‘Bupati Tana Toraja’ Terdungu se-Indonesia?

Potret Kepala Daerah yang Sangat Haus Jabatan

Oleh : Rahmat K Foxchy

MENJELANG Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang akan digelar secara serentak melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 17 April 2019 mendatang. Negara kita sepertinya disajikan berbagai fenomena perilaku buruk tentang keserakahan kekuasaan para penyelenggara negara dengan berbagai modus penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya.

Adapun di antara mereka itu, tidak jarang pula yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum lagi yang tersandung kasus-kasus korupsi lainnya melalui penanganan aparat penegak hukum lainnya, yakni institusi kejaksaan dan kepolisian.

Sehingga dari seabrek kasus korupsi yang meluncur ke ranah hukum selama ini, maka tak terlepas dilatarbelakangi dengan modus-modus malpraktik administrasi di dalam sistem birokrasi, sebagai cara persekongkolan elit dalam melakukan kejahatan kekuasaan yang disebut dengan istilah kleptokrasi atau pemerintahan para pencuri.

Hanya saja sejumlah modus operandi praktik-praktik kleptokrasi tersebut, masih banyak yang belum dapat dijangkau oleh hukum pidana. Maka pada ranah itulah, sehingga kalangan kleptokrator (oknum pejabat pemerintahan bermental pencuri) memanfaatkan celah hukum untuk bebas mempraktekkan kejahatan kekuasaannya.

Salah satu contohnya adalah Bupati Tana Toraja (Tator), Nicodemus Biringkanae yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kabupaten Tator.

Perilaku itu, merupakan momentum tak terduga dalam menampakkan dirinya sebagai bupati terdungu se-Indonesia dan juga potret kepala daerah yang sangat haus akan kekuasaan.

Hal tersebut patut pula dikatakan sebagai bentuk perilaku kleptorator, sebab telah diduga kuat melakukan malpraktik administrasi untuk dijadikan sebagai pembenaran dalam menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pejabat negara pada tingkat daerah.

Mengapa dapat disebut sebagai bupati terdungu se-Indonesia? Karena sangat jelas bahwa jabatan Kadis adalah jenjang jabatan karier bagi para pejabat pemerintah yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Jika tidak dungu, tentu Bupati Nicodemus Biringkanae tidak akan melabrak sejumlah ketentuan aturan perundang-undangan dan regulasi yang mengatur tentang ASN, dalam pengangkatan dirinya sebagai Plt Kadis Kesehatan Kabupaten Tator.

Yaa meski, Bupati Nicodemus Biringkanae memang diakui sebagai salah satu orang pintar dari kalangan masyarakat Toraja dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada umumnya, tapi rupanya tidak cerdas dalam mengelola sistem pemerintahan menurut kapasatisnya sebagai kepala daerah.

Namun dengan kekuasaan sebagai bupati yang melekat pada dirinya, sehingga secara sewenang-wenang pula dan dengan sengaja mencoba untuk menyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya, sehingga mengangkat dirinya sendiri menjadi Plt Kadis Kesehatan Kabupaten Tator.

Adapun perbuatan pejabat negara seperti ini, maka tentu jelas mencerminkan sebuah bentuk kejahatan kekuasaan yang sifatnya bermuatan kleptokrasi, melalui perilaku malpraktik administrasi pemerintahan dalam melakukan upaya pembenaran terhadap peraturan perundang-undangan dan regulasi pemerintah yang berlaku.

Kendati modus kejahatan kekuasaan seperti ini, tidak dapat dijangkau oleh ranah hukum pidana. Akan tetapi sudah ada niat dalam mempraktekkan korupsi, seandainya tidak dibongkar melalui sorotan tajam pemberitaan media massa dan kritik-kritik pedas para netizen di dunia maya atau media sosial.

Akhirnya pembayaran honornya sebagai Plt Kadis Kesehatan, tidak sempat menimbulkan dampak dalam bentuk penyalahgunaan APBD Kabupaten Tator. Lantaran adanya campur tangan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sehingga dilakukan pembatalan terhadap Surat Keputusan Pengangkatan dirinya (Bupati Nicodemus Biringkanae) sebagai Plt Kadis Kesehatan Kabupaten Tator.

Saya sebagai aktivis pemerhati korupsi, tentunya melihat kasus malpraktik administasi Bupati Nicodemus Biringkanae yang mengangkat dirinya menjadi Kadis Kesehatan Kabupaten Tator tersebut, sepertinya baru hanya semacam puncak gunung es.

Boleh jadi penyalahgunaan kekuasaan, sebelum-sebelumnya sudah mentradisi pada tampuk Pemerintahan Kabupaten Tator yang sifatnya bermodus malpraktik administrasi, dan patut pula dicurigai dapat berpotensi merugikan APBD maupun sumber keuangan negara lainnya, akibat faktor kedunguan dalam memahami aturan perundang-undangan dan regulasi pemerintah.

Terlebih lagi banyak modus praktik-praktik kleptokrasi dalam sistem pengelolaan anggaran, karena masih sangat sukar dijangkau oleh ranah tindak pidana korupsi. Akibat tertutupnya semangat transparansi anggaran, sehingga tidak dapat ditembus oleh para penggiat pemerhati kebijakan publik, seperti kalangan aktivis mahasiswa bersama para LSM dan jurnalis.

Namun patut pula untuk diapresiasi, sebab sudah adanya sejumlah dugaan korupsi di lingkup Pemkab Tator yang terungkap menjadi sorotan publik, dari semenjak daerah berjuluk Bumi Lakipadada itu, dinahkodai Bupati Nicodemus Biringkanae.

Antara lain, seperti dugaan korupsi proyek toilet mewah objek wisata Buntu Burake dengan anggaran senilai Rp 1,4 milliar yang sementara dalam proses pengusutan pihak kepolisian. Termasuk proyek revitalisasi kolam patung Lakipadada Makale, yang menelan anggaran sekitar Rp 2,2 miliar, namun hingga kini proyek tersebut masih mangrak dan tak kunjung dituntaskan.

Adapun kedua proyek miliaran rupiah ini, boleh jadi juga baru hanya semacan gunung es yang sempat terungkap menjadi sorotan publik. Sama seperti ketika kita mencermati kasus penyalahgunaan kekuasaan mengenai malpraktik administrasi Bupati Nicodemus Biringkanae atas pengangkatan dirinya sebagai Plt Kadis Kesehatan Kabupaten Tator.

Jadi dari akibat kedunguannya dalam memahami aturan perundang-undang dan regulasi pemerintah yang dilakukan Bupati Nicodemus Biringkanae seperti yang dicontohkan ini. Maka patut kita bertanya, bahwa jangan-jangan pengelolaan APBD Tator selama ini, sudah tidak sedikit yang telah disalahgunakan melalui praktik-praktik kleptokrasi.

Harapan kasus semacam ini, tidak terulang kembali dan praktik perilaku. Sekaligus tidak lagi melakukan kedunguan beruntun dalam mengambil kebijakan di tengah kiprahnya sebagai orang nomor satu di Bumi Lakipadada, hingga masa periodenya berakhir.

****) Penulis : Direktur Eksekutif Aktivis Pembela Arus Bawah dan Pemerhati Kebijakan Publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *