya merupakan sebuah contoh konkret, bahwa betapa diskriminasi rasial sangat sensitif untuk dapat memporak-porandakan nilai-nilai peradaban.
Jika kita kembali menarik sejarah panjang tentang praktek-praktek diskriminasi rasial yang pernah mewarnai peradaban dunia pada masa lampau. Karena terbukti selalu membawa berbagai persoalan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dengan segala dampak krusial yang ditimbulkannya.
Hal inilah, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklerasikan sebuah resolusi anti diskriminasi rasial pada 10 Desember 1948 dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights.
Kemudian badan dunia yang disebut United Nations (UN) itu, lalu mensahkan resolusi anti diskriminasi rasial tersebut dalam sebuah perjanjian atau konvensi internasional yang dinamai “International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination” pada 21 Desember 1965.
Sedangkan Indonesia sendiri, sudah meratifikasi konvensi PPB anti diskriminasi rasial ini pada 25 Mei 1999 melalui UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Form of Racial Discrimination 1965.
Bahkan DPR-RI pada tahun 2008 juga sudah mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU ini menyatakan bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan DUHAM.
UU ini memberi legitimasi hukum kepada pemerintah untuk menyelesaikan berbagai konflik di Indonesia yang berbasis suku, agama, dan ras baik yang pernah terjadi dan sedang terjadi maupun yang akan terjadi ke depan.
Apalagi jauh sebelum pendeklerasian konvensi PBB tentang anti diskriminasi rasial tersebut. Maka kehadiran agama sejak ribuan tahun sebelumnya, justru sudah terlebih dahulu mengajarkan tentang kesetaraan ras antara bangsa.
Jadi hanya orang tidak beragamalah yang masih melakukan pelecehan diskriminasi terhadap suku, agama dan ras. Karena pelecehan seperti ini, sudah sangat jelas menantang ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala keagungan dan keragamannya tersebut.
Untuk itu, sehingga pihak-pihak pelaku ujaran diskriminasi rasial yang menjadi sumber pemicu meledaknya kerusuhan anti rasis yang melanda di Papua dan Papua Barat, maka tidak ada alasan untuk tidak diganjar dengan hukuman berat, jika perlu diterapkan hukuman mati sekalipun.
Pasalnya, pihak-pihak pelaku tidak hanya melanggar delik pidana penghinaan yang diatur dalam KUHP dan UU ITE. Akan tetapi telah menimbulkan kekacauan terhadap keamanan negara. Terlebih lagi, sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana HAM berat, sebab menimbulkan rasa kebencian rasis yang sifatnya ekskalatif dengan segala dampak krusial yang diakibatkannya.
Karena ungkapan pelecahan rasis itulah, baik dalam bentuk audio visual maupun dalam bentuk postingan kata-kata, sebagaimana yang beredar di jagat media sosial itu. Hal tersebut, maka sudah patut dijadikan sebagai alat bukti pelanggaran HAM berat, yang sudah harusnya ditindak dengan hukuman mati.
Begitupun sebaliknya, bahwa tentunya pula pihak-pihak provokator atau dalang dan pelaku kerusuhan Papua dan Papua Barat tersebut, maka tidak ada juga alasan untuk tidak ditindak secara hukum, atas segala bentuk kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkannya.
Jadi hukum mesti secara tegas ditempatkan sebagai panglima untuk menegakkan rasa keadilan, sesuai dengan asas perlakukan yang sama di mata hukum (Equal Justice Under The Law). Mengingat semua orang berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Karena hanya penegakan supremasi hukum tanpa kompromi, merupakan satu-satu cara untuk dapat memulihkan kondisi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di Papua dan Papua Barat.
Olehnya itu, jika ingin terus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, maka semua warga negara juga sudah seharusnya bersama-sama untuk menolak diskriminasi rasial.
Sebab kasus rasisme sangat terlalu mahal harganya untuk dapat ditebus, karena begitu sensitifnya dalam menyentuh hak paling asasi bagi kehidupan nilai-nilai kemanusiaan, terlebih di era demokrasi berperadaban modern sekarang ini.
Untuk itu pula, hanya manusia berperadaban zaman batulah yang masih menganut prinsif-prinsif diskriminasi rasial, sebab memang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai moralitas untuk dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain.
Kita pun sangat berharap atas merebaknya kasus kerusuhan anti rasis di Papua dan Papua Barat itu, segera kembali pulih. Sekaligus dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi bangsa dan negara ini, supaya tidak terulang lagi di masa mendatang.
Demikian ulasan editorial Tabloid SAR kali ini, sebagai bentuk pengekspresian rasa empati yang begitu dalam terhadap kejahatan diskriminasi rasial dengan segala dampak krusial yang ditimbulkannya. (Salam dari Redaksi)