PALOPO, Tabloid SAR – Saya selaku penulis yang terlahir sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, dengan Ayah bernama H Abdul Karim Tuana dan Ibu bernama Hj. St. Syamsia Puang Sanggalangi.
Tentunya saya sangat bangga pada Ayahku, sebab Beliau pernah mengabdi mejadi seorang guru. Pada gilirannya, saya bersama dengan kedelapan bersaudara kandung tumbuh dan berkembang dalam melakoni profesi hidupnya masing-masing.
Maka dari cucu-cucunya itu pula, walau baru ada empat cucunya yang kuliah. Yakni satu orang kuliah di Universitas Indonesia, satu orang kuliah di luar negeri tepatnya di China dengan fasilitas beasiswa, satu orang kuliah di Universitas Lampung dan satu orang lagi kuliah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Selebihnya masih sekolah pada tingkat SD, SMP dan SMA serta yang lainnya masih kecil-kecil.
Bahwa Ayahku beberapa tahun lalu sudah menjadi pensiunan seorang Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan posisi terakhir sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 363 Malenggang di Desa Padang Tuju, Kecamatan Bua Ponrang (Bupon), Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Beliau awalnya menjadi guru dan Kepala SDN 44 Lempobatu pada sebuah wilayah terpencil yang disebut Kecamatan Basse Sangtempe (Bastem) Kabupaten Luwu. Lalu pindah menjadi guru biasa di SDN 59 Noling, Kecamatan Bupon. Kemudian kembali diangkat menjadi Kepala SDN 363 Malenggang, setelah itu memasuki masa purna bakti.
Mengingat karena kami sembilan bersaudara berayahkan seorang guru (pensiunan –red) yang berlatar belakang keluarga bangsawan. Maka cara mendidik Ayah di dalam rumah tangga adalah sangat mengedepankan pendekatan etika dan pembekalan karakter. Keras memang cara Beliau mendidik anak-anaknya, tapi itulah kondisi pada zamannya. Itu karena sangat menginginkan masa depan anak-anaknya agar dapat survive dalam meniti masa depan kehidupannya.
Ayahku pun senantiasa menekankan pentingnya pendidikan sebagai aset paling berharga, untuk menjadi jembatan emas menuju sebuah kehidupan masa depan. Kendati kami selaku anak-anaknya belum muncul menjadi sebuah generasi emas. Akan tetapi, paling tidak cucu-cucunya nantinya, diharapkan ada yang dapat berkiprah menjadi generasi emas untuk mampu mengangkat derajat keluarga Foxchy (Pocci –red) pada masa akan datang.
Hal itulah, maka tentunya kami selaku anak-anaknya akan terus berupaya untuk membangun generasi, agar kelak dapat bangkit menjadi sebuah generasi emas. Ya, setidaknya dapat berguna untuk orang lain, sebagai bentuk kontribusi bagi sesama. Bukan pula tidak mungkin dapat berkontribusi bagi kemajuan peradaban bangsa dan negara ke depan, menurut kapasitasnya masing-masing.
Jadi meski tidak berkiprah dalam ranah birokrasi pemerintahan, atau berprofesi sebagai aparatur negara dan menjadi politisi. Namun saya sangat bersyukur, sebab masih selalu menjaga kehomatan profesi Ayah saya sebagai mantan guru yang begitu mulia tersebut. Sehingga nama baik keluarga tetap terjaga di tengah diri saya sedang menerobos belantara dunia aktivis yang sangat penuh tantangan dan sifatnya beresiko tinggi tersebut.
Itu karena diwariskan semanagat patriotiseme dari titisan darah leluhurku yang pernah mewarnai sejarah kebesaran Pajung ri Luwu dan sejarah Bastem serta Tallu Lembangna (Toraja –red) pada masa lampau.
Hal itulah, maka saya sebagai salah satu generasinya, tentunya merasa sangat memiliki tanggungjawab moral untuk juga berupaya menegakkan nilai-nilai keadilan menurut kapasitas saya sebagai aktivis pada sekeping wilayah berwajah budaya nusantara di muka bumi ini.
Alhamdulillah, atas doa yang senantiasa dipanjatkan dari kedua orang tuaku, sehingga saya juga dapat mengembangkan perusahaan media baik cetak maupun online. Itu karena saya banyak belajar dari Ayah dan Ibuku yang senantiasa mendidik, dan mengingatkan supaya selalu menjaga kepercayaan dan juga mengajarkan agar terus bekerja keras.
Jadi menurut kapasitas saya saat ini, tidak hanya dituntut untuk menjaga kepercayaan keluarga, tapi juga harus dituntut untuk dapat menjaga kepercayaan publik. Hal tersebut, karena saya sadar bahwa diri saya telah menjelma menjadi milik publik, khususnya pada tingkat komunitas “Akar Rumput” atau “Arus Bawah” dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “grass root.”
Kendati demikian, namun saya masih bukan siapa-siapa, apalagi memiliki kemampuan apa-apa. Kecuali hanya berikhtiar untuk terus bekerja dan berinovasi, bahwa bagaimana harusnya dalam menjalani hidup ini, agar saya dapat pula bermanfaat bagi orang lain, walau itu hanya sekecil partikel atau sarrah sekalipun.
Jadi itulah obsesi saya yang tidaklah terlalu muluk-muluk. Sebab apalah artinya menghayal dengan usaha besar dan hasil melimpah tapi sama sekali tidak berbuat. Makanya saya harus mulai bekerja melalui usaha kecil-kecilan, tapi dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Hal tersebut, karena saya sangat memahami hanyalah berayahkan seorang mantan guru yang bergaji sangat kecil, terlebih saya bersaudara kandung sejumlah sembilan orang. Namun saya sangat bangga dengan Ayah yang berlatarbelakang sebagai guru tersebut, sebab senantiasa menjadi mentor dalam mengarahkan karakter hidupku, akhirnya saya dapat muncul menjadi salah satu tokoh aktivis di negeri ini.
Walau Ayahku sudah belasan tahun pensiunan guru, jadi untuk menghormati jasa-jasa Beliau, maka saya tak lupa pula mengucapkan “Selamat Hari Guru 25 November 2018.” Harapan para guru nasional ke depan, mampu mencetak anak-anak negeri yang dapat membawa bangsa dan negara Indonesia yang berperadaban berteknologi modern dan berkesiapan daya saing saat memasuki era milinial ke depan.
*****) Aktivis Pembela Arus Bawah dan Pimpinan Tabloid SAR.
Oleh : Rahmat K. Foxchy